Islam Nusantara, No, Islamisasi Nusantara, Yes!

by
KH. Luthfi Bashori. Foto: Istimewa

Oleh: KH. Luthfi Bashori

Sejak Prof Mahfudz MD menyatakan, bahwa tugas umat Islam Indonesia adalah “Mengindonesiakan Islam,” bukan “Mengislamkan Indonesia,” ternyata di tempat lain ada pihak-pihak tertentu yang berupaya untuk memviralkan kembali istilah Islam Nusantara, setelah meredup hampir dua atau tiga tahun silam.

Wartapilihan.com, Jakarta –Karena banyak pihak yang bertanya, bagaimana sikap saya terhadap maraknya isu sosialisasi istilah ISLAM NUSANTARA ini? Maka saya jawab, bahwa saya istiqamah memilih untuk menolak istilah ISLAM NUSANTARA karena banyak faktor.

Di antaranya bahwa sesuai pengetahuan saya, saat ini yang ‘bermain’ di belakang nama ISLAM NUSANTARA adalah tokoh-tokoh LIBERAL. Kalau meminjam istilah Alm. KH. Hasyim Muzadi, bahwa Islam Nusantara saat ini telah DIBAJAK oleh kelompok Liberal.

Jadi, saya lebih memilih ikut berjuang dalam gerakan ISLAMISASI NUSANTARA (bukan Islam Nusantara), yaitu upaya menjadikan Nusantara ini bersyariat Islam dalam segala bidang.

Mulai dari semua penduduknya diislamkan atau diajak masuk Islam. Sistem perekonomiannya disesuaikan Syariat Islam. Sistem kenegaraannya juga yang sesuai dengan Syariat Islam, dan seterusnya.

Termasuk yang menjadi pertimbangan saya untuk menolak gerakan Islam Nusantara adalah:

1. Secara riil bahwa mayoritas kelompok yang menolak istilah Islam Nusantara, adalah para aktifis muslim yang selalu istiqamah dalam memperjuangkan kemurnian ajaran Islam, sesuai dengan ajaran para ulama Salaf Ahlus sunnah wal jamaah dengan madzhab fiqih Syafi`i, beraqidah Asy`ari-Maturidi, dan bertasawwuf ala Imam Junaid Albaghdadi, Imam Ghazali, Hb. Abdullah Alhaddad dan para ulama yang aqidahnya searah dengan ketiganya.

2. Sedangkan tokoh-tokoh kalangan Liberal, yang kerap muncul di permukaan, mereka sengaja menggunakan event MUKTAMAR NU 2015 silam, untuk memasarkan ide-ide liberalnya dengan bersembunyi di bawah jargon “ISLAM NUSANTARA”

Dengan demikian, maka jelaslah, bahwa nama ISLAM NUSANTARA itu bukanlah murni produk orang-orang shalih, karena itu perlu ditolak.

Belum lagi yang memberi nama Islam Nusantara itu bukanlah PARA WALISONGO dan bukan pula PARA PENDIRI NU, tapi baru muncul beberapa tahun belakangan.

3. Adanya penamaan Islam Nusantara itu, bisa menjadi faktor utama terjadinya DIKOTOMI antara umat Islam Nusantara dengan umat Islam Non Nusantara.

Dari tinjauan ini, maka fanatik kesukuannya, akan muncul lebih dominan dalam tubuh penganut Islam Nusantara. Tentu dampaknya sangat buruk bagi persatuan umat Islam seluruh dunia.

Sebagai bukti nyata, adalah pernyataa Prof Said Aqil Siradj, salah satu tokoh penggiat Islam Nusantara yang menyatakan, “ISLAM NUSANTARA itu lebih baik daripada ISLAM ARAB”

Statemen ini tentu memilik multi tafsir, di antaranya: Ulama Nusantara itu lebih baik daripada Ulama Arab, padahal KH. Hasyim Asy’ari itu termasuk mukimin Makkah yang berguru langsung pada para masyayikh Arab (Makkah), demikian juga mempunyai makna Keislaman Nusantara itu jauh lebih baik dibanding keislaman Rasulullah SAW sebagai salah satu Islam Arab.

Statemen Yahya Cholil Tsaquf, penggiat Islam Nusantara lainnya, “Islam Nusantara itu Islam sejati, sedangkan Islam Arab itu Islam abal-abal dan Islam penjajah.”

Jelaslah pernyataan ini termasuk bentuk pelecehan terhadap agama Islam secara umum.

4. Ke depan tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang ingin mengembangkan istilah Islam Nusantara menjadi Islam Jawa, Islam Madura, Islam Sunda, Islam Betawi, Islam Banjar dan Islam-islam yang lainnya.

Demikian juga tidak menutup kemungkinan penganut Islam Jawa akan mengatakan, “Islam Jawa itu lebih baik daripada Islam Banjar”. Sedangkan penganut Islam Banjar akan mengatakan, “Islam Banjar lebih baik daripada Islam Madura”, dst.

Jika peluang munculnya Islam Kesukuan seperti ini dibuka, maka sangat rawan akan terjadi chaos antar suku di antara umat Islam.

Karena itu, maka saya pribadi memilih tetap berada pada barisan kelompok PENOLAK nama ISLAM NUSANTARA.

Bahkan viralnya nama ISLAM NUSANTARA itu, telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagai satu kelompok yang identik dengan anti “ARAB”.

Hal ini sudah banyak bukti, seperti perilaku tokoh-tokoh Islam Nusantara, yang sengaja mendiskreditkan Arab dengan cara membeda-bedakan antara BUDAYA ARAB dengan AJARAN ISLAM, misalnya perkataan mereka, bahwa “Gamis & Jilbab” itu adalah Budaya Arab bukan ajaran Islam, dan lain-lain.

Padahal dalam riwayat Imam Hakim, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Benci terhadap Arab itu pertanda Munafiq”.

5. Sebagai salah satu aktifis fungsionaris NU, saya sangat merindukan suasana komunitas umat Islam di Indonesia ini, kembali seperti dulu, sebelum adanya sosialisasi istilah “Islam Nusantara” yang menjadi pro-kontra.

Saya juga merindukan aqidah dan pemahaman Warga NU itu kembali seperti keadaan NU TEMPO DOELOE, yang mana para ulamanya selalu TEGAS (tidak ragu-ragu dan tidak bersikap abu-abu) dalam mengeluarkan fatwa terhadap kemunkaran Aqidah & pemikiran sesat.

Harapan saya, agar tokoh-tokoh NU saat ini dapat meniru ketegasan sikap yang diajarkan oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy`ari sebagaimana yang tertera dalam QANUN ASASI JAM`IYYAH NAHDLATUL ULAMA, maupun ketegasan yang dicontohkan oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy`ari sebagaimana termaktub dalam karangan beliau “RISALAH AHLIS SUNNAH WAL JAMA’AH”.

Ilustrasinya, KH. Hasyim Asy`ari secara TEGAS dan tidak ragu-ragu mengeluarkan fatwa, bahwa SYI`AH ZAIDIYAH itu SESAT dan tidak boleh diikuti oleh warga NU.

CATATAN:
Paham Syiah Zaidiyah itu hanyalah mengatakan bahwa Sy. Ali bin Abi Thalib lebih afdhal daripada Sy. Abu Bakar dan Sy. Umar. Selebihnya ajaran Syiah Zaidiyah itu hampir sama dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Namun dengan TEGAS, KH. Hasyim Asy`ari menfatwakan: “Syiah Zaidiyah itu SESAT (Ahlul Bid`ah)”.

Apalagi SYIAH IMAMIYAH, Syiahnya orang Iran, yang mengkafirkan para shahabat Nabi Muhammad SAW, maka seharusnya tokoh-tokoh NU berani menolak keberadaan mereka di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *