Sejak pemerintahan Jokowi, Indonesia gelar kerjasama dalam banyak bidang, salah satunya infrastruktur. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya sedang dilaksanakan. Belum lagi MRT dan LRT. Total investasi proyek kereta cepat ini mencapai US$ 6 miliar. Untuk siapa pembangunan ini?
Wartapilihan.com, Jakarta –Yusuf Wibisono, Dosen dan Staff Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengatakan, kebijakan dalam membangun infrastruktur seperti proyek kereta cepat merupakan hal yang kurang dapat dipahami. Pasalnya, pembangunan tersebut, menurut Yusuf, cenderung tidak pro terhadap rakyat kecil kelas menengah ke bawah.
“Misalnya kereta api. Tapi, kok, yang dibangun kereta api cepat, Jakarta-Bandung. Yang dibangun MRT, LRT, itu buat apa gitu? KRL (Kereta Rel Listrik) aja gak ditengok. Gak disentuh begitu ya. Buat saya itu aneh. Infrastruktur yang didorong jalan tol terus. Itu dimana-mana bahkan, menurut saya ya nggak jelek juga, cuma gak pro rakyat gitu infrastruktur nya,” ujar Yusuf kepada Warta Pilihan, Senin siang (7/8/2017).
“Orang pakai jalan tol bayar, kok. Gak mungkin banyak rakyat yang menikmatinya. Terbatas. Yang paling banyak menikmati ya orang-orang kaya, karena bayar. Orang miskin terbatas menikmatinya,” lanjutnya.
Ia mengatakan, di satu sisi pembangunan infrastruktur sangat baik karena dapat meningkatkan daya saing masyarakat. Tetapi, dengan bekerjasama dengan Badan kreditur Cina akan berdampak ke rakyat kecil. Pasalnya, Cina memberikan hutang, tetapi banyak persyaratan yang diajukan. Termasuk buruh-buruh yang dikirim dari Cina. Dampaknya, penyerapan tenaga kerja dari Indonesia terminimalisir.
“Secara umum, kebijakan membangun infrastruktur sangat baik. Cuma ketika didorong oleh hutang kemudian sistemnya juga kreditor seperti Cina yang sangat menekan dan mengikat, harus begini ya, bahan baku dari kami, atasan dan bawahan dari kami,” papar Yusuf.
Ia juga mengkhawatirkan keadaan ekonomi, karena melalui kerjasama dengan Cina, tentu bunganya lebih tinggi daripada Jepang yang bunganya jauh lebih rendah. “Jepang setahu saya kurang dari 1 persen ya, bunganya. Bahkan lebih kecil lagi, 0,5 persen. Kalau di Cina bisa 2-3 persen, mahal,” ungkapnya.
Mengenai jenis infrastruktur yang dibangun, Yusuf mengaku masih kurang bisa memahami. Pasalnya, ketika awal masa pimpinan Jokowi, ia sempat berharap ketika Jokowi membatalkan projek selat Sunda yang digagas pada pemerintahan SBY. “Saya senang itu, kemudian berharap akan banyak infrastruktur yang pro-rakyat di jaman Pak Jokowi. Tapi ketika kemudian menggulirkan program-program jadi agak bingung,” terang Pakar Ekonomi ini.
Menurutnya, infrastruktur yang pro rakyat adalah kereta api yang murah, KRL yang lebih disentuh dan diperhatikan, serta fasilitas jalan raya yang dibangun dengan gratis. “Infrastruktur yang paling murah, jalan raya gratis total, kereta api jadi murah. KRL commuter lebih dibaguskan. Jadi, jenis infrastruktur yang dibangun juga akan menentukan daya beli masyarakat ini. Akan terdongkrak naik atau nggak,” pungkasnya.
Ia memperingatkan, pemerintah harus mencium aroma dari ketimpangan yang semakin lekat dan meninggi ini. Karena, hal itu bisa jadi berbahaya. “Alarmnya apa, ini bisa jadi tanda-tanda ketimpangan semakin meninggi sebenarnya. Ujung-ujungnya ketimpangan semakin meninggi, ini berbahaya menurut saya. Kalau sampai dua-tiga tahun kemudian begini terus, ini menurut saya, kondisi tidak baik,” tandasnya.
Eveline Ramadhini