Salah satu pokok tarbiyah (pendidikan) Islam ialah, memurnikan dakwah dari segala kepentingan duniawi. Allah ta’ala telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
“Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam”.(QS. Asy Syu’ara: 127) Sebagaimana ayat ini pernah dijelaskan oleh ulama besar Muslim Syaikh Abdullah Azzam rahimahullah dalam kitab Tarbiyah Jihadiyah, ayat ini diserukan oleh semua nabi, dan diucapkan pula oleh Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, dan Nabi Syu’aib dalam Surat Asy-Syu’ara. Rahasianya karena sesungguhnya jiwa manusia itu akan merasa segan atas orang yang biasa memberikan sesuatu kepadanya, maka dari itu tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
“Para Nabi dan para da’i wajib menjauhkan diri dari keduniaan manusia, sehingga mereka mau menerima dakwahnya. Karena itu tak pernah sekalipun Rasulullah SAW menjanjikan fasilitas keduniawian kepada salah seorang pengikutnya atau ingin segera orang yang diajaknya itu masuk Islam dan beriman kepadanya,” demikian tutur Syaikh Azzam.
Diriwayatkan suatu ketika Rasulullah melewati keluarga Yasir yang tengah mendapat siksaan karena masuk Islam, maka Rasulullah hanya mengucapkan: “Bersabarlah wahai keluarga Yasir! Karena sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah Jannah” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Thabrani, Hakim, Baihaqi dan Ibnu Asakir). Kita akhirnya pun tahu, keikhlasan dan kesabaran keluarga Yasir menjadi contoh ideal sepanjang masa.
Rasulullah tidak pernah membujuk dan menjanjikan objek dakwahnya dengan harta dunia, kekuasaan, jabatan ataupun kepemimpinan. Karena itulah diriwayatkan saat Rasulullah berdakwah kepada bani ‘Amir, salah seorang diantara mereka yang bernama Buhairah bin Farras, meminta kekuasaan duniawi: “Bagaimana jika kami berbai’at kepadamu atas perkaramu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang-orang yang menentangmu, apakah urusan itu akan menjadi milik kami sesudahmu?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Perkara ini milik Allah, Dia menempatkan di tempat manapun yang dikehendaki-Nya.” Dengan demikian, beliau mengajarkan kepada kita umat Islam, bahwa siapa yang menjadikan Islam untuk ambisi kekuasaan dan kedudukan pribadi akan tertolak amalnya, bahkan bisa jadi berdosa besar.
Dakwah sebagai kewajiban agung dalam Islam sangat menuntut keikhlasan. Bahkan tidak akan ada dakwah jika tanpa keikhlasan. Semua imbalan yang diharapkan dari dakwah harus langsung berasal dari Allah. Pada waktu Bai’at Aqabah Kedua musim Haji tahun 13 kenabian, Nabi SAW bersabda kepada kaum Anshar:
“Aku membai’at kalian atas: Kalian melindungiku seperti halnya kalian melindungi istri-istri kalian dan anak-anak kalian”. Mereka bertanya: “Apa yang kami dapatkan ya Rasulullah, jika kami penuhi bai’at tersebut?”. Beliau menjawab: “Jannah”. Mereka berseru: “Jual beli yang menguntungkan, kami tidak akan membatalkan dan tidak akan minta dibatalkan.”
Begitulah keikhlasan generasi Qur’ani dan Rabbani tersebut, dalam konteks ini sahabat kaum Anshar. Keikhlasan yang tidak bercampur aduk dengan sesuatu apa pun selain ridha Allah dan balasan Surga. Inilah yang wajib diteladani para da’i dan mubaligh saat ini di seluruh muka bumi. Oleh karena mereka bekerja menegakkan hukum Allah di muka bumi maka wajib meminta imbalan kepada Allah pula.
“Dakwah itu hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang hatinya bersih dari segala tendensi, jika tidak demikian maka dakwah itu akan berubah menjadi tangga bagi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dan menjadi ajang bisnis bagi sekelompok kaum. Dan mereka harus tahu, bahwa uluran tangan mereka kepada para penguasa dan para hartawan akan menjatuhkan dakwah mereka di hati penguasa dan para hartawan, serta menanamkan bibit kebencian dalam hati rakyat jelata pada diri mereka dan dakwah mereka,” demikian penuturan yang pernah terlontar dari Syaikh Abdullah Azzam.
Orang Muslihin (yang memperbaiki kerusakan) yang ingin meneladani generasi Rabbani paling ideal, yakni para sahabat Rasulullah, harus menjauhkan diri dari iming-iming duniawi, terlebih imbalan para penguasa dan para pejabat. Para ulama terdahulu pernah mengatakan: “Sejelek-jelek ulama adalah mereka yang paling dekat dengan para penguasa. Dan sejelek-jelek pemimpin adalah mereka yang paling jauh dari ulama.”
Imam Ibnul Mubarak pernah menyindir ulama yang cenderung mencari kedudukan dengan mendekati penguasa, Ibnul Mubarak berkata: “Hai orang yang menjadikan agama sebagai alat baginya untuk memburu harta kekayaan para penguasa.”
Para sahabat Nabi SAW, generasi terbaik yang telah diuji Allah azza wa jalla untuk bersabar dikala berpegang teguh pada keimanan dan ketaqwaan. Allah mengetahui bahwa para sahabat Rasulullah, manusia-manusia didikan Muhammad bin Abdullah SAW, jiwanya bersih dari segala ambisi selain balasan di akhirat, Allah tahu bahwa mereka tidak mengharapkan balasan di dunia ini sepanjang eksistensi mereka. Oleh karena itu para sahabat menjadi orang-orang yang dapat dipercaya menjaga syariatNya, sehingga Allah pun memberikan kekuasaan kepada mereka di bumi dan meletakkan amanah yang besar itu diantara kedua tangan mereka.
Ilham Martasyabana, penggiat sejarah Islam