Hijab ‘Fashionista’ Dan Muslimah Yang Dikonsumsi

by
foto:http://2.bp.blogspot.com

Tulisan ini terinspirasi dan didasarkan dari tulisan Mahfuja Ahmed di website ilmfeed.com bulan Maret 2017 lalu, di mana Mahfuja dengan baik sekali menyingkap permasalahan di balik apa yang lazimnya disebut “Hijab mode” atau “Hijab Fashionista”. Sebutan tersebut sebagai pembedaan dengan hijab syar’i serta para Muslimah yang telah komitmen dengan tuntunan syariat Islam.

 Wartapilihan.com, Jakarta –rtikel Mahfuja yang berjudul The Problem with ‘Hijab Fashion’ dengan lugas menguraikan tiga poin penting tentang problem hijab fashionista, mulai dari (1) komersialisasi hijab oleh perusahaan kapitalis, (2) hijaber yang ‘berlenggak-lenggok’ di catwalk sedangkan di sekitarnya banyak laki-laki, dan (3) kritiknya terhadap pakaian para hijab fashionista tersebut, “apakah benar-benar hijab”.

Tadinya, para hijab fashonista itu mengawali berhijabnya dengan proses yang bisa dibilang susah-payah. Apalagi bagi mereka yang berada di negeri-negeri Barat. Seperti dituturkan Mahfuja: “Aku benar-benar memahami wanita Muslimah masuk ke dalam banyak kategori ketika memutuskan untuk mengenakan hijab secara menyeluruh, dan itu berarti bukan hanya mengenakan kerudung saja. Saya memahami sulitnya melaksanakan hijab (hingga melakukan hal itu). Saya pun memahami semua proses berpikir matang sebelum akhirnya membuat keputusan untuk menerapkan hijab lahir dan batin. Selain itu saya juga mengerti bahwa wanita ingin terlihat bagus dan rapi.”

Umumnya para hijab fashionista menginginkan bisa trendi meskipun sudah berhijab. Sampai di sini sebetulnya tidak masalah. Apalagi maksud para hijab fashionista itu untuk memperlihatkan mode pakaian yang santun dari ajaran Islam. Namun permasalahannya menurut Mahfuja adalah apa yang ada di balik hijab fashionista tersebut. Idealnya, berhijab adalah wujud ketaatan terhadap perintah Allah dan RasulNya, yang jelas termaktub dalam nash. Mahfuja sendiri paham, awalnya memang tidak masalah jika bisnis hijab tumbuh dengan subur di berbagai belahan dunia, seperti pengakuannya: “Tidak masalah sama sekali (hijab) dibuat bisnis, bahkan amat baik untuk melayani kebutuhan wanita Muslimah sebagai sebuah pangsa bisnis yang besar, tapi aku merasa ada suatu hal di balik bisnis tersebut, dan itu membuat hilangnya nama, esensi dan identitas seorang muslimah di balik make up, wajah cemberut (khas wanita catwalk) dan perilaku agresifnya.”

Di sinilah Mahfuja melihat bahwa nilai dan identitas Muslimah di kalangan hijab fashionista tergeser oleh mode, make up serta tindak-tanduk di atas catwalk. Tanpa disadari, Muslimah hijab fashionista sedang menjadi komoditas yang menggiurkan bagi para kapitalis, sehingga nantinya bisa ‘dikonsumsi’ oleh para pria. Sign atau tanda bahwa kalangan hijab fashionista menjadi komoditas ialah -meminjam istilah Mahfuja- pakaian hijabnya sedang dikomersialkan. Apa permasalahan di balik itu? Yakni adanya promosi-promosi hijab melalui merek perusahaan tertentu yang memungkinkan para Muslimah berhijab melalui merek-merek tersebut, yang dengan itu para Muslimah merasa pakaiannya diterima oleh dunia. Jelasnya seperti penuturan Mahfuja, “Tentu kita tidak membutuhkan Nike untuk mempromosikan hijab kita, kita tidak memerlukan Debenhams yang mulai mendukung pakaian hijab. Kita tidak perlu persetujuan mereka atau pengesahan dari perusahaan-perusahaan mainstream. Mereka sesungguhnya tidak melakukan apa yang kita inginkan, mereka juga tidak sedang menyambut kita, mereka hanya memikirkan bisnis mereka dan bagaimana cara membuat keuntungan. Jadi pertama, penting bagi kita agar tidak jatuh ke dalam perangkap pemikiran: “akhirnya dunia mulai menerima kita”.

