Oleh : Dr Adian Husaini
Pada Klinik Pendidikan Kita kali ini, Dr Adian membincangkan tentang pentingkan peningkatan intelektualitas bagi seorang aktivis Islam, ustadz atau guru. Ia juga mengisahkan nasihat pertama yang diberikan Prof Wan kepadanya. Silakan menyimak :
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum wr. wb.
Wartapilihan.com, Jakarta –Teman-teman, kita alhamdulillah sesuai takdir Allah kita bisa sampai di Kuala Lumpur. Alhamdulillah, kita bisa melakukan rihlah ilmiah pendidikan dan pemikiran. Siang nanti, Insya Allah kita akan bertemu Profesor Wan Mohammad Noor.
Kita bersyukur ada Profesor besar seperti Prof Mohammad Noor yang punya pengalaman panjang menjadi penasihat Menteri Pendidikan dahulu, pernah memimpin ISTAC dan menjadi direktur bersama Syeikh Muhammad Naquib Al-Attas, sampai kemudian institusi itu diubah, sampai kemudian beliau mendirikan CASIS (Centre for Advanced Studies and Islamic Sciences). Suatu lembaga pendidikan S2 dan S3 di bidang sains, peradaban, dan Islam. Setahu saya baru ada satu doktor yang lulus dari Indonesia, Dr. Muhammad Ishaq. Di Casis dia menulis tesis tentang “Filsafat Sains Ibn Haytam” studi kasus kitab Al ’Amarat al-Hikmah. Ini melanjutkan tradisi di ISTAC dulu, dimana menggabungkan antara sains dan peradaban Islam menjadi satu dan tidak terdikotomi lagi.
Saya mengalami dulu di ISTAC, dimana Syeikh Naquib Al-Attas tidak memimpin ISTAC lagi, namun sistem itu masih terasa apalagi kemudian dilanjutkan oleh Prof Mohammad Noor.
Kalau kita membaca biografi Prof Mohammad Noor, Rihlah Ilmiah dari Neo-Modernisme ke Islamisasi, perjalanan intelektual beliau ada disitu. Dari sebelumnya beliau berguru dengan Dr. Fazlur Rahman di Chicago yang terkenal dengan konsep Neomodernismenya, kalau di Indonesia diikuti oleh Nurcholish Madjid dan Syafii Maarif, mereka murid Fazlur Rahman termasuk Prof Mohammad Noor sebenarnya. Setelah Prof Syeikh Mohammad Naquib Al-Attas berkunjung ke Chicago kemudian Prof Fazlur Rahman memberitahu Prof Noor, ini ada orang jenius dari Malaysia yang datang kesini mau riset. Beliau diminta Prof Fazlur Rahman menemani Prof Al-Attas, dalam proses menemani itu kemudian Prof Noor tertarik.
Prof Noor dulu aktivis, beliau dulu Ketua Perhimpunan Mahasiswa Muslim Malaysia di Amerika. Ketika pertama kali saya belajar di ISTAC tahun 2002 yang pertama kali beliau nasihatkan “Adian kurangi aktivisme, tingkatkan intelektualisme”. Beliau melihat karya saya dan CV saya banyak sekali kegiatan aktivis. Disarankan ketika kuliah disini sudah kurangi aktivisme, tingkatkan intelektualisme. Sebenarnya itu harus diseimbangkan dalam tradisi keilmuan kita dan aktivitas kita dua ini harus seimbang.
Biasanya ormas Islam atau lembaga-lembaga Islam, guru-guru kalau terjebak dalam aktivisme berpuluh-puluh tahun dia tidak meningkat ilmunya. Begitu juga seorang wartawan. Dulu saya jadi wartawan tujuh tahun saya pikir itu cukup karena kalau kita tidak meningkatkan pemahaman, selamanya kita hanya akan menjadi “tukang”, tukang cari berita, tukang ngajar.
Saya sering mengatakan di kampus-kampus dan sekolah-sekolah jangan sampai jadi “tukang” , guru itu bukan tukang ngajar tapi pejuang intelektual, begitu juga dengan dosen.
Oleh karena itu, saya tidak setuju guru itu demo menuntut kenaikan gaji, dosen menuntut sertifikasi, itu menurut saya terlalu rendah nilainya, tapi kalau dikasih sertifikasi jangan menolak karena itu hak kita. Kalau kurang jangan menuntut, karena Allah sudah kasih gantinya lebih besar lagi di akhirat.
Filosofi dari Prof Wan itu menarik. Antum kalau perhatikan banyak aktivis Islam sampai tuanya ngurusin proposal tapi tidak naik ke tingkat keilmuan. Itu tidak boleh, makanya saya sering mengajukan ada masanya kita harus mengambil jeda dari aktivisme itu kemudian buat riset buat penelitian tulis satu artikel, satu jurnal, satu buku supaya ada peningkatan intelektual, idealnya dua tahun sekali.
Saya punya lembaga pesantren, ustadz-ustadznya paling lama 5 tahun mengajar, setelah itu sudah harus istirahat lalu menekuni satu bidang ilmu. Dorong dia agar aktif di satu bidang contohnya sejarah, ahli hadits, gender, sains, ahli bidang kristologi dll, supaya ‘rabbi zidni ilman’, tambahkanlah ilmuku di dalam Islam.
Hati hati kalau kita punya pesantren, nanti Ustadznya sibuk, selama 10 tahun tapi ilmunya tidak bertambah yang diajarkan juga itu itu saja. Sehingga dia hanya menjadi tukang. Itu memang pekerjaan yang mulia, contoh tukang adalah tukang bakso kerjanya memang itu sehingga tidak butuh improvisasi. Tidak seperti guru yang mengajar berdasarkan kondisi muridnya, misalnya guru matematika dia tidak hanya datang dan langsung bicara “hari ini pelajarannya ini ” tapi sebelumnya harus tanya, “Siapa yang hari ini tidak shalat subuh?” Yang tidak shalat keluar dari kelas ini tidak boleh mengikuti pelajaran. Yang fardhu ain saja tidak dijalankan apalagi matematika. Begitu pula dengan biologi, antum seorang muslim shalat saja tidak mau, apalagi belajar biologi.
Tujuan dari mencari ilmu adalah menanamkan bukan sekadar teaching atau mengajar, tapi menanamkan nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai keadilan. Ilmu bertambah, jiwa keadilan juga harus bertambah karena itu perintah Allah. Semakin tinggi pendidikannya maka semakin adil.
Menanamkan nilai itu sifatnya personal. Ini kontras dengan tujuan pendidikan sekarang yang berbasis industri. Jualan kita makin banyak, omset kita makin banyak maka prestasi kita makin besar. Sekarang rektor dinilai sukses kalau dia berhasil menarik mahasiswa sebanyak-banyaknya karena dia memandang pendidikan ini tujuannya bisnis. Padahal semakin banyak mahasiswa semakin berat menanamkan nilai. II