Oleh: Arif Wibowo, Sejarawan.
Alhamdulillah, malam tujuh belas Agustus kemarin, gubug saya kedatangan tamu anak-anak muda yang semangat. Tiga diantaranya adalah dokter muda/coass yang langsung berangkat selepas bertugas di rumah sakit Dokter Moewardi Solo, ada yang sedang skripsi di Akuntansi UNS dan satunya lagi mahasiswi Fisip yang sedang skripsi.
Wartapilihan.com, Jakarta —Kalau pada saat kedatangan pertama kelompok baca dan tulis ini (karena hobi mereka membaca dan menulis lintas disiplin ilmu) beberapa bulan lalu kami membicarakan Islam dan budaya Jawa. Maka pertemuan kemarin kami lebih banyak ngobrol soal perkembangan corak dakwah kampus sejak jaman saya sampai kondisinya saat ini. Pembicaraan yang banyak menghasilkan senyum simpul, karena semuanya pernah menjadi “pejuang afiliasi” kalau dalah bahasanya owner lapak Pramukiyun.
Namun, pembicaraan kemudian berlanjut mengenai hilangnya dimensi amal dalam tubuh umat Islam. Sehingga wacana keagamaan didominasi perang dalil bukan rumusan-rumusan amal yang disajikan kepada umat sebagai “suluh” atau “ikut menopang” hidup umat Islam yang banyak termarginalkan. Ambil contoh di wilayah dimana umat Islam menjadi mayoritas, yakni “buruh industri”, “petani gurem, buruh tani dan nelayan kecil” dan juga pedagang tradisional. Ketika kelompok-kelompok umat di atas sedang bergerak “menuntut kesejahteraan” sepertinya tidak ada “bendera ormas Islam” yang mendampinginya. Padahal, merekalah mungkin pengisi terbesar masjid atau musholla selepas adzan dikumandangkan.
Tidak hanya itu, dalam kasus vaksin misalnya, kenapa kok ributnya umat berhenti pada tataran halal dan tidaknya vaksin ? Umat Islam sedunia kok tidak ada yang kepikiran untuk melakukan riset vaksin sendiri sehingga vaksin yang dihasilkan “otomatis” halal, karena lahir dari umat Islam. Pun kalau menengok pendapat Imam Ghazali bahwa ilmu fardhu kifayah itu adalah ilmu yang harus dipunyai sebuah bangsa muslim supaya ia dapat hidup dan bersaing dengan bangsa lain, maka ketika ada 18 item pangan bangsa Indonesia masih impor, maka harusnya para cerdik cendekia muslim merumuskan bagaimana lepas dari ketergantungan impor ini.
Saya kok kemudian ingat sosok Muhammad Iqbal. Iqbal adalah filosof asal Pakistan yang mengkonstruksikan gagasannya tentang manusia sebagai Insan Kamil. Manusia yang tumbuh berkembang dan mengalami evolusi peningkatan dirinya ketingkat serupaan insan dengan Tuhannya. Tuhan adalah ego mutlak yang harus dicerap. Kalau mengikuti pembagian mistik menjadi mystic of infinity dan mystic of personality, maka Iqbal masuk dalam mystic of personality. Yakni bahwaTuhan diabsorb oleh manusia bukan manusia diabsorb dalamTuhan. Menurut Syafi’i Ma’arif, Iqbal adalah philosopher of action, yaitu filosof yang mementingkan perbuatan. Sedangkan Iqbal, berusaha membangkitkan kesadaran individual dan kemasyarakatan melalui sajak-sajaknya. Hal ini penting untuk membangkitkan masyarakat karena kaum penjajah cenderung meremehkan hak-hak individu dan sosial masyarakat terjajah. Menurut Iqbal Al Qur’an mengajarkan dinamisme, menampilkan ajaran tentang ego dan sifat kreatif manusia.
Kau menciptakan malam, dan aku yang membuat pelita
Kau menciptakan tanah liat dan aku yang membuat piala
Kau ciptakan sahara, gunung-gunung, dan hutan belantara
Aku juga membuat kebun anggur, tanam-tanaman dan padang tanaman
Akulah yang telah mengubah batu menjadi cermin
Akulah yang telah mengubah racun menjadi obat penawar
Hilangnya nalar kreatif dalam beramal inilah yang mungkin menjadikan keagamaan umat Islam sekarang ini begitu gaduh. Dan mungkin itu resiko dari umat yang tidak berani tampil, beraninya cuma nggamblok, bukan di aras utama cukup sebagai wakil. Akhirnya dimensi “amal” berubah jadi dimensi “omel”.