Kampanye Anti Radikal dan Anti Pancasila, Ditujukan Kepada Siapa?

by
Foto:istimewa

 

Barat tempatmu bergantung
Telah menipu otakmu dan menyihir jiwamu
Barat tempatmu bergantung
Telah menipu dirimu
Sekali dengan bujuk halus dan rayuan
Sekali dengan belenggu dan jeratan.” (Muhammad Iqbal)

Wartapilihan.com, Jakarta — Saat ini di sekitar kita banyak kita jumpai spanduk-spanduk yang menyatakan anti Radikal dan anti Pancasila. Spanduk itu seperti meneror kaum Muslim yang merupakan mayoritas di negeri ini. Entah siapa yang sutradaranya yang membuat.

Radikal dan moderat sebenarnya adalah istilah yang datangnya dari Barat. Presiden Turki Erdogan menyatakan kepada Pangeran Saudi, Muhammad bin Salman : “Istilah Islam moderat sedang digemakan lagi,” kata Erdogan dalam sambutannya pada Jumat (10/11). “Paten ‘Islam moderat’ milik Barat. Tidak ada Islam ‘moderat’ atau ‘tidak moderat’; Islam adalah satu. Tujuan menggunakan istilah semacam itu adalah melemahkan Islam. ”

“Mungkin orang yang menyuarakan konsep ini menganggapnya miliknya. Tidak, itu bukan milik Anda,” kata Presiden Erdogan, tanpa menyebut nama Mohammed bin Salman. ( “The term ‘moderate Islam’ is being lathered up again,” Erdogan said in his Friday remarks. “The patent of ‘moderate Islam’ belongs to the West. There is no ‘moderate’ or ‘immoderate’ Islam; Islam is one. The aim of using such terms is to weaken Islam.”

“Perhaps the person voicing this concept thinks it belongs to him. No, it does not belong to you,” President Erdogan said, without referring to Mohammed bin Salman by name. (lihat http://www.presstv.com/Detail/2017/11/11/541772/Turkey-President-Erdogan-Mohammad-bin-Salman-Saudi-crown-prince-moderate-Islam)

Kata-kata Islam militan, Islam garang, Islam fanatik dan Islam radikal itu sebenarnya hanya untuk memburukkan citra kaum Muslim yang tidak disukai kaum non Muslim (Barat). Bisa dikatakan mereka ingin memecah belah kaum Muslim. Mereka melakukan politik devide it impera. Mengangkat kaum Muslim yang satu dan menginjak yang lain.

Belanda dulu menggunakan istilah radikalis, ekstrimis dan fanatik untuk para pejuang Islam di Indonesia. Ulama besar Buya Hamka menyatakan : “Tuan boleh menuduh kaum Muslimin itu fanatik. Tetapi Tuan harus membenarkan kata hati tuan sendiri bahwasanya fanatik umat Islam itu adalah modal yang sangat besar dalam kemerdekaan Indonesia. Agar Tuan tahu itu bukanlah fanatik! Itu yang bernama ghirah (semangat).”

Istilah moderat, militan atau radikal memang ‘istilah karet’. Dapat ditarik ulur untuk menstigma kelompok yang dimusuhi. Sebuah buku yang berjudul “Siapakah Muslim Moderat ?”, yang ditulis banyak cendekiawan (editor Jhon L Esposito) menarik untuk dicermati.

Daniel Pipes, ilmuwan Barat yang dikenal ‘keras’ misalnya mengkategorikan Muslim moderat dan Muslim radikal dengan pertanyaan-pertanyaan, diantaranya masalah sekulerisasi seperti ini : Apakah non Muslim seharusnya mempunyai hak-hak sipil persis sama dengan Muslim? Bolehkah Muslim pindah ke agama lain? Apakah perempuan Muslim boleh menikahi laki-laki non Muslim? Apakah Anda menerima perundangan dari pemerintahan mayoritas non Muslim dan taat sepenuhnya kepada pemerintah itu tanpa syarat? Apakah negara harus memaksakan ketaatan beragama, seperti melarang menjual makanan di bulan Ramadhan? Ketika ajaran Islam bertentangan dengan hukum-hukum sekuler (misalnya menutup muka bagi pas foto untuk SIM), yang mana harus mengalah?

Muqtader Khan seorang dosen di Universitas Delaware di buku itu menyatakan bahwa Muslim moderat berbeda dengan Muslim militan, meskipun keduanya menghendaki suatu masyarakat dengan prinsip organisasi Islam. “Bagi Muslim moderat, ijtihad merupakan pilihan cara yang lebih disukai untuk perubahan sosial dan politik dan jihad dengan senjata adalah pilihan terakhir. Bagi Muslim militan, jihad bersenjata adalah pilihan pertama dan ijtihad bukan termasuk sebuah opsi.”

Dr Yvonne Yazbeck Haddad seorang ahli sejarah di Universitas Georgetown mengkritisi gaya pemerintah Amerika yang membagi dunia hanya dua, hitam dan putih. “Pembuat kebijakan Amerika cenderung melihat dunia sebagai hitam putih, kenyataan yang tampak dalam retorika dan kebijakan perang pemerintah Amerika. Perang melawan teror membagi dunia menjadi baik dan buruk, beradab dan tidak beradab, demokratis dan despotis, bebas dan tertawan. Kebijakan perang ini bertentangan dengan tujuan demokrasi, toleransi dan peradaban Amerika, yang diklaim oleh para elit Amerika sebagai target para teroris. Pemerintah Amerika, sementara mengklaim memiliki tujuan menciptakan pemerintahan yang demokratis di semua negara Muslim, menuntut pemerintah yang sama menunjukkan moderasi keislaman mereka dengan cara mengadili, kalau secara tidak langsung menyakiti, orang yang dicurigai teroris,” kata Yvonne.

Sementara itu, Yamin Zakaria alumni Chemistry dari London University menuliskan bahwa Islam moderat juga disebut Islam sekuler. “Pemerintah AS telah memulai usaha memproduksi ulama dan ahli dalam mempromosikan versi Islam moderat sambil merekrut dan memperkenalkan orang moderat (neo mods) yang sudah ada yang akan mengkampanyekan hal yang sama. Kalau ini gagal, maka AS telah mengeluarkan ancaman untuk memaksakan demokrasi dan kebebasan.”

Menarik analisa ahli politik John L Esposito ketika memulai tulisan tentang moderat ini. “Kecenderungan masyarakat kita adalah ingin mendefinisikan apa itu normal atau moderat dalam istilah orang seperti ‘kita’ ini. Pemerintah Amerika, begitu pula dengan kebanyakan pemerintah dan para ahli hukum Islam dan Barat, mengartikan moderat sebagai melakukan refleksi terhadap diri mereka sendiri. Jadi Irsyad Manji, atau Muslim sekuler dimasukkan dalam kategori Muslim moderat yang swa kritis (self critical) oleh sejumlah komentator seperti Thomas Friedman dan Daniel Pipes…”

Memang mendefinisikan moderat atau radikal adalah rumit. Ketika seorang gubernur Muslim, misalnya tidak setuju dengan pelacuran dan minuman keras di daerahnya, kemudian ia membuat aturan larangan untuk kedua hal itu, ia radikal atau moderat? Muslim yang faham Al Quran mungkin menyebut ia moderat, karena kebijakannya sesuai dengan Al Quran. Sementara orang-orang non Muslim atau kaum Muslim sekuler mungkin menyebutnya radikal, karena gubernur itu membuat kebijakan yang membuat ketidakbebasan bagi orang yang hobi kedua barang maksiyat itu.

Para cendekiawan sekuler cenderung mengartikan moderat adalah mereka yang mau mengkompromikan ayat-ayat suci dengan realitas sosial. Sementara para cendekiawan Islam –tidak peduli istilah moderat/radikal – menginginkan bagaimana sebuah realitas sosial yang ada diubah sesuai dengan kitab suci, karena karateristik Islam yang mengatasi zaman. Tentu perubahannya tidak ngawur. Perubahan yang terbaik adalah melewati jalan dakwah (kesadaran).

Dalam kamus bahasa Indonesia, radikal didefinisikan sebagai 1 secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang –; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dalam berpikir atau bertindak. Sedangkan dalam kamus.

Dalam kamus Merriam Webster ‘radical’ didefinisikan antara lain : dari atau berhubungan dengan asal usul (fundamental); sangat berbeda dengan yang biasa atau tradisional (extreme); mendukung perubahan ekstrem dalam pandangan, kebiasaan, kondisi, atau institusi yang ada, terkait dengan pandangan politik, praktik, dan kebijakan perubahan ekstrim ; menganjurkan tindakan ekstrim untuk mempertahankan atau memulihkan keadaan politik.

Sedangkan dalam Al Quran, bila dicermati tidak membedakan seorang Muslim radikal atau moderat. Tapi membedakan sifat-sifat seorang Muslim apakah shalih/taqwa, fajir, fasiq, dhalim atau munafik. Al Quran membedakan orang Muslim dan non Muslim (kafir ahli kitab dan kafir musyrik).

Maka dalam diri seorang Muslim, bisa menyatu antara sifat moderat dan radikal dalam sekaligus dirinya. Muslim bersifat moderat ketika kaum non Muslim, tidak menzalimi dirinya dan bersifat radikal ketika kaum non Muslim melakukan penjajahan tanah airnya. Kaum Muslim akan bersifat moderat ketika memberikan pertolongan mereka yang terkena musibah (tidak peduli Muslim/non Muslim) dan bersifat radikal ketika rumahnya dirampok (tidak peduli yang merampoknya Muslim/non Muslim) dan seterusnya.

Sebagian kalangan Kristen menyatakan dengan bangga bahwa mereka memahami dan menjalankan misi agama mereka secara radikal. Itu bisa dibaca misalnya dalam sebuah buku yang berjudul: “Kami Mengalami Yesus di Bandung” (Jakarta: Metanoia Publishing, 2011). Daniel H. Pandji, tokoh Kristen yang juga Koordinator Jaringan Doa Nasional, memberikan komentar: “Buku ini menguak suatu kebenaran sejarah yang sangat penting bagaimana saat ini banyak pemimpin-pemimpin rohani yang telah menyebar ke seluruh bangsa bahkan berbagai belahan dunia, hal itu dimulai dari gerakan doa yang militan pada tahun 1980 an, lalu memunculkan gerakan penginjilan yang menyentuh berbagai bidang. Buku ini harus dibaca oleh orang-orang yang mau memiliki semangat untuk mengubahkan bangsa.”

Kelompok Kristen ini menyatakan kebanggaannya, bahwa saat ini, telah muncul anak-anak muda Kristen yang “dibangkitkan untuk mengikut Tuhan secara radikal.”

Anti Pancasila

Pancasila telah difahami masyarakat Muslim Indonesia dan diterima sebagai dasar negara. Mayoritas Muslim di negeri ini faham bahwa Pancasila dan Piagam Jakarta adalah satu kesatuan, setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Salah satu isi dekrit itu yang penting adalah Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 (Pancasila). Soekarno mengeluarkan dekrit jalan tengah itu, untuk menampung suara dari Partai NU dan Masyumi yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.

Tentang Pancasila ini, menarik apa yang dinyatakan tokoh Masyumi Mohammad Natsir dalam Sidang Konstituante 1957. Natsir menyatakan :
“Dalam pandangan Al Qur’an, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan
lain tidak a priori bertentangan, tapi tidak pula identik (sama). Di
mata seorang Muslim, perumusan Pancasila bukan kelihatan a priori
sebagai “barang asing” yang berlawanan dengan ajaran Al Qur’an. Ia
melihat di dalamnya satu pencerminan dari sebagai yang ada pada
sisinya. Tapi ini tidak berarti Pancasila memang mengandung tujuan
Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. Kita berkeyakinan
yang tak kunjung kering, di atas tanah dan dalam iklim Islamiyah
Pancasila akan hidup subur. Sebab iman kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa tidak dapat ditumbuhkan dengan semata-mata hanya mencantumkan
kata-kata dan istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu saja dalam
perumusan Pancasila itu.”
Natsir melanjutkan : “Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang
menentang Al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah
menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan
janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan
ajaran yang termaktub dalam Al Qur’an itu, yaitu induk serba sila,
yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman
matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa
dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”
Ya, memang dalam Islam tidak cuma lima sila. Ada ratusan atau ribuan sila dalam Islam, yang tercantum dalam Al Quran (Sunnah dan ijtihad ulama yang shalih) yang mulia. Jadi bila seorang Muslim melaksanakan Al Quran, maka otomatis ia melaksanakan Pancasila.

Jadi tidak perlu ada kampanye dimana-mana tentang Anti Pancasila pada perumahan-perumahan atau masjid-masjid kaum Muslimin. Mungkin ada diantara kaum Muslim (juga non Muslim) yang anti Pancasila, tapi jumlahnya sangat sangat kecil. Dan itu tidak perlu ‘diteror’ mereka dengan berbagai spanduk. Cukup mereka disadarkan lewat ustadznya atau diajak dialog.

Saat ini yang terjadi sebenarnya bukan pro Pancasila dan anti Pancasila. Tapi sekulerisasi Pancasila atau Islamisasi Pancasila. Cendekiawan sekuler menginginkan sekulerisasi, tokoh-tokoh Islam menginginkan Islamisasi.

Bila difikir matang, maka seharusnya yang lebih tepat adalah Islamisasi Pancasila, karena mayoritas di negeri ini adalah kaum Muslim yang berpedoman Al Quran dalam kehidupan sehari-harinya. Al Quran menjadi kebanggaan kaum Muslim, dibaca sehari-hari, difahami dan diamalkan sampai mati.

Tapi begitulah, di tanah air kini sedang berlangsung provokasi ide oleh kaum yang bisa kita sebut kaum Islamophobia. Mereka mungkin merujuk pada pernyataan Condoleeza Rice, mantan Menteri Luar Negeri Amerika yang pernah menyatakan : “To win the war of terror, we must win a war of ideas.”

Tapi, sebuah ide tidak bisa dikampanyekan lewat spanduk-spanduk. Sebuah ide yang bagus akan tertanam kuat bila diajarkan lewat dunia pendidikan : pengajian, khotbah, dialog, tulisan yang bernas dan semacamnya.

Al Quran yang mulia berpesan : “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. “ (QS ar Ra’d 17)

Selamat datang di dunia ‘war of ideas’. Wallahu alimun hakim. II

Nuim Hidayat Dachli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *