Dr Adian Husaini kembali meluncurkan bukunya. Kali ini berjudul : Jangan Kalah Sama Monyet, 101 Gagasan Pemandu Pikiran pada Era Kebohongan. Buku ini adalah kumpulan tulisan popular ilmiahnya tentang berbagai hal. Mulai dari masalah Akar Masalah Umat, Perempuan, LGBT, Dakwah, NKRI, Ahmadiyah, Amerika, Kristen, Pendidikan, Yahudi sampai Pancasila.
Wartapilihan.com, Depok— Dengan gaya tulisan wartawan, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia menyajikan artikel-artikel itu dengan renyah. Buku ini dimaksudkan untuk memandu kaum Muslim agar tidak bingung atau tersesat melihat membludaknya informasi di internet.
Cendekiawan ini memulai tulisannya dengan menampilkan wawancara di Youtube, antara Hamza Yusuf (Direktur Zaytuna Institute Amerika Serikat) dengan Prof Syed Muhammad Naquib al Attas. Tahun 2009, Hamza Yusuf dinobatkan sebagai The Western World’s Most Influential Islamic Scholar dalam The 500 Most Influential Muslims, suntingan John Esposito dan Ibrahim Kalin (2009).
Dalam wawancara itu, Hamza Yusuf mengakui banyak manfaat dari karya-karya Prof Al Attas yang dibacanya. Hamza bertanya,”What you think is the central crisis, taking place right now in the Muslim World?” Dijawab oleh Prof Al Attas,”I said it is loss of adab.” Jadi, hilang adab alias tidak beradab, itulah kata kunci dari akar seluruh krisis yang melanda umat dan dunia Islam zaman ini. Karena itu, menurut Prof Al Attas, jika umat Islam ingin bangkit dan terbebas dari berbagai krisis yang membelit mereka, pahamilah adab dan didiklah umat ini agar mereka menjadi manusia-manusia yang beradab.
Prof Al Attas tercatat sebagai ilmuwan yang sangat konsisiten dengan teori loss of adab tersebut. Tahun 1977, dalam konferensi internasional tentang Pendidikan Islam di Mekkah Al Attas sudah menyampaikan teorinya tersebut. Diuraikannya: “Loss of adab is lost of discipline –the discipline of body, mind and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials, the recognition and acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically.”
Dalam bukunya yang berjudul Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Prof Al Attas menjelaskan lebih jauh makna adab yang dimaksudnya,”Adab, atau amalan, tindakan, dan perbuatan yang betul, itulah yang merupakan pengakuan yang dimaksudkan. Jadi pendidikan itu adalah penyerapan adab ke dalam diri… Jadi adab, dalam pengertian yang dita’rifkan di sini, adalah juga suatu pancaran hikmah; dan berkenaan dengan masyarakat, adab itu peraturan adil yang terdapat di dalamnya. Dita’rifkan dengan ringkas, adab itu tampaknya keadilan sebagaimana dia dipancarkan oleh hikmah.” (halaman 23)
Ringkasnya umat Islam dilanda krisis akibat hilangnya adab dari diri sendiri. Adab hilang karena ilmu yang salah sehingga hikmah tiada didapat. Pada hakikatnya pendidikan adalah “penyerapan adab ke dalam diri”, yakni proses membentuk manusia beradab. Ini penting untuk dipikirkan dan terus direnungkan. Mewujudkan satu institusi Islam (politik, ekonomi, media, pendidikan, dsb) itu penting. Namun membentuk manusia-manusia unggul (manusia beradab) yang akan mengisinya adalah lebih penting lagi.
Dalam buku ini Dr Adian juga mengritik tulisan Denny JA tentang NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi. Bagi Tokoh Perbukuan Nasional 2020 ini, pelaksanaan syariah Islam bukan hal yang baru. Sejumlah pendiri bangsa sudah menyuarakan hal ini jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. KH Hasyim Asyari misalnya, menulis dalam kitabnya yang bertajuk Adabul Alim wal Muta’alim,”Tauhid mewajibkan iman. Siapa yang tiada beriman, maka tiada bertauhidlah dia. Iman mewajibkan syariat. Siapa yang tidak bersyariat, maka tiada berimanlah dia. Dan syariat mewajibkan adab. Maka siapa yang tiada beradab, tiadalah dia bersyariat, tiadalah dia beriman, dan tiadalah dia bertauhid.”
Dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tahun 1945, Ketua Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, menepis suara-suara yang meragukan syariat Islam. Menurut Ki Bagus, syariat Islam tak berjalan di Indonesia adalah karena “tipu muslihat curang yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha hendak melenyapkan agama Islam dari jajahannya.”
Mempertentangkan syariat Islam dengan Pancasila adalah ahistoris dan tidak logis. Apalagi, faktanya syariat Islam memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, mulai aspek pribadi sampai kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang menolak syariat pun, ketika kawin dan mati, ‘nurut saja’ ketika dikawinkan dan dikubur dengan cara syariat Islam.
Hingga kini, kementerian agama masih mengatur beberapa aspek syariat Islam. Begitu juga Bank Indonesia telah menjadikan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai panduan pengaturan perbankan syariah di Indonesia. Berbagai aspek syariat pun kini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU), seperti UU Zakat, UU Haji, UU Perkawinan dan sebagainya.
Kasus larangan pemakaian jilbab di sejumlah ruang public di Turki dan Indonesia menjadi contoh kegagalan penolakan syariat atas kaum Muslim. Maka yang sepatutnya dilakukan bukan menolak syariat, tetapi merumuskan dan mengaktualkan pelaksanaan syariat Islam dalam konteks keindonesiaan secara adil dan beradab. Itulah makna penting dari rumusan KH Hasyim Asyari bahwa “tanpa adab, maka tiada syariat.” (halaman 192).
Pendiri Pesantren at Taqwa Depok ini juga membahas topik yang penting dan aktual, yaitu Utang Barat Terhadap Islam. The West Debt to Islam, itulah tajuk satu bab dari sebuah buku berjudul What Islam Did for Us : Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace Murphy.
Utang Barat terhadap Islam, kata Tim Wallace Murphy, adalah hal yang ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapanpun. Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (the Middle Ages).
Pada zaman pertengahan itulah, tulis Wallace Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum Muslimin menjadi pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa, melainkan juga di seluruh kawasan Laut Tengah. Pada zaman itu, situasi dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. Bagi masyarakat di dunia Kristen Eropa, zaman itu, kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar jika dibandingkan dengan kehidupan (umat Islam) yang canggih, terpelajar dan pemerintahan yang toleran di Spanyol Islam.
Saat itu Barat banyak sekali belajar dari dunia Islam. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum Muslimin dan Yahudi yang hidup nyaman dalam perlindungan masyarakat Muslim. Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini karena mereka berhasil mentransfer dan mengembangkan sains dari para ilmuwan Muslim.
Sejarawan Louis Cochran menjelaskan bahwa Adelard of Bath (c.1080 – c.1150), yang dijuluki sebagai the First English Scientist, berkeliling ke Syria dan Sicilia selama tujuh tahun pada awal abad ke 12. Dia belajar bahasa Arab dan mendapatkan banyak buku dari para sarjana. Dia menerjemahkan Elements karya Euclidus, dan dengan demikian mengenalkan Eropa pada buku tentang geometri yang paling berpengaruh di sana. Buku ini menjadi standar pengajaran geometri selama 800 tahun kemudian. Adelard dengan menerjemahkan buku Tabel Astronomi, Zijj, karya Al Khawarizmi (d. 840) yang direvisi oleh Maslama Al Majriti of Madrid (d. 1007). Buku itu merupakan pengetahuan astronomi termodern pada zamannya.
Seorang penerjemah fenomenal bernama Gerard of Cremona, selama hampir 50 tahun tinggal di Toledo (1140-1187). Di sana dia menerjemahkan sekitar 90 buku dari Bahasa Arab ke Bahasa Latin. Separuh lebih berkaitan dengan Matematika, astronomi, dan bidang sains lainnya; sepertiga berkaitan dengan kedokteran, sisanya tentang filsafat dan logika. Bidang-bidang keilmuan inilah yang memberikan pondasi bagi munculnya renaissance (kelahiran kembali peradaban Barat) di Eropa pada abad ke 12 dan ke 13 M. (halaman 107)
Bukan hanya dalam bidang penerjemahan Barat sangat aktif. Dalam Pendidikan Tinggi, Oxford University yang berdiri tahun 1263 dan Cambridge University tak lama sesudah itu, juga menjiplak model kampus-kampus ternama di Andalusia. Dengan bukti-bukti sejarah tentang kejayaan Islam dan karakter Islam itu sendiri, Wallace Murphy mengajak koleganya di dunia Barat untuk mengakui jasa-jasa besar Islam terhadap Barat. Lebih dari itu, dia mengimbau agar Barat mampu melihat Islam lebih jernih dan jangan bernafsu untuk mengintervensi urusan dunia Islam, termasuk dalam soal toleransi dan penghormatan terhadap budaya dan pemeluk agama lain.
Terhadap pertanyaan Can the world of Islam solve its own problems? Wallace Murphy menjawab tegas,”Itu telah terbukti di masa lalu. Dan berkat prinsip-prinsip ajaran Islam yang penuh toleransi terhadap budaya dan agama lain, maka Islam akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.”
Walhasil, buku ilmiah popular yang berjumlah 514 halaman ini sayang bila dilewatkan. Para aktivis, dosen, guru, mahasiswa, profesional dan masyarakat umum penting untuk menyimaknya. Bagi yang berminat, bisa menghubungi Difa Books 0813-8111-2253. II Nuim Hidayat