Dalam buku kecil yang bernas ini, ulama besar ini memulainya dengan berkisah tentang kejiwaan orang bakhil. Dimana pagi, siang dan malam yang difikirkannya harta, tapi ia amat ketakutan bila ada tamu datang untuk minta sedekah.
Wartapilihan.com, Depok– Bakhil adalah penyakit. Penyakit yang berbahaya sekali. Berbahaya bagi badan lahir karena kadang-kadang sebab diperintah oleh uang, orang enggan mengeluarkannya untuk mengobati dirinya sehingga kalau sakit sedikit ditahan saja. Lama-lama setelah penyakitnya besar, terpaksa pula yang dismpan-simpan itu dikeluarkan dengan hati enggan. Orang lain yang merasakan nikmat simpanan itu, sedangkan dia sendiri tidak.
Bakhil memberi bahaya pada jiwa karena jiwa orang bakhil itu tersisih dari orang lain. Dia merasa dirinya paling benar, sehingga dia merasa tidak lagi berhubungan dengan orang yang bukan dirinya. Dia cemburu, takut, syak wasangka bahwa segala orang, harta anaknya sendiri, akan menghabiskan uangnya saja dan istrinya sendiri tidak beroleh nikmat darinya.
“Dia hidup di dunia lebih miskin daripada orang yang miskin dan kelak di akhirat akan dihisab dimuka Tuhan sebagaimana mestinya hisab bagi orang yang kaya raya,”petuah Sayidina Ali bin Abi Thalib.
Menurut Hamka, bakhil merusak agama, merusak masyarakat serta merusak bangsa dan tanah air. Dalam sebuah Hadits disebutkan,”Tidak ada suatu penyakit yang lebih berbahaya daripada bakhil.” Janganlah kebakhilan diberi pintu dalam hati karena bila ia telah masuk, sukar akan keluarnya. Harta benda yang kita punya adalah yang telah kita belanjakan, bukan yang telah kita kumpulkan.
Setelah bakhil, Hamka bicara tentang surga dan neraka. “Dahulu pernah saya salin perkataan dari Ibnu Taimiyah bahwa barangsiapa yang tiada merasakan surga di dunia ini maka jangan harap akan merasakan surga di akhirat. Direnangi dahulu agak sedikit perputaran hidup ini, barulah kita insaf kelak apa maksud perkataan Ibnu Taimiyah itu,”jelasnya dalam buku Penuntun Jiwa (GIP, Desember 2019).
Surga adalah kesenangan jiwa dan neraka siksaannya. Dalam penghidupan yang sekarang, kita sudah dapat menaksir kemana haluan yang akan kita tempuh sesudah mati. Kita masuki dahulu surga nurani di dunia, walaupun jasmani tiada merasakan, barulah kelak kesenangan surga akhirat akan kita temui.
Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, dan lain-lain, sahabat yang kebilangan, disiksa orang badan kasarnya, dijemur dibawah cahaya matahari yang panas dan dipukuli. Beribu-ribu manusia yang mati dalam perang, dalam pertempuran dan beroleh syahid. Namun orang yang datang kemudian masih tetap juga mengikuti langkah mereka. Bahaya jasmani itu tidak mereka fikirkan karena ruhani mereka lebih dahulu mengecap surga.
Tuan, akan dapat kesenangan, dapat surga, bahkan lebih daripada itu kalau tuan terima dengan tenang dan sabar akan nasib yang ditentukan Allah SWT kepada diri Tuan sekarang ini. Namun surga itu sekali-kali tidak akan didapat kalau yang sekarang berada di tangan dilupakan, hanya melihat pada surga yang jauh tergantung di awang-awang. Terimalah pemberian Allah SWT dan tunggulah ketentuannya. Itulah surga dalam hidup.
Penglihatan jangan dibanyakkan ke atas, tetapi menolehlah ke bawah. Dengan demikian kelak, Tuan melihat bahwa orang yang kurang daripada Tuan lebih banyak daripada orang yang di atas Tuan.
Dalam buku ini Hamka juga berkisah tentang Hadits Rasulullah saw yang panjang yang bercerita tentang seorang anak yang mengorbankan dirinya untuk dibunuh Raja. Dimana anak itu menyuruh Raja untuk mengucapkan ‘Bismillahi Rabbil Ghulam (dengan nama Allah Tuhan anak ini)’ sebelum membunuhnya dengan panah. Pembunuhan itu disaksikan oleh rakyat, dan akhirnya seluruh rakyat itu ikut agama atau percaya kepada Tuhan anak itu.
Islam memberikan didikan yang paling besar dalam perkataan ini. Itulah sebabnya Muslimin zaman dahulu telah mendapat kedudukan yang penting dalam dunia. Ayat Al Quran senantiasa mengajarkan mujahadah bil amwal dan bil anfus, dengan harta dan diiringi dengan diri.
Janganlah engkau menghembuskan nafas yang penghabisan melainkan dalam Islam.
Hamka kemudian bicara tentang pailit. Pailit di dunia masih dapat diobati. Kalau seorang ditimpa pailit pada waktu mudanya, masih banyak umurnya untuk berjuang, asalkan dia jangan putus pengharapan. Kalau dia sudah tua dan dia lekas matinya itu sebagai obat menghindari malu yang telah tercoreng di keningnya. Namun pailit dalam perjuangan hidup di akhirat adalah lebih hebat daripada , apa yang kita lihat sekarang.
Pada suatu hari, Rasulullah saw bertanya sebagai menguji pada pailit itu. Abu Hurairah menjawab bahwa orang yang pailit adalah orang yang kehabisan dinar dan dirham, kehabisan harta benda.
Bukan,”kata Nabi saw,”bukan itu orang pailit. Orang yang pailit dari umatku ialah yang datang pada hari kiamat, ada amal sembahyangnya, ada puasanya da nada zakatnya, tetapi selama hidupnya dia memaki kesana, mencela kemari, mengambil harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan menyakiti hati yang lain pula. Tiba-tiba sekalian kebaikan amalnya itu terpaksa diberikan kepada orang yang telah dirugikannya itu, kemari sebagian dan ke sana sebagian lagi. Nanti kalau tekor (kurang), kejahatan orang lain itupun ditimbunkan pada dirinya dan dia dilemparkan masuk neraka.”
Ketika berbicara tawakal, ulama yang produktif menulis ini menasihatkan orang-orang untuk mencontoh burung.
Burung-burung, mereka keluar dari sarang pagi-pagi buta, tidak mereka malas untuk mengipaskan sayapnya, terbang jauh-jauh mencari isi perut mereka. Kelak, bila matahari hendak terbenam mereka pulang dengan perut kenyang.
Burung-burung tidak mau tawakal hanya dengan bersembunyi atau menyerah, tetapi tidak berikhtiar karena yang demikian bukan bernama tawakal, melainkan pemalas.
Diri manusia sendiri adalah laksana intan. Intan itu akan keluar kilatnya kalau digosok.
Selama-lamanya ia akan tetap kabur, tidak dihargai orang jika hanya dibiarkan tinggal begitu saja, tidak diasah. Dalam perkataan itulah, tersimpul artian tawakal yaitu kerjakan, ikhtiarkan, sehabis daya dan tenaga. Kemudian itu, harus percaya dan harus yakin bahwa ia akan berhasil baik.
Pada suatu hari, baginda Amirul Mukminin Umar bin Khattab masuk ke dalam masjid. Di sana didapatkannya seorang sedang bermenung. Padahal waktu itu bukan waktu untuk iktikaf, melainkan waktu untuk mencari penghidupan. Umar ra bertanya,”Mengapa engkau bermenung wahai laki-laki?”
“Saya bertawakal, wahai Amirul Mukminin.”
“Celaka engkau, kata Umar,”dengan bermenung, engkau mengatakan tawakal. Ayo pergi dari sini, mencari penghidupanmu karena langit itu tidak akan menghujankan emas…”
Masih banyak hal yang menarik dibahas Hamka. Tentang filsafat setan, kerakusan terhadap harta dan lain-lain. Pokoknya sayang kalau karya ulama agung ini Anda lewatkan.
*Nuim (Sumber : Hamka, Penuntun Jiwa, GIP, Desember 2019).