Padahal apa yang perusahaan-perusahaan ‘kapitalis’ itu lakukan hanyalah mencari keuntungan belaka. Budaya berhijabnya sendiri malah tergantikan dengan budaya konsumerisme dalam pengandaian sosiolog Perancis Jean Baudrillard. Memiliki merek-merek terkenal adalah “penanda” bahwa budaya konsumsi kalangan hijab fashionista itu telah dikuasai kapitalisme. Tentu yang saya (penulis) maksud adalah “penanda” dalam tradisi semiotika. Kapitalisme di balik itu menjadi yang berkuasa dalam menentukan apa hijab yang “pantas” bagi para hijab fashionista tersebut, bukan lagi sekedar implementasi nilai-nilai dan identitas keislaman saja. Buktinya, hingar-bingar catwalk menjadi budaya terusan bagi kalangan hijab fashionista  “Ketika wanita Muslimah berjalan naik dan turun di karpet catwalk, ingat banyak fotografer pria, para pria turut hadir menonton, pria juga membaca dan melihat tentang fashion show di berita, apakah ini mengalahkan tujuan dari hijab? Sementara kami memamerkan “pakaian santun” pada tubuh kita, kita sedang disaksikan dan dilirik saat memperindah wajah, memperindah pakaian, benarkah ini sesuatu yang santun?”, demikian Mahfuja mengekspresikan kekhawatirannya.

Lagi pula menurutnya, kalangan hijab fashionista banyak yang tidak memenuhi syarat hijab, “memperlihatkan rambut dan leher sama sekali bukanlah hijab dan seharusnya tidak pernah dianggap sebagai hijab,” tegasnya. Sangat disayangkan jika identitas Muslimah harus termodifikasi oleh apa yang disebut sebagai “dunia modern”. Padahal seharusnya, nilai-nilai dan identitas keislaman-lah yang dijadikan standar oleh “dunia modern”. Maka jangan sampai nilai-nilai Islam yang final malah mengikuti “dunia modern.”

Saya jadi teringat pandangan Baudrillard dalam menanggapi ‘keprihatinan’ budaya konsumerisme yang melanda “dunia modern” ini. Konsumsi tidak lagi hanya dipandang sebagai pemenuhan nilai guna dan fungsi suatu barang-jasa belaka, melainkan sudah taraf “konsumsi jaringan tanda”. Jelasnya dalam memandang kegiatan konsumsi masyarakat, harus dilihat sebagai proses konsumsi tanda. Salah satu signifikasinya dalam konteks tulisan ini misalnya, apa yang dipakai oleh Muslimah kalangan hijab fashionista itu haruslah dari yang bermerek. Bahkan standar trendi pun harus dari merek. Korporasi global telah sedemikian rupa menentukan apa yang pantas dan tidak pantas bagi seorang Muslimah. Oleh karena itu, kalau boleh memodifikasi pengandaian Baudrillard, jangan-jangan dalam praktek berhijab seperti ini telah terjadi “Islam yang ilusif”, bukan melulu “kebebasan yang ilusif”. Berhijab bukan sebagai perwujudan implementasi nilai ajaran dan identitas Islam melainkan karena dunia sudah merestuinya, hijab sudah menjadi trend global. Berhijab karena sebuah konsekuensi budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme memang dikenal ‘suka memaksa’ manusia, sehingga secara tak sadar menata masyarakat global agar ‘terharuskan’ berhijab ala fashionista. Bukan lagi sebagai wujud implementasi ajaran agama.

Semiotikanya? Tentu saja ada. Lantaran semiotika bisa menyingkap tiap sisi entitas semesta budaya. Hubungan “penanda” dan “petanda” (pengguna tanda) dalam konteks ini ibarat konsumen dengan barang yang dikonsumi. Kalangan hijab fashionista, di samping menjalankan perintah agama, juga menginginkan bergaya trendi, demikian makna denotasinya. Ada pun makna konotasi dari gaya berhijab semacam ini adalah sebagai pemuas hasrat oleh kalangan hijab fashionista. Hasrat untuk bisa tampil trendi, high class dan bisa jadi hasrat untuk dilihat oleh pria. Padahal awalnya, fungsi hijab dalam Islam adalah agar akhwat ‘tidak mencolok’ bagi ikhwan. Hasrat tersebut kerap kali untuk pemenuhan eksistensi dan aktualisasi diri kalangan hijab fashionista, kendati pula menyimpan muatan-muatan lain. Maka sudah saatnya identitas Muslimah dan berhijab dikembalikan lagi pada keikhlasan. Keikhlasan yang dimulai dari pertanyaan mendasar seorang Muslimah: apakah alasan terpenting saya ketika memutuskan untuk berhijab?

Ilham Martasyabana, penggiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *