Jurnalis Senior Nuim Hidayat: “The End of Indonesia?”

by

Istilah ini seingat saya pertama kali dipopulerkan oleh Prof Bilveer Singh ahli ilmu politik dari Singapura. Ia gunakan istilah ini ketika tragedi Ambon 1999. Saat itu kaum Muslim di Ambon yg sedang merayakan Idul Fitri, tiba-tiba diserang. Ribuan orang pendatang Muslim lari tunggang langgang. Lari dari Ambon dengan naik kapal laut dan lain-lain.

Wartapilihan, Depok– Alhamdulillah upaya untuk pemisahan Maluku dari Indonesia saat itu gagal. Karena mujahid-mujahid Muslim dari seluruh tanah air datang ke Maluku untuk membela saudaranya.

Bilveer Singh, kebetulan saya pernah mewawancarainya, menulis buku tebal yang monumental tentang Timor Timur tahun 90an (sebelum Timtim lepas dari Indonesia). Dengan data yang menarik dan akurat, ia katakan bahwa yang terjadi di Timtim adalah Katolikisasi bukan Islamisasi. Kesimpulan dari Bilveer itu membantah arus opini media massa yang saat itu menyatakan bahwa di Timtim yang terjadi Islamisasi. Saat itu yang berperan penting dalam pemisahan Timtim adalah Uskup Bello.

Kini di Papua juga dihembuskan kebencian terhadap pendatang (mayoritas Muslim). Sehingga salah satu tokoh Papua, yang tahu bahwa di Wamena 33 orang pendatang Muslim dibantai dengan sadis, tetap menyalahkan pendatang. Bukan menyalahkan pembantai yang sadis itu.

Nampaknya arus opini bahwa pendatang yang membuat masalah di Papua akan terus dikembangkan. Dan gerakan Papua Merdeka alias ingin memisahkan diri dari Indonesia akan terus menguat. Kejadian ini mirip dengan Timtim menjelang merdeka.

Tentu pemerintah tidak ingin Papua merdeka. Pemerintah ingin Papua terus dalam wilayah NKRI. Dan banyak Muslim di Papua yang tidak ingin memisahkan diri dari saudaranya di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan lain-lain.

Bila tidak ingin Papua merdeka (the end of Indonesia) maka pemerintah harus tegas dalam menyikapi gerakan Papua Merdeka. Pemerintah harus tegas melindungi kaum pendatang di sana. Karena kaum pendatang itu bertujuan untuk menyejahterakan dirinya dan masyarakatnya. Kaum pendatang itu mayoritas tidak membuat kerusuhan atau keonaran disana. Mungkin ada pendatang yg berbuat salah disana, tapi di wilayah manapun ada saja manusia yg berbuat salah/jahat.

Kampanye pemerintah tentang toleransi dan anti radikalisme harus gencar dilakukan di Papua. Bukan di tanah Jawa yang udah terbiasa dengan kehidupan multietnik.

Dan kaum intelektual Papua, jangan menyalahkan terus kaum pendatang. Evaluasi diri apa yang kurang dalam masyarakatnya. Tirulah orang-orang Jawa yang terbiasa hidup dalam keragaman. Dan hentikan menggunakan kekerasan dan pembunuhan. Kekerasan dan pembunuhan karena kebencian (dengki) perbedaan etnik adalah perilaku barbar yang bertentangan dengan tujuan Indonesia merdeka.

Saya menantikan kembali analisa Prof Bilveer Singh dlm soal Papua ini. Wallahu alimun hakim. NH.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *