Tiga tahun dikebut, Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. menyatakan sudah menyelesaikan empat dari total 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Data dari Kementerian Koordinator Perekonomian, hingga akhir November 2017, baru empat proyek yang masuk dalam daftar PSN rampung. Tiga proyek di antaranya merupakan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dengan investasi Rp415 miliar, sedangkan satu proyek lainnya adalah jalan tol akses Tanjung Priok senilai Rp 6,7 Triliun.
Selain itu, hingga akhir November 2017, ada 147 proyek dalam tahap konstruksi, 9 proyek dalam tahap transaksi, dan 87 proyek dalam tahap penyiapan. Dimana ke-87 proyek yang masih dalam tahap penyiapan tersebut diharapkan mendapat pendanaan selambat-lambatnya di akhir 2018 nanti.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017, 245 proyek yang masuk dalam daftar PSN mencakup sektor infrastruktur, sektor ketenagalistrikan, dan industri pesawat terbang. Total nilai seluruh proyeknya mencapai Rp4.417 triliun.
Pemerintah memang bernafsu untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur di seluruh negeri. Meski itu menambah risiko bagi keuangan negara. Karena pembangunan infrastruktur dibiayai oleh utang. Hasilnya, utang luar ngeri (ULN) pun membengkak.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal III 2017 mencapai US$ 343,1 miliar. Angka ini tumbuh 4,5 persen secara tahunan (yoy). Pihak otoritas moneter menegaskan, perkembangan ULN ini sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur.
Di sisi lain, genjotan infrastruktur yang melibatkan perusahaan-perusahaan konstruksi milik negara, malah membuat keuangan perusahaan-perusahaan pelat merah ini mengalami penurunan kinerja keuangan.
Arus kas badan usaha milik negara tersebut mulai tergerus. Setidaknya tergambar dari debt to equity ratio (DER) atau rasio utang terhadap ekuitas yang mengalami kenaikan.
Sebagai operator pembangunan infrastruktur yang cukup kencang, namun tidak diimbangi dengan tingkat pendapatan yang memadai dari infrastruktur yang dikerjakan itu, keuangan badan usaha milik negara (BUMN) Karya menjadi kurang perform.
Dari data yang dipublikasikan Bursa Efek Indonesia (BEI), terlihat bagaimana kinerja BUMN infrastruktur hingga September 2017 yang mendapat tugas khusus menyelenggarakan proyek infrastruktur, perolehan labanya memang mengalami lonjakan, tetapi arus kas bermasalah.
Misalnya, PT Adhi Karya Tbk yang menggarap LRT, mencatatkan laba bersih Rp 205,07 miliar atau naik 78% dari Rp115,18 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara pendapatan usaha juga melonjak 57% menjadi Rp8,7 triliun dari 5,69 triliun.
Namun, arus kas perusahaan ini malah minus Rp 3 triliun. Sedangkan arus kas penerimaan sebesar Rp 6,87 triliun, dab arus kas pengeluaran mencapai Rp 9,9 triliun. Adapun DER perusahaan cukup tinggi sekitar 3,4 kali.
Lalu, PT Waskita Karya yang baru saja menyelesaikan pembangunan sebagian jalan tol laying Becakayu, laba bersih melonjak sekitar 137,9% dari Rp1,08 triliun menjadi Rp2,57 triliun, sedangkan pendapatan usaha tercatat Rp28,5 triliun atau naik sekitar 50% dari Rp14 triliun lebih. Namun, arus kas bersihnya tercatat minus Rp 5 triliun.
Sementara, arus kas bersih PT Wjaya Karya juga mengalami minus Rp2 ,69 triliun. Padahal laba bersih menjadi Rp 682,64 miliar atau naik 46,66% dari Rp 465,46 triliun.
Sedangkan PT Pembangunan Perumahan, meski laba bersih emiten dengan kode PTPP itu melonjak 74,7% dari Rp556 miliar menjadi Rp989,9 miliar, arus kas bersih untuk aktivitas operasi perusahaan ini juga mengalami minus sebesar Rp 1,52 triliun.
Apa yang dialami perusahaan infrastruktur negara itu jika tidak segera diatasi akan memengaruhi kinerja perusahaan paling beberapa tahun ke depan, Apalagi sekarang dampaknya yang bisa dirasakan tidak tiga tahun ke depan.
Akibat arus kas yang minus itu, harga saham empat perusahaan konstruksi pelat merah di pasar saham stagnan sepanjang tahun ini. Memang, perolehan laba bersih cukup bagus namun tak mampu mendorong investor pasar modal mengoleksi sahamnya.
Karenanya pemerintah perlu memperhatikan kondisi ini, agar ke depannya tidak malah menjadi bumerang dalam pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, perusahaan pelat merah seharusnya sudah bisa mengelompokan mana proyek yang sudah menghasilkan dan yang masih dalam tahap pembangunan.
Sehingga bisa mencari produk sekuritisasi agar bisa memicu pendapatan saat ini dan bisa dipakai untuk membiayai kebutuhan pembangunan.
Perusahaan konstruksi ini juga harus pandai memilah berapa proyek yang saat ini mereka tangani, mana yang secara ekonomi sudah bisa menghasilkan, mana yang harus disubsidi. Sehingga tidak mengganggu penerimaan.
Di sisi lain, pemerintah juga harus tetap waspada terkait level utang luar negeri. Meski diklaim masih aman, tetap saja, segala kemungkinan harus diperhitungkan.
Arah kebijakan pengelolaan utang perlu selalu berpegang teguh pa¬da prinsip kehati-hatian. Selain itu, jangan sampai pengalokasiannya me¬lenceng dari sektor produktif.
Rizky Serati