Jangan Kalah Sama Monyet

by
Sumber Foto: akun twitter @StevEsponnette

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur Attaqwa College, PP at-Taqwa Depok)

Dalam Kitabnya, Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim, Kyai Haji Hasyim Asy’ari mengutip kisah Imam Syafii dalam mengejar adab. Suatu saat, Sang Imam ditanya, bagaimana kiatnya dalam mengejar adab. Apa jawab Sang Imam: ”Aku terus mencari, laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”

Renungkanlah secara mendalam kata-kata Imam al-Syafii itu! Dalam kondisi apa pun, seoran Ibu akan mendahulukan usaha mencari anak satu-satunya yang hilang. Pekerjaan lain akan ditinggal. Itu prioritas utama. Itulah hakikat pendidikan. Sebab, inti pendidikan – menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas – adalah menanamkan adab. ”The fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab,” tulis Prof. Al-Attas.

Bahkan, dalam Kitab-nya tersebut, Kyai Hasyim Asy’ari menekankan: “… faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). Jadi, tegas Kyai Hasyim Asy’ari, orang yang tidak punya adab, ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid.

Itulah kedudukan penting adab dalam ajaran Islam. Manusia Indonesia pun dituntut adil dan beradab. Begitu kata Pancasila. Maka, pendidikan di Indonesia pun sepatutnya membentuk manusia-manusia beradab. Perguruan Tinggi, khususnya, punya tugas mulia, mencetak sarjana, ilmuwan, atau praktisi beradab.
Ironis, miris, dan tragis, jika para pengelola pendidikan tinggi – apalagi yang berlabel Islam – belum paham makna adab. Padahal, begitu sentralnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Ibnul Mubarak, seorang ulama terkenal di masa Tabi’it-Tabi’in, sampai menyebutkan, bahwa dua pertiga porsi ajaran Islam itu adalah adab.

****
Sudah jadi ritual tahunan, ratusan ribu lulusan SMA menyerbu aneka perguruan tinggi. Biasanya, salah satu indikator penting satu sekolah disebut ”bagus” jika banyak siswanya bisa masuk ke jurusan-jurusan favorit di Perguruan Tinggi Negeri ternama. Favorit artinya jurusan (program studi) itu dinilai sebagai jalur strategis untuk meraih kekayaan. Beradabkah fenomena ini?

Salah satu adab penting dalam Islam adalah adab ilmu. Seorang muslim wajib meraih ilmu. Imam al-Ghazali membagi ilmu yang wajib diraih menjadi dua: ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Tiap mahasiswa wajib meraih ilmu-ilmu yang diperlukan untuk bisa beriman dan beribadah yang benar. Itu ilmu fardhu ain namanya.

Pada saat yang sama, mahasiswa pun wajib tahu potensi diri dan keperluan umat Islam dalam perjuangan. Ilmu fardhu kifayah diperlukan untuk menjaga ketahanan dan kemaslahatan umat; baik ilmu syar’iy maupun ilmu aqli atau empiris. Inilah yang sepatutnya dijadikan pertimbangan utama mahasiswa dalam memilih Perguruan Tinggi dan program studi (Prodi)-nya; bukan soal ”basah” atau ”tidak” prodi tersebut. Tapi, ilmu yang ia tekuni adalah ilmu yang diperlukan umat Islam agar bisa menang dalam perjuangan menegakkan kebenaran.
Allah menciptakan manusia berbeda-beda potensinya. Semuanya pasti bermanfaat. Mahasiswa super cerdas, berbeda tanggung jawab keilmuannya dengan mahasiswa yang kurang cerdas. Manusia yang baik adalah yang bermanfaat pada sesama manusia. Apa pun potensi yang dimilikinya. Begitu pesan Nabi saw.
Maka, niat utama masuk dunia Perguruan Tinggi adalah mencari ilmu; bukan cari makan; bukan cari jodoh. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa mencari ilmu karena selain Allah atau berharap dengan ilmu itu hal-hal selain Allah, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR Tirmidzi).

Mahasiswa muslim memasuki dunia Perguruan Tinggi karena tuntutan perjuangan menegakkan kebenaran. Beda dengan kaum kafir yang hidupnya memang hanya untuk makan-makan dan senang-senang, laksana binatang. (QS 47:12). Kampus adalah dunia perjuangan. Ilmu sebagai sarananya. Inilah adab ilmu. Ada nilai, kedudukan, tujuan, dan derajat aneka ilmu. Tidak semua jenis ilmu sama derajatnya. Ada ilmu yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat.

Jika mahasiswa kuliah hanya untuk cari makan, maka renungkanlah: ”Monyet saja bisa makan tanpa kuliah!” Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *