Ketika Asma Dewi Lebih Menderita dari Ahok

by
foto:istimewa

Postingan Asma Dewi hanya mengungkap realitas sosial yang ada di tanah air. Mengapa ia diperlakukan lebih buruk dari Ahok ?

Wartapilihan.com, Jakarta –“Saya sudah ditahan lima bulan,” kata Asma Dewi yang didampingi putrinya kepada Warta Pilihan, Selasa lalu (6/2). Perempuan berjilbab ini dikurung tahanan dalam tahanan sejak 8 September 2017 lalu.

Ia tidak terima dirinya dituntut hukuman dua tahun oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Saya di TO (Target Operation),” jelasnya dengan wajah berbinar. Asma Dewi yang ditemui Warta Pilihan setelah sidang menyatakan tidak terima tuntutan jaksa. “Saya bingung dianggap membahayakan,” terangnya. Ia menyatakan bahwa adanya Saracen itu mempengaruhi semuanya. Padahal dari postingan-postingannya, setelah Aksi 2016 (212) kenyataannya damai-damai saja, tidak ada kerusuhan. “Saya tidak menerima keadilan di sini,” ungkapnya.

Kasus Asma Dewi memang berubah dari tuntutan awal. Ketika ia ditangkap pertama kali 2017 lalu, ia dituduh terlibat dalam jaringan Saracen. Pengacaranya yang tergabung dalam ACTA (Advokat Cinta Tanah Air), Dahlan Pido juga heran. “Tuduhan awal Saracen, tapi dalam dakwaan kok beda, jadi ujaran kebencian,” jelasnya. Ia menyatakan bahwa yang dilakukan Asma Dewi itu untuk membela negara, bukan unsur kebencian.

Apa sebenarnya postingan Dewi yang dituduhkan jaksa? Menurut Dahlan Pido, dan saksi ahli Letjen (purn) Syarwan Hamid, ada sedikitnya tiga postingan yang dimasalahkan jaksa Herlangga. Yaitu, postingannya yang berbunyi : ‘Cina akan hancurkan Indonesia lewat Tenaga Kerjanya’, ‘Di Malaysia diajarkan bahasa Jawa Kuno, sedang di Indonesia dipilih bahasa Cina’ dan ‘Vaksin Palsu dari Cina, tapi pemerintah malah mendirikan pabrik vaksin dari Cina.’

Syarwan Hamid menyatakan bahwa ekspresi kecemasan itu yang diperlihatkan Asma Dewi, karena pemerintah terkesan sayang sekali kepada Cina. “Dia dituduh dan langsung ditahan karena “menyebarkan kebencian”. Luar biasa Pasal Karet penyebar kebencian yang melebihi UU Anti Subversi 1963, telah menjadi pisau yang melibas aktivis yang kritis,”jelasnya.

“Ujaran status yang ibu Asma sampaikan merupakan ujaran biasa. Itu merupakan bentuk cinta dan peduli kepada bangsa Indonesia,” ungkapnya usai sidang Asma Dewi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (16/1).

Aktivis 212 ini dituntut hukuman penjara 2 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Jaksa meminta majelis hakim menyatakan Asma Dewi terbukti menyebarkan informasi yang mengakibatkan kebencian di Facebook.

“Meminta majelis hakim menyatakan terdakwa Asma Dewi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” ujar jaksa.

Lebih Menderita dari Ahok

“Ini balas dendam pendukung Ahok,” kata salah seorang pengunjung sidang Asma Dewi pada 6 Februari lalu.

Bila dicermati, para aktivis Islam memang kena balas dendam kasus Ahok dan bahkan lebih menderita dari nasib Ahok. Bila dulu Ahok ditahan setelah keputusan tetap hakim (21/6/2017), maka Asma Dewi dan para aktivis Islam harus mendekam penjara berbulan-bulan sebelum keputusan hakim ‘in kracht’.

Lihatlah Sri Bintang Pamungkas dipenjara 70 hari dalam kasus makar yang tidak jelas. Begitu juga Ustadz Mohammad al Khathath ditahan sekitar dua setengah bulan dengan tuduhan yang sama. Ustadz Alfian Tanjung juga sama ditahan polisi sebelum keputusan hukum tetap. Begitu pula Jonru dan Asma Dewi, harus menderita berbulan-bulan lamanya, padahal hakim belum ketok palu.

Mengapa Ahok tidak ditahan dalam proses pengadilannya dan ditahan bukan di lembaga pemasyarakatan? Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar mengatakan, seharusnya siapapun yang sudah menjadi narapidana itu ditahan di Lembaga Pemasyarakatan bukan di rumah tahanan. Menurutnya, narapidana itu harus dibina dalam suatu sistem pemasyarkatan dengan tujuan narapidana itu menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tak mengulangi perbuatannya, seperti Ahok. Abdul juga menyatakan bahwa ada diksriminasi hukum dalam soal Ahok ini.

Dengan ditahannya Ahok di rumah tahanan Mako Brimob Depok, memang masyarakat sangat sulit untuk mengecek keberadaan Ahok. Sehingga berkembang isu di media sosial bahwa Ahok ditempatkan di rumah seorang pejabat Polri di Brimbob, bukan di rumah tahanan.

Ahok sehari-hari tidur di ruang ber AC atau tidur di ruangan yang pengap penuh nyamuk, mayoritas rakyat tidak tahu.

Wartawan dan masyarakat sulit untuk mengecek keberadaan sehari-hari Ahok di sana. Di samping penjagaan sangat ketat di Mako Brimob, penjengukan terhadap tahanan di situ juga tidak bisa dilakukan sembarang orang. Tidak seperti tahanan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Siapapun bebas dan mudah untuk menjenguknya.

Melihat kesumpekan hukum seperti ini, tidak heran bila mantan Menteri Dalam Negeri dan Kapuspen TNI 1993, Syarwan Hamid mengajak tokoh-tokoh Islam untuk mengadakan aksi 212 kembali. “Begitu pula kepada kader 212, tak perlukah kita berkumpul lagi di Monas dengan kekuatan lebih besar untuk mendesak pemerintah agar tidak se-wenang-wenang terus?” ajaknya.

Syarwan dan banyak anak bangsa gelisah dengan diskriminasi hukum di negeri ini. Apakah tidak lebih baik DPR mengevaluasi kembali UU terkait dengan ujaran kebencian ini? Kalau polisi obyektif, mungkin bukan hanya Asma Dewi, Jonru dll yang harus ditahan polisi, tapi ribuan orang harus ditahan karena era kebebasan media sosial saat ini. Wallahu azizun hakim. II

Izzadina

One thought on “Ketika Asma Dewi Lebih Menderita dari Ahok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *