Ketika Anak Muda Berprestasi

by

Tidak banyak di dunia ini anak muda berprestasi. Termasuk di Indonesia. Tapi ada dua anak muda menorehkan prestasi besar dalam dakwah Islam. Dia adalah Azzam Habibullah (19 tahun) dan Fatih Madini (17 tahun).

Wartapilihan.com, Depok– Meski keduanya masih muda (remaja), tapi dunia rumit pemikiran telah digelutinya. Azzam telah menerbitkan empat buku. Sedangkan Imad –panggilan akrab Fatih Madini- telah menerbitkan dua buku yang cukup tebal. Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia (306 halaman) dan Reformasi Pemikiran dan Pendidikan Kita (370 halaman). Keduanya adalah mahasiswa At Taqwa College Depok. Kampus yang diasuh oleh cendekiawan Islam, Dr Adian Husaini.

Di dalam buku Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita, Fatih Madini menulis hal-hal yang mendasar tentang kesalahan mendasar wacana pemikiran Islam, pendidikan kita dan bagaimana cara membenahinya.

Dalam wacana pemikiran Islam misalnya, Imad membahas tentang keyakinan dan kerukunan. Di situ ia menyatakan bahwa untuk kerukunan beragama, tidak perlu meninggalkan keyakinan. Ia mengkritisi sikap beberapa pemeluk Islam yang dengan mudahnya meninggalkan keyakinan hanya untuk mendapat simpati agama lain. Imad menyatakan,
“Maka dalam rangka peringatan Hari Raya Natal misalnya, saya secara tegas menyatakan sikap saya, yakni tidak mengucapkan selamat hari raya Natal, apalagi sampai ikut berpartisipasi. Namun sebagai orang Islam yang berilmu, saya tidak memusuhi apalagi mengolok-olok, saya tetap akan menghormati mereka yang sedang merayakan hari tersebut. Kalau Natal dikaitkan dengan hari raya Idul Fitri, tentu tidaklah fair. Sebab Natal adalah memperingati Hari Lahir Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan.

Jadi untuk saling menghormati, orang Kristen tidak perlu berucap,”Selamat hari kelahiran Nabi Muhammad” kepada orang Islam. Sebab dalam hatinya, pasti ia tidak mengakui bahwa Muhammad (saw) adalah seorang Nabi. Juga tidak perlu orang Kristen ikut merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Jika orang Kristen mengakui kenabian Nabi Muhammad saw, berarti ia sejatinya bukan Kristen lagi.” (hal 8)

Imad juga mengkritisi tentang pendapat para filosof yang menyatakan: Tidak Ada Absolute Truth Claim. Mahasiswa at Taqwa College ini lebih dulu memaparkan tentang tulisan pengantar Dr Bambang Sugiharto dalam buku Dunia Sophie, karya Jostein Gaarder. Bambang mengatakan,”Belajar filsafat membuat kemampuan reflektif kita senantiasa berdenyut. Segala hal akan digugat dan digugat ulang oleh refleksi kita sendiri. Reflektifitas memang bersifat self cancelling alias gemar membatalkan pernyataan-pernyataan yang pernah dibuatnya sendiri. Itu sebabnya seribu filosof memberi seribu jawaban atas pertanyaan dasar hidup yang sama. Jawaban yang satu membantai jawaban dari filosof yang lain sebelumnya. Maka berada dalam alam filosofis membuat hidup kita “nomadic” tak pernah mantap stabil, bergerak terus mencari…Sebenarnya pikiran para filosof umumnya bersifat hipotetis saja, sebab omongan-omongan mereka itu menyangkut hal-hal yang terlampau dalam hingga tak mungkin dibuktikan, hanya mungkin diargumentasikan…Pada akhirnya dalam dunia filsafat, kita nyaris tidak bisa menyebut pikiran seorang filosof sebagai total “benar” atau “salah”. (Jostein Gaarder, Dunia Sophie, 2013:17-18).”

Jawaban Imad untuk masalah filsafat Barat yang kacau ini menarik dan mendalam. Delapan halaman ia membahas masalah filsafat ini. Simaklah sebagian komentar Imad tentang masalah ini :
“Inilah yang nantinya akan membuat setiap orang yang belajar filsafat, merasa bahwa tidak ada kebenaran di dunia ini, sehingga menjebak mereka dalam perangkap relativisme dan agnotisisme. Relativisme adalah paham yang tidak ada kebenaran sejati, semuanya relative. Sementara yang satunya, bukan hanya merasa tidak tahu, tapi juga berusaha menafikan kemungkinan untuk tahu. Intinya keduanya hendak menyimpulkan bahwa manusia tidak akan pernah bisa sampai pada kepastian dan kebenaran yang absolut. Sejatinya kedua doktrin itu mengakar kuat di peradaban Barat, bahkan ia merupakan kepribadian Barat yang sulit untuk dilepaskan. Sebab pada hakikatnya peradaban Barat itu berlandaskan pada falsafah bukan agama. Dalam sejarahnya, tentu bisa ditelusuri bagaimana paham ini bisa muncul. Hal ini berawal ketika zaman kelahiran kembali (Renaisans, kurang lebih abad 14-15) dimulai.

Sebagaimana yang diketahui, Renaisans adalah satu upaya peradaban Barat yang intinya adalah untuk keluar dari kerangkeng agama mereka, yakni Kristen. Sebab sebelum itu, di abad yang dikenal dengan the middle age, mereka telah lama mengalami trauma terhadap agama. Saat itulah muncul satu paham humanisme yang intinya adalah semangat kritis terhadap agama dan otoritas para pendetanya. Caranya dengan lebih menitikberatkan segala sesuatu pada akal. Ketika itu akal manusia dianggap sebagai suatu hal yang membanggakan dan bisa mengangkat kembali kemanusiaan dengan mengibarkan akal serta mengekang agama sekuat mungkin. Dampaknya ialah hilangnya otoritas agama sehingga musnahlah monopoli tafsir (yang ketika itu dipegang oleh Gereja sebagai wakil tuhan). Sampai-sampai pada abad ke 19-20, sikap kritis itu lama kelamaan Barat dikenal sebagai peradaban modern…

Jika ditelusuri lebih lanjut, maka akan terlihat benang merah dengan kepribadian yang lain, yakni dualism. Mudahnya dualism adalah ‘paham penduaan yang mutlak dan saling bertentangan.” Jadi ia memisahkan dua hal yang semestinya tidak dipisahkan. Hal ini terjadi ketika akal dijadikan sebagai satu-satunya sarana mencari hakikat. Karena terbatasnya akal, maka ada satu kondisi dimana orang Barat kebingungan ketika berhadapan dengan dua realitas (atau bahkan lebih). Secara otomatis akalnya akan menghilangkan hierarki dalam setiap objek, sehingga semuanya menjadi sama dan setara. Saat akal sudah mulai bingung, maka ia akan dengan seenaknya menganggap bahwa segala sesuatu yang sama itu bertentangan dan perlu dipisahkan: seperti jiwa dan raga. Dampaknya ia akan berbuat semaunya selama hatinya baik. Maka lahirlah istilah-istilah yang rancu, seperti “penjahat yang santun”, “koruptor yang dermawan”, “ateis yang baik”, “pelacur yang moralis” dan sebagainya (Lihat tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi bertajuk “Dualisme” dalam jurnal Islamia yang bertemakan Wajah Universitas Islam).

Salah satu yang mereka pisahkan lagi, adalah agama dan negara, akhirat dan dunia, sains dan wahyu, dan semacamnya. Maka tumbuhlah kepribadian Barat yang lain, yakni sekularisme. Bagi Prof Syed Muhammad Naquib al Attas sekularisme adalah paham kedisikinian. Yakni paham yang hanya memikirkan di sini (dunia) dan kini (sekarang) bukan disana (akhirat) dan nanti (sesudah kematian). Inti dari paham ini adalah memisahkan urusan agama dengan urusan dunia. Maka terjadilah tiga dampak besar ketika paham ini dipraktekkan (sekularisasi): (1) Diputusnya unsur ketuhanan dari alam semesta (2) Disingkirkannya agama dari ranah kepemimpinan (politik) (3) Ketiadaan nilai yang mutlak, final dan suci (berubah-ubah mengikuti waktu dan tempat) (Syed Muhammad Naquib al Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, 2001:196-197). (Fatih Madini, halaman 24-26).

Selain pintar menulis (dan ceramah), Imad juga pandai menulis puisi. Simaklah puisi yang dibacakannya ketika wisuda Pristac, 3 Agustus 2019. Puisi ini ia beri judul : Terima Kasih Pesantren at Taqwa! dan Sumbangan at Taqwa

Terima Kasih Pesantren at Taqwa!

“Tak terasa tibalah waktu kami untuk diwisuda
Rasanya baru kemarin kami menimba adab dan ilmu bersama
Melakukan aktivitas seorang santri pada umumnya
Dalam rangka memperbaiki jiwa dan raga
Serta menambah jawaban dan soal kehidupan dan pengalaman yang sulit dilupa
Banyak kenangan juga pemberian yang kami dapatkan

Sebab at Taqwa, kami termotivasi, berubah cara pandang kami, bahkan tersadarkan,
Akan banyak hal yang penting bagi setiap insan,
Mulai dari adab yang lebih diutamakan,
Ilmu yang mesti diamalkan dan diajarkan,
Keikhlasan yang harus selalu ditanamkan,
Izzah sebagai seorang Muslim yang tidak boleh dilepaskan,
Serta tujuan belajar yang mesti diluruskan”
000
Sumbangan At Taqwa

At Taqwa mengajarkan kami bahwa kepintaran bukan tujuan utama
Masuk sekolah favorit atau kampus bergengsi bukan hal yang luar biasa
Lalu memperoleh kerja untuk kemudian bisa makan bukan pula tujuan yang mulia
Sebab itu sama saja mengkerakan manusia
Bahkan merendahkan manusia dari kera
Sebab kera tidak perlu sekolah dan ke kampus untuk makan dan menghidupi keluarganya

Yang selalu ditanamkan pada kami,
Adalah Bagaimana Insan Adabi bisa tercipta,
Menjadi manusia baik, yang bisa meletakkan segala sesuatu, termasuk ilmunya
Pada tempat yang semestinya sesuai akal dan kehendak Allah SWT
Manusia yang bersih dari riya’, ujub, sombong, dengki dan hubbud dunya
Bukan malah melahirkan a new barbarian ke alam dunia,
Mungkin ia pintar, dapat kampus bergengsi, lalu bisa duduk dekat penguasa,
Namun ia kekurangan hal yang substansi, yakni jiwa yang bersih serta adab yang mulia
Ingatlah keilmuannya hanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dimana-mana

At Taqwa mengubah cara pandang kami
Akan siapa itu orang sukses dan mulia
Bukan siswa siswi UI dan dokter dengan keelokan gengsinya
Bukan pejabat dengan ketinggian jabatannya
Bukan artis dengan kegemilangan harta dan pengikutnya
Bukan pula selegram dan youtuber dengan jutaan follower dan subscribernya
Sebab yang Rasul katakan tentang sebaik-baik manusia
Dan insan yang paling mulia
Bukan mereka para intelektual, artis dan penguasa
Tapi mereka yang bisa memberi sumbangan terbaik meskipun kualitasnya seperti batu bata
Dan mereka yang bisa memberi sumbangan terbaik meskipun kualitasnya seperti batu bata
Dan mereka yang selalu mencoba taat kepada Yang Maha Kuasa
At Taqwa mengajarkan kami bahwa hakikat kelulusan bukan untuk bekerja
Melainkan berjuang di jalanNya sesuai dengan kapasitasnya
Layaknya generasi santri tahun 45
Yang berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia
Bahkan rela mati demi mencapai tujuan hidup yang mulia
Jujur semangat peduli, selalu ditekankan dalam setiap keadaan
Sebab kejujuran membawa kepercayaan
Dan itulah modal utama dalam setiap liku-liku kehidupan
Semangat menciptakan keindahan
Bagi terlaksananya tradisi ilmu, ibadah, serta penanaman adab dalam diri setiap insan
Peduli, menjadi asas amar ma’ruf nahi munkar, dan itulah pilar keberkahan dan kebangkitan”

*(Nuim. Bagi yang ingin mendapatkan bukunya bisa menghubungi Difa Books, 081381112253).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *