Jurusan Kopi di Universitas

by
Foto : hellosehat.com

Oleh : Prof Asep Saefuddin
(Rektor Universitas Al Azhar Indonesia/ Guru Besar Statistika FMIPA IPB)

Pada saat pembukaan Konvensi XIV Forum Rektor Indonesia (FRI) di Unhas, Presiden Jokowi kembali meminta Perguruan Tinggi (PT) Indonesia untuk mau berubah sesuai dengan tantangan zaman. Sindiran ini sudah berulang kali disampaikannya di hadapan para pimpinan PT. Pada pembukaan Konvensi FRI 2017 di Jakarta juga Presiden Jokowi juga mempertanyakan tentang jurusan atau program studi di Indonesia sejak dulu itu-itu saja. Tidak pernah ada jurusan ekonomi digital, jurusan bisnis on line. Tidak ada jurusan yang menjawab tantangan.

Wartapilihan.com, Jakarta –Kali ini Presiden menyarankan agar PT mempunyai jurusan sawit, jurusan kopi, dan jurusan-jurusan yang berkaitan dengan kekuatan sumber daya alam kita. Dari berbagai grup WA yang saya ikuti, tidak sedikit para dosen mencemooh sindiran itu. Ada juga yang beranggapan bahwa pidato Presiden itu guyonan belaka. Memang terlihat sindiran itu sepertinya sederhana, tetapi sebenarnya mengandung makna yang cukup dalam.

Saya jadi teringat ketika tahun 2006 menjajagi kerjasama dengan University of Adelaide di Australia. Pada saat itu saya dibawa ke lokasi Fakultas Pertanian. Di pintu gerbangnya ada tulisan School of Agriculture, Food, and Wine. Karena saya sedikit heran dengan penamaan fakultas itu, saya bertanya mengapa ada kata ‘wine’ (anggur) dalam penamaan sekolah ini.

Jawaban terhadap pertanyaan saya itu cukup panjang, tetapi intinya betapa esensinya anggur di daerah Adelaide ini. Wilayah itu sangat kaya dengan anggur. Anggur menjadi industri yang banyak mendatangkan devisa untuk Adelaide. Begitu pentingnya peran anggur, sehingga dipelajari ilmu tentang anggur (wine science) mulai dari budi daya (agronomi, hama, penyakit, pemupukan, dan lain-lainnya di hulu pertanian) sampai industri pasca panennya (kemasan, rasa, warna, kandungan, dan ekspor wine) dan agribisnis anggur.

Di dalam ‘school of wine’ itu sudah barang tentu ditemukan riset-riset mendasar tentang anggur yang memerlukan mikrobiologi, kimia, teori pengukuran, ekonomi, manajemen transportasi, estetika, dan banyak lagi ilmu-ilmu dasar serta terapannya. Pendekatannya sangat mendasar dan transdisiplin sehingga membuat jurusan anggur itu kokoh, selain menarik (interesting).

Jadi, tidak sembarangan ketika Presiden Jokowi meminta ada jurusan kopi dan jurusan coklat di PT Indonesia pada acara FRI di Unhas. Karena tentu Presiden tahu bahwa di Sulawesi ini banyak potensi kopi dan coklat yang kurang dijamah oleh universitas. Bila dikaitkan dengan potensi perkebunan secara umum di Indonesia, adalah wajar bila ada jurusan kelapa sawit di kampus nasional. Belum lagi di dunia peternakan dan perikanan.

Saya jadi teringat ketika masuk IPB tahun 1976, di Fakultas Peternakan ada Laboratorium Ruminansia Kecil, Laboratorium Ruminansia Besar, Laboratorium Daging, Laboratorium Unggas selain laboratorium bernuansa keilmuan seperti Pemuliaan dan Genetika Ternak, Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak. Semua itu disiapkan untuk menghasilkan insinyur peternakan domba, insinyur unggas, dan insinyur sapi. Artinya, secara kenyataan, praktek jurusan komoditas digabung dengan ranah keilmuan sebenarnya pernah ada di Indonesia.

Kopi saat ini memang sebaiknya ditangani secara serius dari segi keilmuan dan bisnisnya. Kopi di dunia selain menjadi life style juga minuman persaudaraan kalangan remaja dan dewasa. Kategorinya ada peminum dan penikmat kopi. Sudah banyak warga asing yang mengetahui lezatnya kopi Indonesia. Pada saat konferensi statistika internasional 2014 di IPB seorang guru besar dari Kanada, datang ke Indonesia selain untuk menjadi ‘keynote speech’ juga tertarik untuk ‘ngopi’. Bila kalangan ilmuwan sudah menyenangi kopi Indonesia, pertanda kopi di luar negeri sudah mulai diminati khalayak umum.

Informasi itu menunjukkan betapa pentingnya pembukaan Jurusan Kopi (Coffe Department) di beberapa PT Indonesia. Tentunya departemen ini bukan sekedar menjalankan darma pengajaran saja, tetapi harus diperkuat dengan riset dan pelatihan tentang berbagai berkaitan dengan kopi. Tanpa kekuatan riset, jurusan kopi ini akan terjebak hanya rutin pengajaran saja yang tentunya tidak akan ‘survive’.

Gambaran tentang jurusan komoditas (kopi, sawit, ternak, ikan) itu bisa juga kita terjemahkan ke dalam situasi ekonomi saat ini yang sarat dengan digital. Semua itu menuntut para pengelola kampus responsif terhadap perubahan zaman. Jangan sampai mahasiswa Indonesia ini disuguhi materi masa lampau dengan metode pembelajaran pola lama. Model ini akan kontra produktif terhadap kecepatan dan kemampuan mahasiswa dalam menghadapi perubahan zaman. Selain akan membuat mereka bosan dan jemu, juga mengakibatkan energi kreatif mahasiswa terbuang. Akhirnya mereka senang turun ke jalan, demo,dan memberi kartu kuning dengan dalih untuk rakyat. Sementara generasi mereka di negara luar sedang membuat aplikasi, mempelajari big data, membuat mobil tanpa supir, membuat padi baru tahan penyakit, dan banyak lagi kejutan lainnya yang memerlukan inovasi dan kreatifitas.

Persoalannya, apakah mungkin di Indonesia membuat prodi yang nomenklaturnya tidak dikenal? Belum lagi persyaratan harus ada 6 dosen pengampu dalam bidangnya. Bila sebuah PT mau buat prodi kopi, harus ada 6 ahli kopi. Ini tentu bikin malas para pengelola PT untuk berinovasi. Ujung-ujungnya harus minta ijin ke Jakarta yang memerlukan ekstra kesabaran. Inilah yang membuat para pengelola kampus cenderung melakukan hal-hal rutin dan bau (business as usual).

Mengharapkan pembukaan jurusan kopi atau komoditas lainnya ke PTS tentu akan sulit. Karena umumnya pendirian PTS itu berbasis program pendidikan yang kurang berorientasi riset. PT model ini dapat dikategorikan sebagai universitas pengajaran (teaching university). Kalaupun ada kegiatan riset hanya sebatas untuk memenuhi tuntutan darma penelitian saja. Sambil memanfaatkan dana dari Kemenristekdikti. Ditinjau dari segi dana, besarannya pun tidak signifikan. Hal ini wajar, karena memang PTS konsentrasinya bukan di aspek riset. Untuk kampus-kampus berbasis pengajaran, pemerintah jangan terlalu menuntut banyak produk riset. Dengan berjalannya proses pembelajaran yang benar saja, universitas pengajaran ini harus diucapkan terima kasih. Hal ini juga terjadi di teaching university di Amerika sekali pun.

Untuk PTS yang umumnya berbasis pengajaran itu dapat diminta membuat jurusan atau program studi zaman now, misalnya ekonomi digital, big data, pemasaran daring. Tetapi dalam proses pembukaan prodinya jangan dituntut mengisi borang dan persyaratan yang ‘njelimet’. Cukup diminta mengisi formulir kesungguhan untuk menjalankannya, melampirkan kurikulum, dan memperlihatkan model pengajarannya. Bila pola pengajarannya masih menggunakan model konvensional, cukup disarankan agar dirubah dengan pola baru, misalnya pembelajaran campuran (hybrid learning). Keinginan mereka membuka prodi kekinian itu harus difasilitasi, dipermudah, tidak perlu ditolak. Walaupun jenis prodinya tidak ada dalam nomenklatur di Kemenristekdikti.

Untuk jurusan kopi atau komoditas lainnya dapat dimandatkan kepada beberapa PTN. Jurusan kopi dapat dimandatkan kepada Universitas Lampung, Universitas Sumatera Utara,Universitas Syiah Kuala, Universitas Jember, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Papua. Mereka diwajibkan melakukan riset-riset yang berkaitan dengan kopi secara lengkap dan pelatihan untuk petani, selain pengajaran.

Bila jurusan kopi ini tidak dimandatkan lalu diserahkan kepada PTN untuk menyusunnya, mereka akan kesulitan. Mengapa? Karena pembukaan jurusan dengan prodinya itu akan terkendala regulasi, nomenklatur, dan persyaratan lainnya yang membuat PTN tidak antusias membuatnya. Sehingga harapan Presiden akan terus menjadi harapan yang diulang-ulang setiap ada perhelatan Forum Rektor Indonesia. Dalam kata lain, akan mubazir. Begitu juga untuk jurusan coklat dan sawit. II

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *