Ketika Para Kyai Disembelih (1)

by
Korban keganasan PKI tahun 1948 Foto:Istimewa

Kalangan pro PKI Indonesia, pada pertengahan September ini akan melakukan acara besar untuk kembali memulihkan citra PKI. Padahal keganasan PKI tidak mungkin dihapuskan dalam buku-buku sejarah.

Wartapilihan.com, Jakarta –Pada 16-17 September 2017 di Gedung LBH Jakarta, akan dilakukan seminar kembali tentang PKI. Dalam acara ini akan dilakukan diskusi-diskusi berkenaan : Latar belakang permasalahan 65 (kontroversi 1948, kontroversi sebelum 1965), G30S/Gestok (kudeta dan tuduhan PKI makar, kudeta merangkak Suharto, berujung pada Supersemar) dan Sesudah 65 (kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida). Selain itu juga kelompok yang pro PKI ini akan mencari terobosan penyelesaian dan KKR (Rehabilitasi, Rekonsiliasi, Reparasi dan lain-lain) serta Resolusi.

Acara yang beredar luas di media social itu, akan dilakukan Pidato Pembukaan oleh Sidarto Danusubroto, anggota Wantimpres. Dalam proposal latar belakangnya, mereka menyatakan bahwa masih belum jelasnya duduk perkara mengenai peristiwa 1948, yang disebut sebagai “pemberontakan PKI”, merupakan dalih bagi pihak tertentu untuk melakukan balas dendam pada masa 1965/66. Ketidakjelasan ini merugikan sejarah bangsa dan pihak-pihak yang dituduh melakukan pemberontakan, padahal masalah ini telah selesai secara hukum. Untuk meluruskannya, perlu pembahasan lebih rasional dan mengedepankan kejujuran ilmiah.

Sebagai nara sumber disebutkan antara lain : Dr. Baskara T. Wardaya sejarahwan Universitas Sanata Dharma, Mulyadi ketua Pakorba, Yunantyo Adi aktivis mendalami peristiwa 1948, Martin Hutagalung peneliti peristiwa 1948.

Mereka juga akan mendiskusikan tentang kontroversi sebelum tahun 1965. Menurut panitia, banyaknya tuduhan mengenai konflik agraria sebelum tragedi 1965/66, seperti kasus Bandar Betsy, peristiwa Kanigoro dan lain-lain, dianggap sebagian pihak menjadi sebab memuncaknya kekerasan dan pembantaian massal 1965/66. Demikian pula konflik ideologis. Sementara perdebatan Konstituante, siapa yang membela Pancasila dan siapa yang menginginkan Negara Islam? “Sejarah perlu menjernihkan masalah-masalah ini, agar ada pertanggungjawaban ilmiah kesejarahan atas penegakan Pancasila serta sebab-sebab langsung tragedi 1965/66 tersebut,” terang panitia.

Sebagai narasumber dalam masalah ini adalah : Dr. Asvi Warman Adam sejarahwan LIPI, Dr. Dianto Bachriadi, Aries Santoso sejarahwan dan Wilson sejarahwan. Selain itu akan menjadi pembicara pula : Dr. Kusnanto Anggoro, Dr. Refly Harun, Sukmawati Sukarnoputri, Suwarsono MA sejarahwan LIPI, Nursyahbani Katjasungkana, Dr Abdul Wachid (membahas dari sisi genosida intelektual dan pemberangusan kajian kiri/marxisme), Harsutejo, Martin Aleida, Todung Mulya Lubis dan lain-lain.

Berkenaan dengan acara besar di LBH ini, redaksi Warta Pilihan menurunkan artikel Ketika Para Kiyai Disembelih dua seri.

“Kalangan PKI panik mendengar kabar gerak maju pasukan Siliwangi ini. Mereka kemudian dengan membabi buta dan secara keji mulai menghabisi para tawanan yang masih ada dan  disekap di kamar-kamar loji (Gorang Gareng, Madiun) ini…”

Saya bersama dua orang yang selamat, berusaha bangkit dari timbunan mayat (orang-orang yang dibantai PKI). Astaghfirullah..ruangan ini benar-benar banjir darah. Saya masih ingat, ketika Siliwangi datang pada lewat tengah hari, pintu kamar didobrak dari luar. Daun pintunya sempal dan roboh, jatuh ke lantai. Saking banyaknya darah membanjir di lantai, daun pintu yang tebalnya lebih 4cm itu mengapung di atas genangan darah. Saya melangkah ke luar pun, merasakan betapa banjir darah yang menggenang di lantai kamar dan sepanjang koridor, mencapai di atas mata kaki saya,”kisah . Kiyai Roqib kepada wartawan Halwan Aliuddin tahun 2005. Kiyai Roqib adalah Imam Masjid Jami’ Baitus Salam, Kabupaten Magetan. Pada 1948, saat usianya belum genap 20 tahun guru ngaji ini ditangkap PKI dan terjadilah peristiwa yang mengerikan itu.

Lain lagi kisah dari Kiyai Daenuri. KH Achmad Daenuri adalah pimpinan Pondok Pesantren ath Thohirin, Mojopurno, Magetan. Ia adalah salah satu putra KH Soelaiman Zuhdi Affandi korban kekejaman PKI 1948. Pesantren yang didirikan ayahnya itu menjadi pusat latihan generasi muda melawan Belanda dan Jepang. Pada 1948, Kiyai Daenuri baru berusia 10 tahun. Ia melihat ayahnya Kiyai Affandi ditangkap PKI dengan cara licik. “Ketika beliau sedang iktikaf di Masjid, dibopong dari belakang dan diculik,”terangnya. Kiyai Affandi diseret-seret dan disekap bersama ratusan tawanan lain, umumnya tokoh agama dan partai, di rumah loji Belanda di kawasan Pabrik Gula Gorang-Gareng (kini Pabrik Gula Rejosari, Magetan).

Dari tempat penyekapan ini, ayahnya bersama sejumlah tawanan lain dipindahkan ke desa Soco, Magetan dengan menggunakan kereta api lori pengangkut gula dan tebu. Gerbong kereta sangat sempit dan dijejali puluhan tawanan lain. Kiyai Daenuri mendapat kesaksian tentang kematian ayahnya ini dari beberapa tawanan lain yang selamat. Selama dalam penyekapan itu ayahnya mendapat siksaan yang keji, namun berbagai penyiksaan itu tidak mampu membunuh ayahnya.

“PKI jengkel menghadapi kiyai yang demikian digdaya, tidak mempan senjata tajam apapun bahkan kebal peluru senjata api. Karenanya pada suatu kesempatan, ketika beliau meminta izin untuk mengambil air wudhu, seorang anggota PKI mendorong beliau hingga tercebur ke dalam sumur. Segera setelah itu sumur ditimbun dengan puluhan hingga ratusan jenazah lain dari para syuhada. KH Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur hidup-hidup oleh PKI,”papar Kiyai Daenuri.

Sebelumnya diketahui bahwa jumlah syuhada yang dikubur di beberapa sumur pembantaian di Desa Soco adalah 67 orang dan telah diketahui nama-namanya, Namun setelah sumur dibongkar, ternyata ditemukan 108 kerangka jenazah. Kerangka jenazah dievakuasi dan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kota Madiun. Para syuhada dikuburkan kembali dalam satu liang lahat dan diberi prasasti dengan sebutan Makam Soco. Prasasti atau nisan besar itu memuat 67 nama syuhada, sedang 41 korban lainnya, dengan nomor urut 68 hingga 108, dinyatakan tidak dikenal.

Selain Kiyai Affandi, kakak dan adik Kiyai Affandi yang juga guru ngaji, menjadi korban kekejian PKI. Ketika pecah Gerakan G 30S PKI, Pesantren Ath Thohirin yang dipimpin Kiyai Daenuri menjadi pusat konsentrasi para pemuda GP Anshor untuk menyiapkan diri menghadapi PKI. “Kami bukan mendendam, karena para leluhur kami dihabisi PKI. Tapi komunis adalah lawan kami yang senyata-nyatanya. Karena komunis secara jelas menyatakan anti agama dan anti Tuhan. Untuk melawan komunis, kami harus senantiasa berada di barisan depan,”kata Kiyai Daenuri.

Kekejian yang dilakukan PKI terhadap Kiyai Dimyathi (Mbah Ngompak) lebih mengerikan lagi. “Ketika tengah melakukan shalat malam, Mbah Ngompak diseret ke luar masjid, kemudian diikat, dan akhirnya diseret dengan menggunakan kuda hingga sejauh 10km mencapai Kota Kawedanan Walikukun, Ngawi. Kabarnya ketika itu, Mbah Ngompak belum juga wafat. Penyeretan kemudian kembali dilakukan ke arah Ngrambe. Namun setelah berjalan sejauh 4km, orang-orang PKI itu berhenti di sebuah jembatan di kawasan Wot Galeh. Dari atas jembatan ini, tubuh Mbah Ngompak dilempar ke sungai yang curam. Jasad beliau ditemukan sudah dalam kondisi yang sangat mengenaskan,”tutur Kiyai Damami, salah seorang cucunya yang kini tinggal di Pesantren Tanjungsari, Jogorogo, Ngawi.

Dalam aksinya September 1948 di daerah Madiun dan sekitarnya itu, memang ulah yang dilakukan PKI mengerikan. Selain pengakuan para saksi yang kini umurnya sudah 65 tahun-an ke atas, foto-foto dan monumen-monumen serta berita-berita di surat kabar waktu itu menunjukkan fakta-fakta otentik kekejian PKI ini. Pemimpin Redaksi Harian Abadi, Soemarso Soemarsono saat itu membuat catatan bahwa setelah rakyat dan TNI mengusir PKI dari Madiun, Magetan dan sekitarnya, ditemukan sebuah dokumen PKI yang menyatakan:
1.        Supaya para pengikut PKI Muso terus menjalankan sabotase
2.        Melakukan penculikan-penculikan
3.        Membunuh orang-orang yang merintangi maksud mereka
4.        Mengadakan pembakaran-pembakaran dan penculikan-penculikan
5.        Melakukan aksi militer

Soemarso juga menuliskan bahwa menurut berita yang dilansir Harian Nasional terbitan 15 Oktober 1948, Dr Abu Hanifah (pimpinan Masyumi) menerangkan bahwa kerugian-kerugian dari tindakan Amir (Syarifudin) dan Muso yang diderita oleh anggota-anggota Masyumi belum dapat ditaksir. Hanya kalau untuk membangun kembali maka kira-kira akan dibutuhkan waktu 5 tahun. “Menurut laporan yang sah, para pemimpin Masyumi yang telah mati terbunuh di Madiun ada 22 orang, di Magetan 13 orang, Ngawi 12 orang dan di Ponorogo 22 orang. Sedangkan di Cepu ada 140 orang anggota Masyumi dimasukkan dalam kereta api dan tidak diberi makan selama 3 hari. Sekarang mereka dalam keadaan yang sangat menyedihkan,”tulis Pemred Abadi, harian milik Masyumi ini.
Dalam buku Benturan NU PKI 1948-1965, Abdul Mun’im DZ menceritakan bahwa pada tahun 1962 gerombolan Pemuda Rakyat didukung kawanan Gerwani yang garang menyerbu Masjid Sunan Ampel Surabaya. Tempat suci itu dinjakinjak sambal menyanyi dan menari-nari menyanyikan lagu genjer-genjer. Bahkan mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani. Ulah PKI ini menjadi kalangan NU dan umat Islam Surabaya marah. Mereka melakukan perlawanan dan karena kader PKI kalah jumlah, akhirnya mereka dapat diringkus dan dibawa ke pengadilan.

Peristiwa tragis juga terjadi pada mubaligh kondang KH Djufri Marzuqi di Pamekasan Madura, 27 Juli 1965. Kiyai kharismatik itu ketika hendak memberikan ceramah dan pengajian umum ditikan oleh anggota PKI saat dalam perjalanan menuju tempat pengajian. Pembunuhan itu menyebabkan kemarahan masyarakat Islam Madura dan Jawa Timur umumnya. Bahkan dalam peringatan 40 hari wafatnya, KH Idham Cholid datang dari Jakarta untuk memberikan rasa simpati dan memberikan gelar pada tokoh ini Syahidul Kabir (syuhada agung).  Bersambung. ||

Nuim Hidayat Dachli

One thought on “Ketika Para Kyai Disembelih (1)

  1. Mari kembali kepada Allah.. semua keadaan, suasana adalah akibat dari jauhnya manusia dari Tuhannya.. mulailah dari diri kita, keluarga kita, lingkungan kita.. jaga sholat berjamaah dan saling ingat mengingatkan pentingnya iman dan amal..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *