Kegaduhan politik di sebuah negeri sejatinya adalah akibat dari sebuah kepemimpinan yang dipegang oleh orang-orang yang tidak cukup kompeten. Ketidakmampuannya itu berakibat gonjang-ganjing politik yang tiada henti.
Wartapilihan.com, Jakarta –Adalah Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menarasikan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ» ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
Akan datang ke pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan, saat itu pendusta dibenarkan, orang yang benar justru didustakan, pengkhianat diberikan amanah, orang yang dipercaya justru dikhianati, dan Ar-Ruwaibidhah berbicara. Ditanyakan: Apakah Ar-Ruwaibidhah? Beliau bersabda: Seorang laki-laki yang bodoh (Ar Rajul at-Taafih) yang mengurusi urusan orang banyak/publik. (HR. Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
Inilah petunjuk kenabian yang futuristik tentang masa depan umat manusia. Kebodohan, kebohongan, keculasan, pemutarbalikan fakta dan data begitu masif. Seorang bodoh diutus untuk menjadi pemimpin, lalu di remote dari belakang. Untuk menutupi kebodohannya itu, ia dicitrakan sebagai seorang yang sederhana, pro-rakyat, dan karena itu harus keluar masuk gang kancil, gang tikus, masuk ke gorong-gorong, bagi-bagi duit kepada masyarakat yang menyapanya di pinggir jalan, dan seterusnya dan seterusnya. Pencitraan dinomorsatukan untuk menutupi prestasi yang tak kunjung nongol.
Sebagian masyarakat terpesona, sekaligus terkagum-kagum. Yang bodoh dibuat seakan-akan pintar, yang pintar dibuat bodoh, yang benar dibuat salah, yang salah dibenarkan. Ulama diundang ke istana, diajak makan siang, pulang mengeluarkan pernyataan bahwa si Anu itu baik, perhatian pada rakyat, dan seterusnya.
Ulama yang baik adalah mereka yang menghindar datang ke istana. Justru umara yang mendatangi ulama untuk mendengar nasehat dan menyerap ilmunya. Jika pun seorang ulama terpaksa harus mendatangi istana, dia mesti memberi nasihat kepada si presiden. Ketika pulang ia mesti tegas dan berani menolak pemberian amplop dari si tuan rumah. Dengan begitu para ulama akan berwibawa di mata umara, dan nasihatnya akan di dengar.
Jika ada ulama yang “menjilat” ke penguasa, efeknya pasti ada ulama yang dijadikan sasaran angkara murka, dikriminalisasikan, persoalan hukum bisa direkayasa, Sang Ulama dibuat malu dan tak berwibawa, lalu nasihat-nasihatnya tidak akan di dengar oleh masyarakat yang percaya atas informasi hoax yang sengaja disebarkan itu.
Kapankah jaman itu terjadi? Tanda-tanda itu sudah mulai nampak. Lihatlah betapa banyak orang yang menyewa konsultan politik demi pencitraan dirinya untuk maju sebagai pemimpin, baik sebagai walikota, bupati, gubernur, bahkan presiden. Juga para calon anggota dewan dan dewan perwakilan daerah.
Apa yang dilakukan oleh para konsultan politik tersebut? Yang bodoh dibuat seakan-akan pintar, yang busuk diharum-harumkan namanya, yang korup dicitrakan sukses membangun, yang perilakunya preman dibuat seakan-akan wakil wong cilik dan memperjuangkan nasib rakyat.
Begitulah. Gonjang-ganjing politik tiada henti. Padahal, ekonomi rakyat melemah, daya beli menurun, lapangan kerja diserobot orang asing, gaji pejabat dinaikkan, hutang negara terus membumbung, dan seterusnya. Ini semua akibat kepemimpinan dipegang oleh Ar Rajul at-Taafih. Wallahu A’lam.
Herry M. Joesoef