Kecolongan Beras

by
foto:https://sonofmountmalang.files.wordpress.com

Keputusan impor beras, menjadi blunder bagi pemerintah. Dipicu data yang kurang valid dan tidak adanya koordinasi yang solid. Petani tak boleh jadi korban lagi.

Wartapilihan.com, Jakarta –Kebijakan untuk menutup kran impor beras sudah menjadi tekad Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hal ini terkait ambisi untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tidak tergantung dari pasokan luar.

Untuk mencapai itu, pemerintah pun mulai membangun ratusan bendungan di seluruh Indonesia untuk pengairan dan irigasi area persawahan. Langkah ini untuk memberikan penguatan bagi sektor pertanian. Pembangunan infrastruktur ini menjadi strategis lantaran saat ini kondisi irigasi di dalam negeri, 52 persen dalam kondisi rusak.

Berkat tekad ini, pada akhir tahun lalu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengklaim tentang terapainya swasembada pangan komoditas beras, cabai, jagung dan bawang.

Namun, seperti kemarau yang dihapus hujan sehari, klaim Menteri Pertanian tentang swasembada itu hilang tertiup angin ketika pemerintah memutuskan melakukan impor beras. Hal ini karena beberapa waktu belakangan, harga beras mengalami kenaikan signifikan, bahkan mencapai titik tertinggi pada awal tahun 2018,

Di Pasar Induk Beras Cipinang, harga beras jenis medium pada akhir pekan lalu mencapai antara Rp 10.500 sampai Rp 11.500. Angka ini jauh melebihi harga beras pada awal 2017 sekitar Rp 9.500.

Padahal, Menteri Amran sebelumnya meyakini tak akan ada impor beras hingga April 2018. Sebab, stok beras saat ini mencapai 1,74 ton. Bahkan, pemerintah saat ini juga memiliki serapan beras hingga 8 ribu-9 ribu ton per hari.

Menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, melonjaknya harga beras karena kurangnya pasokan beras medium. Kenaikan harga beras medium ikut mendorong lonjakan harga beras premium.

Kementerian Perdagangan pun berinisiatif memperluas operasi pasar bersama Bulog di beberapa daerah yang harga berasnya mahal. Namun tetap saja, langkah itu belum cukup mendorong harga beras turun. Alhasil, opsi terakhir diambil, yaitu membuka keran impor beras.

Menteri Enggar mengaku sempat berdebat dengan pemangku kepentingan lainnya untuk mengambil keputusan impor. Namun, dia menegaskan, kebijakan impor memang harus cepat dilakukan, karena beras merupakan komoditi utama yang harus dijaga kestabilan harganya.

Bagaimana pun masalah kenaikan harga beras, political risk-nya terlalu tinggi. Apalagi mulai memanasnya atmosfer politik tanah air. Meskipun menteri Enggar menjamin pemerintah hanya akan mengimpor jenis beras yang tidak ditanam di Indonesia, atau masuk dalam kategori beras khusus, dan tidak akan berdampak ke petani dalam negeri, namun jaminan itu belum tentu bisa dipenuhi.

Karena keputusan impor itu sendiri, yang akan dilakukan pada akhir Januari, akan mengganggu harga beras petani dalam negeri. Karena pada Maret mendatang akan memasuki masa panen raya.

Selain itu beras impor tersebut malah tidak terpakai karena tidak ada wilayah penyaluran. Sehingga operasi pasar yang dilakukan pemerintah pun dinilai tidak efektif. Karena volume operasi pasar yang sedikit juga kualitas beras yang tidak bagus.

Dari persoalan soal beras yang ternyata memang tidak mudah diselesaikan ini, membuktikan jika data yang selama ini dimiliki oleh pemerintah terkait dengan stok beras tidak kredibel.

Selain itu, dibukanya keran impor ini juga menjadi bukti kegagalan Kementerian Pertanian dalam menjaga produksi beras di dalam negeri. Akibatnya, pasokan beras di pasaran menurun dan membuat harga melambung.

Dengan langkah impor beras, memperlihatkan kurangnya antisipasi terkait produksi beras nasional khususnya data produksi beras yang kurang akurat. Jika memang benar, data produksi gabah nasional tahun 2017 sebesar 77 juta ton GKG atau setara dengan 38,5 juta ton beras, dan konsumsi beras nasional sekitar 31, juta ton, seharusnya Indonesia mengalami surplus sekitar 7 juta ton beras.

Jika surplus 7 juta ton beras, maka seharusnya harga beras di pasaran tidak perlu melonjak seperti ini. Pemerintah, harus memberikan evaluasi dan perhatian khusus tentang produksi beras, apakah benar produksi beras kita ini mengalami kenaikan atau surplus.

Jadi, klaim menteri Amran yang menyebut adanya surplus, perlu di cek lagi. Bisa saja secara nasional memang terjadi surplus, namun itu hanya disumbang oleh hasil di beberapa daerah tertentu.

Sementara mobilitas logistik yang tidak fleksibel, membuat kebutuhan tidak terpenuhi secara merata. Atau jangan-jangan ini hanya laporan sepihak, agar pimpinan senang. Bagaimana pun gaya bekerja Asal Bapak Senang (ABS) bisa memicu bencana. Ini yang harus dihindari pejabat kita yang katanya mau melakukan revolusi mental.

Rizky Serati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *