Bicara historiografi Islam dan historiografi sirah Nabawiyah, tak lengkap rasanya jika tidak menyebut Syaikh Prof. Akram Dhiya’ Al-Umari. Tidak diragukan lagi, beliau merupakan salah seorang paling ‘alim dalam bidang sirah nabawiyah dan historiografi awal Islam yang dimiliki umat saat ini.
Wartapilihan.com, Jakarta — Legenda hidup (beliau lahir 1942 M) intelektual Islam dan sejarawan Muslim ini dalam kitab fenomenalnya “Shahih Sirah Nabawiyah” mengemukakan dua langkah paling awal dalam menentukan karakter pandangan (worldview) penulisan sejarah Islam. Apa yang beliau tuangkan, tidak lain dalam rangka menjalankan pemikirannya terkait historiografi, dengan mengambil langkah-langkah de-orientalisme dan penulisan sejarah melalui metodologi ilmu hadits.
Bagi Syaikh Akram, yang paling awal harus diperhatikan dalam menafsirkan sejarah bagi seorang Muslim. Pertama, memperhatikan fakta yang secara jelas gamblang disebutkan dalam Al-Qur’an dan mengakui hakikat yang diakui oleh Al-Qur’an, seperti misalnya asal-usul keimanan manusia.
Aqidah manusia yang asli adalah tauhid bukan syirik, tauhid merupakan aqidah yang asli dari sejak Adam AS hingga kemudian munculnya kesyirikan, Allah berfirman: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira… (QS 2: 213).
Manusia adalah satu umat yang beragama tauhid. Ketika mereka meninggalkan tauhid dan menjauh darinya, maka Allah mengutus para nabi untuk membawa mereka kembali kepada ajaran yang murni. Walau diterangkan secara jelas dalam Al-Quran, banyak kita jumpai sejarawan Muslim menyatakan sesuatu bertentangan dengan Al-Qur’an. Misalnya, mereka berpandangan bahwa asal usul agama manusia melibatkan penyembahan binatang, pohon dan kekuatan-kekuatan natural (animisme-dinamisme). Sebagai hasil evolusi intelektual, manusia sampai kepada tauhid. Mereka membalikan kebenaran yang ada pada kitab suci Al-Qur’an, dengan beralasan hal itu berasal dari metode ilmiah, walaupun buktinya sejauh ini tidak ada sama sekali.
Penyebab hal itu tidak lain karena, pertama, sejarawan Muslim tertentu menolak menolak keautentikan wahyu Ilahi dan kenabian, mereka berpendapat keyakinan agama berkembang dari penyembahan terhadap tuhan-tuhan menuju kepada Tuhan yang benar sebagai akibat dari pengembaraan manusia yang termanifestasikan melalui evolusi intelektual dan kultural manusia. Hal ini populer di tradisi keilmuwan sosiologi dan antropologi Barat, di mana umat Islam banyak yang mengikuti Barat begitu saja karena menyangka apa yang dari Barat dikesankan “maju”, “ilmiah” dan “modern” padahal tidak sama sekali. Kedua, sejarawan-sejarawan Muslim terpengaruh westernisasi dengan Darwinisme-nya. Pada akhirnya menjadikan sejarawan Muslim menerapkan teori evolusi dan asal-usul ciptaan materinya ke dalam bidang keyakinan agama dan ilmu-ilmu lainnya.
Sejarawan muslim diharapkan dapat memahami konsep-konsep dasar Al-Quran tentang sejarah manusia dan wajib menjadikannya tolak ukur, baru kemudian meneliti dengan seksama ketika menulis sejarah.
“Sebagian besar asumsi-asumsi tentang sejarah kuno itu dibangun di atas penemuan-penemuan arkeologis, sebenarnya upaya demikian rupa itu hanya memberikan informasi yang sangat terbatas yang tidak cukup untuk menjembatani perbedaan yang begitu besar yang ada dalam pengetahuan kita tentang sejarah kuno,” terang Syaikh Akram dalam bab “Metodologi penulisan sejarah awal Islam”, sedangkan kaum Muslimin memiliki Al-Quran yang tiada kesalahan dan keraguan padanya. Maka merujuk pada Al-Qur’an saat membahas sejarah kuno manusia bisa memberikan pengetahuan yang pasti dan suatu “konstruk” tentang asal-usul dan perjalanan sejarah manusia kuno.
Kedua, adalah penafsiran terhadap dorongan perilaku di kalangan kaum Muslimin pada permulaan Islam. Interpretasi kita terhadap motif-motif perilaku Muslim periode awal Islam hendaknya meyakini bahwa para salaf (generasi sahabat, tabi’in hingga tabi’ut tabi’in) mengukir sejarah karena dorongan keimanan dan aqidah Islam. Dalam suatu masyarakat Muslim yang dasar keimanan dan akidahnya sangat mengakar serta dominan, motif-motif perilaku sangat dipengaruhi oleh aspirasi untuk memperoleh keridhaan Allah ta’ala dan pahala di akhirat. Tidak ada motif lain dari perbuatannya. Ini penting bagi Muslim untuk memurnikan niatnya bahwa segala amal perbuatan hanya semata-mata bertujuan mencari keridhaan Allah, baik menyangkut jihad, ibadah, atau aktivitas-aktivitas sosial, ekonomi dan politik. Sebagaimana dijelaskan Syaikh Akram Dhiya’ Al-Umari.
“Seorang Muslim dalam setiap jengkal kehidupannya selalu berada dalam di seputar usaha mencari keridhaan Allah,” terang sejarawan Muslim paling otoritatif di zaman ini.
poin kedua hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan sejarah Islam adalah penafsiran terhadap dorongan perilaku di kalangan kaum Muslimin pada permulaan Islam. Interpretasi kita terhadap motif-motif perilaku Muslim periode awal Islam hendaknya meyakini bahwa para salaf (generasi sahabat, tabi’in hingga tabi’ut tabi’in) mengukir sejarah karena dorongan keimanan dan aqidah Islam.
“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menerima amalan seorang kecuali dengan niat ikhlas dan keinginan untuk bertemu Allah SWT” begitulah bunyi hadits itu.
Pengetahuan tentang pengaruh Islam dalam mendidik para pemeluknya pada permulaan Islam mulai dari penyucian jiwa, pengasahan akal, pemurnian aqidah dan pengamalan yang hanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah semata, menjadi satu-satunya motivasi yang mendorong generasi salaf atau generasi awal Islam dalam membangun sejarahnya. Goresan tinta emas yang mereka lakukan mulai dari berjihad, penyebaran Islam, memanajemen wilayah-wilayah Islam, berijtihad dalam setiap perkara-perkara baru yang dihadapi, hanya semata tertuju untuk penghambaan terhadap Allah semata. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan motivasi kekuasaan dan menjajah daerah lain sebagaimana penafsiran orientalis yang menyesatkan.
Menarik, gambaran hal ini diungkapkan dengan indah oleh Mughirah bin Syu’bah dan Rib’i bin ‘Amir. Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam Tarikhnya jilid tiga 520-528, Rustum panglima perang Persia mencoba menyuap Mughirah agar kamu Muslimin membatalkan serangannya atas imperium Persia, Mughirah menolaknya dan menjawab:
“Kami datang membawa perintah dari Rabb kami, kami berjihad di jalanNya, melaksanakan perintahNya, memenuhi janjiNya, kami datang untuk mengajak kalian memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai undang-undang. Bila kalian patuh (menerima), maka kami akan tinggalkan kalian dan pulang sementara yang ada bersama kalian adalah Kitab Allah SWT. Dan jika kalian menolak maka tidak ada pilihan lain selain perang atau kalian membayar jizyah sebagai jaminan diri kalian, dan kalau kalian menolak maka Allah akan mewariskan kepada kami negeri, keturunan dan harta benda kalian, maka dari itu terimalah nasihat dari kami. Demi Allah, Islamnya kalian jauh lebih kami cintai daripada harta benda kalian.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Ath-Thabari, Rib’i bin ‘Amir menemui Rustum di kemahnya, dan Rustum bertanya, “Dengan tujuan apa kalian datang?” Rib’i menjawab:
“Allah SWT yang mengutus kami untuk datang, untuk membebaskan siapa saja yang mau terbebas dari peribadahan kepada sesama hamba menjadi peribadahan kepada Allah semata, dari sempitnya dunia kepada keluasannya, dari kekejian agama-agama lain kepada keadilan Islam, Allah mengutus kami kepada seluruh makhluk dengan agamaNya agar kami mengajak mereka (para makhluk) untuk memeluk agamaNya.”
Apa yang diungkapkan dua tokoh Islam ini sama sekali tidak menunjukkan ambisi pribadi. Masyarakat Muslim generasi awal memiliki keistimewaan dan niat yang ikhlas kepada Allah dalam mengukir sejarah.
Dengan memperhatikan fakta yang secara jelas gamblang disebutkan dalam Al-Qur’an dan mengakui hakikat yang diakui oleh Al-Qur’an, apalagi berkenaan dengan asal-usul keimanan manusia, merupakan hal yang mutlak dalam historiografi Islam. Begitu pula penafsiran terhadap dorongan perilaku di kalangan kaum Muslimin pada permulaan Islam, harus selalu dikaitkan dengan tugas risalah Islam itu sendiri. Sebab, tidaklah mungkin sebuah historiografi Islam itu dipahami atau ditulis, tanpa mengaitkan aktor sejarahnya dengan tugas risalah.
Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam