Islam Nusantara?

by
Athian Ali M. Da'i. Foto: Istimewa

Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, Lc. M.A.

“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya” (QS. Al Baqarah,2:42)

Wartapilihan.com, Jakarta –Sangatlah tidak masuk akal jika Alloh SWT Zat Yang Maha Esa menurunkan sekian banyak “Ad Dien” (Agama) yang prinsip akidah dan ajaran syariatnya masing masing sangat berbeda, bahkan saling bertentangan satu dengan yang lain. Ad Dien yang Alloh SWT turunkan kepada manusia lewat para Rasul dengan berbagai kitab suci hanyalah satu yaitu Islam, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam”(Q.S. Ali Imraan,3:19)

Risalah Islam yang diwariskan Rasululloh SAW lewat dua sumber utama yakni Al Qur’an dan As- Sunnah, dijamin keaslian dan kemurniannya sampai kiamat nanti, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”(Q.S. Al Hijr, 15:9).

Dengan berpegang teguh kepada kedua sumber utama tersebut, maka ummat Islam dipastikan tidak mungkin berbeda dalam ‘Ushul’ (pokok) akidah dan syariatnya. Agama Islam adalah nama yang telah dipilih dan ditetapkan Alloh SWT sejak pertama diturunkan sampai kiamat nanti.

Nama Islam sudah sangat sempurna, karena ditetapkan oleh Zat pemilik segala sifat ke-Mahasempurnaan. Karenanya, nama Islam tidak perlu, bahkan sangat tidak layak untuk di’Idhofatkan’ (disandarkan) kepada apa pun, baik yang sifatnya kebangsaan, kesukuan, golongan dan atau apa pun.

Islam diturunkan lewat Rasul-Nya Muhammad SAW bukan untuk bangsa, golongan, atau suku tertentu, tapi sebagai “Hudan lin naas” (petunjuk bagi semua manusia ), “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil)(Q.S. Al Baqarah,2:185), dan sebagai “Rahmatan lil ‘aalamiin”, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”(Q.S.Al Anbiyaa,21:107).

Sungguh sangat disayangkan, jika belakangan ini ada upaya yang sangat gencar dari beberapa “tokoh” (Ulama?) yang disadari atau tidak, pandangan dan pernyataannya telah mempersempit rahmatan lil ‘aalamin-nya Islam. “Hadaf asasi” – Tujuan utamanya – tidak lain, menghidupkan kembali pemikiran kaum SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) yang sempat pingsan pasca terbitnya fatwa MUI tahun 2005 tentang kesesatan faham-faham tersebut.

Mereka juga pernah menggulirkan nama lain seperti Islam moderat, Islam multikultural, Islam inklusif dan lain sebagainya. Namun, “lagu lama” dengan judul-judul baru ini tidak mendapat respon, bahkan diabaikan ummat Islam yang sudah sangat faham dengan warna baju-baju kemunafikan mereka. Kini mereka memunculkan judul baru: “Islam Nusantara” dengan harapan akan mudah dan cepat direspon ummat karena sangat erat dengan semangat nasionalisme.

Dengan nama Islam Nusantara, hakikatnya mereka ingin menggerus risalah Islam lewat ‘illah’ (alasan) budaya, khususnya hukum-hukum Islam yang tidak sejalan dengan hawa nafsu mereka.

Upaya tersebut mereka lakukan di antaranya dengan meyakinkan berbagai pihak, bahwa Islam yang ada di Indonesia bukanlah agama asli pribumi, melainkan agama yang datang dari Arab. Dimana sebagai pendatang, maka ia harus tunduk kepada Nusantara selaku pribumi.

Sangatlah dzahar (eksplisit) jika mereka hakikatnya menolak untuk meng-Islam-kan diri secara kaafah – totalitas -,“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara “kaafah” (keseluruhan), dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan, Sungguh, ia musuh yang nyata bagi kalian”(Q.S. Al Baqarah,2:208), namun anehnya mereka menolak tegas jika disebut kafir (orang yang menolak), kendati faktanya mereka jelas kufur (menolak) terhadap sebagian syariat Alloh.

Agar tidak dianggap kufur, mereka pun berupaya berdalih, bahwa yang mereka tolak itu bukan Islam tapi budaya Arab. Beberapa contoh hukum Islam yang mereka tolak dan atau yang mereka anjurkan (sebagai bentuk lain dari penolakan), di antaranya: Hukum menutup aurat (berjilbab). Anjuran untuk mengganti ucapan dan doa, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh dengan selamat pagi, salam sejahtera dan lain sebagainya. Membaca Al Qur’an tidak harus dengan bahasa Arab ,tapi cukup dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dengan alasan, agar lebih bisa dipahami dan dihayati. Jika pun dibaca dalam bahasa Arab, hendaknya langgam yang dipergunakan jangan langgam Arab, tapi dengan langgam daerah yang ada di Indonesia seperti sunda, jawa dan lain sebagainya. Memakai baju warna putih bagi pria dan hitam bagi wanita juga budaya Arab, sementara yang terbaik untuk muslim Indonesia menggunakan baju batik.

Padahal setiap muslim tentunya menyadari dan meyakini, bahwasanya menutup aurat bagi seorang wanita dihadapan laki laki yang bukan muhrimnya, diwajibkan Alloh SWT dalam Al Qur’an,”Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Al Ahzaab,33:59), (QS.An Nuur, 24:31, lihat box Mutiara Al Qur’an dan As Sunnah,hal 4, red) dan As-Sunnah. Tentu saja muslimah Arab yang pertama kali berjilbab, karena Islam pertama kali diturunkan kepada bangsa Arab.

Bukan hanya berjilbab, yang pertama kali melaksanakan seluruh syariat Islam termasuk sholat, shaum dan haji, juga orang Arab. Apakah dengan demikian, mereka dikemudian hari juga akan mengatakan, bahwa sholat lima waktu, shaum, haji dan ibadah serta syariat Islam lainnya itu budaya Arab? yang karenanya patut disesuaikan dengan budaya nusantara? Setiap muslim tentunya sangat faham, bahwasanya Islam pertama kali diturunkan kepada bangsa Arab, yang karenanya Al Qur’an pun difirmankan-Nya dalam bahasa Arab, “Dan sungguh (Al Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan dengan “bahasa arab” yang jelas”(Q.S. Asy Syu’ara,26:192-195). Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia misalnya, maka dia bukan lagi firman Alloh SWT, tapi terjemahan dari firman-Nya.

Bahwa mereka tidak mau melaksanakan sunnah Rasul dengan mengenakan baju yang berwarna putih untuk pria dan hitam untuk wanita, khususnya pada saat ke Masjid dan sholat, tentu saja tidak berdosa karena bukan wajib hukumnya. Tapi kufur (menolak) hal tersebut sebagai Sunnah Rasul apalagi membencinya maka “Falaisa minnii” (bukan ummatku) kata Rasululloh SAW.

Karenanya sangat logis, jika isu Islam Nusantara yang digulirkan belakangan ini, banyak sekali mengundang reaksi keras bahkan kecaman dari para Ulama, yang tentu saja tidak rela jika Agama Islam yang sangat sempurna dan universal ini dikerdilkan dengan sebutan Islam Nusantara untuk membedakannya dengan Islam Arab yang mereka nisbatkan sebagai penjajah, abal-abal, bahkan goblok, serta berbagai hinaan lainnya.

Setiap mu’min tentu saja yakin ‘Haqqul yaqin’, bahwasanya salah satu tujuan utama risalah Islam hadir adalah untuk merombak tatanan kehidupan masyarakat jahiliyyah yang sudah sangat jauh menyimpang dari tujuan hidup yang dicanangkan Al Khalik Alloh SWT. Bukan malah sebaliknya, Islam yang harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat Arab jahiliyyah yang berkembang pada masa itu.

Kendati demikian, setiap Ulama tentu mafhum, bahwasanya Islam sangat menghormati ‘uruf’ (Budaya) yang tumbuh di kalangan masyarakat. Bahkan para Mujtahid menetapkan ‘uruf sebagai salah satu sumber hukum Islam selain Al Qur’an, As-Sunnah, ijtihad, ijma’, qiyas, istihsan dan masholihul mursalah. Selama tentu saja budaya tersebut tidak bertentangan bahkan sejalan dengan prinsip dasar akidah dan ‘Maqoosidusy syariah’ (tujuan Alloh SWT menetapkan syariat Islam).

Pada awal kelahirannya, Islam melestarikan beberapa budaya jahiliah, di antaranya ‘aqiqah’ dan ‘ khitbah’ (meminang). Dimana menurut hadist yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.’anha, meminang merupakan salah satu dari empat bentuk proses pernikahan yang berkembang pada masyarakat Arab jahiliyyah pasa masa itu.

Pelestarian budaya tersebut tentu saja dikemas dengan berbagai perubahan agar tidak bertentangan dengan prinsip dasar akidah dan syariat Islam. Pelestarian beberapa budaya Arab jahilyyah yang ditetapkan Rasululloh SAW yang tentu saja berdasarkan wahyu dari Alloh SWT., tidak dengan serta merta membuat orang pada saat itu menisbatkannya dengan nama “Islam Arab jahiliyyah ” misalnya (na’udzu billah).

Wajar kiranya bila semakin kencang “dugaan” sementara pihak, akan kuatnya hasrat mereka untuk menyesatkan dan memecah belah ummat Islam. Terbukti dari pilihan mereka untuk ‘Tawakkuf ‘ (tidak bersikap) dan terkesan sangat akrab, bahkan membela terhadap berbagai kelompok di luar Islam khususnya syiah. Padahal Para Mujtahid dan Ulama sejak dahulu, demikian pula setiap muslim yang melek sejarah dan memahami kesesatan ajaran syiah tentu mafhum, jika kelahirannya mutlak dibidani Yahudi untuk memecah belah persatuan ummat Islam, dengan memanfaatkan konflik antar ummat Islam pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.

Sayangnya, tidak sedikit Ulama yang mudah-mudahan hanya karena kepolosan dan atau karena “Sami’na wa atho’na” (baca: Taklid buta) kepada sang imam, membuat mereka kemudian tidak menyadari jika Islam Nusantara adalah lagu lama dengan judul baru, atau lebih tepatnya “reinkarnasi” dari kelompok SEPILIS.

Masih segar kiranya dalam ingatan, ketika pada masa lalu, Menteri Agama Munawir Syadzali yang didukung beberapa tokoh SEPILIS saat itu, menggulirkan ide “Reaktualisasi ajaran Islam”. “Ide gila” tersebut digulirkan hanya untuk satu alasan, bahwasanya ada beberapa ajaran Islam yang sudah tidak relefan lagi dengan zaman, khususnya dengan situasi, kondisi dan budaya yang berkembang di Indonesia.

Begitu luar biasa semangatnya mereka pada waktu itu berupaya melahirkan apa yang mereka sebut dengan “Fiqh ala Indonesia”. Salah satu yang ingin diubah, bahkan berharap bisa di Undang- Undang-kan saat itu adalah hukum Waris. Dengan mengubah hukum yang Alloh tetapkan 2 : 1 untuk laki-laki dan wanita (Q.S. An Nisaa,4:12 ) menjadi sama rata. Alasan yang dikemukakan yang bersangkutan, karena pembagian yang ditetapkan Alloh SWT tersebut hanya cocok untuk masyarakat Arab saat turunnya Al Qur’an. Sementara menurut yang bersangkutan, sama rata adalah pembagian yang cocok dengan situasi dan kondisi di Indonesia saat ini.

Padahal seorang bocah tentunya faham, jika ia ingin membeli kopeah, sementara ukuran kopeah ternyata tidak cocok dengan kepalanya, maka sang bocah dan setiap orang yang berakal sehat akan melakukan hal ini: Bila kekecilan, ia akan minta ukuran yang lebih besar, dan jika kebesaran ia akan minta ukuran yang lebih kecil. Artinya, kopeahlah yang harus menyesuaikan dengan kepalanya. Bukan sebaliknya, kepala yang dipaksakan harus menyesuaikan dengan kopeah yang ada.

Dengan kata lain, masyarakat muslim dimana pun di dunia ini harus menyesuaikan adat istiadat mereka kepada Islam sebagai Induk (Sumber hukum utama) yakni Al Qur’an dan As-Sunnah, bukan sebaliknya! Ini tentunya bila seseorang masih beriman bahwa Al Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber hukum utama.

Mereka sudah seharusnya segera sadar dan berhenti dari menyanyikan “Lagu Lama” yang hanya enak didengar dan membahagiakan mereka yang tidak suka melihat Islam semakin eksis di negeri ini. Ummat Islam sudah sangat faham dengan tipu daya semacam ini.

Karenanya, upaya untuk menyesatkan dan memecah belah ummat Islam, insya Alloh, selamanya tidak akan pernah berhasill, terutama sekali karena janji dan jaminan Alloh SWT: “Mereka membuat makar (tipu daya), dan Alloh Mahakuasa membalas tipu daya mereka itu. Dan Alloh sebaik-baik pembalas tipu daya ” ( Q.S. Ali Imraan, 3:54 ). Wallohu a’lam bish showab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *