Aksi-aksi kontroversial Banser yang dapat memantik konflik horizontal dan eskalasi lebih luas harus mendapat respon serius. Pemerintah dan aparat hukum tidak boleh melakukan pembiaran.
Wartapilihan.com, Jakarta — Buntut dari pembakaran bendera tauhid oleh belasan oknum Ormas Barisan Serbaguna (Banser) Nahdatul Ulama sangat meresahkan dan mengganggu kondusifitas bangsa Indonesia yang majemuk dan plural.
Selanjutnya, petisi pembubaran Banser digulirkan masyarakat luas. Pasalnya, tak hanya saat perayaan Hari Santri Nasional (HSN) saja organisasi sayap NU itu berulah. Melainkan kerap memancing kemarahan umat Islam dengan aksi-aksinya. Seperti pembubaran pengajian, persekusi ulama dan mengklaim dirinya sangat nasionalis mencintai NKRI.
Pengamat Terorisme dan Intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyetujui petisi masyarakat untuk membubarkan Banser. Menurut dia, respon sebagian masyarakat yang membuat petisi dan menuntut pembubaran Banser adalah hal yang wajar.
“Kenapa demikian? Karena mereka yang memonitor dengan cermat maka akan menjumpai banyak kasus mulai dari aksi persekusi, sampai akhirnya publik menyaksikan aksi pembakaran bendera, slayer, topi yang bertuliskan kalimat Tauhid,” ujar Harits kepada Wartapilihan.com, saat dihubungi, Kamis (25/10).
Menurut UU Ormas Nomor 16 Tahun 2017 Pasal 59 disebutkan, Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, ras, agama, dan golongan. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban umum atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial.
“Jika kembali kepada UU Ormas yang berlaku saat ini, maka substansinya bisa saja di terapkan pada aksi-aksi Banser kali ini,” katanya.
Bagi komponen masyarakat yang menuntut pembubaran, jelas Harits, maka tinggal kumpulkan bukti dan di ajukan kepada pihak yang berwenang dan punya otoritas memutuskan tuntutan tersebut.
“Jadi saya melihat itu penyikapan berdasarkan fakta akumulatif dari kasus-kasus sebelumnya. Biarkan mekanisme yang berlaku menjadi proses pembuktian apakah tuntutan pembubaran itu relevan atau tidak,” ujarnya.
Selain itu, ungkap Harits, Pemerintah harus arif, dan peka kepada persoalan sensitif kehidupan masyarakatnya. Khususnya terkait persoalan keyakinan masyarakat, di saat ada satu faktor yang bisa menstimulan lahirnya kontraksi sosial dan mengeskalasi luas, maka negara harus hadir dan mewujudkan rasa keadilan agar bisa mereduksi semua potensi konflik sosial.
“Rasa keadilan yang tersumbat menjadi faktor dominan memicu instabilitas kehidupan sosial politik,” ungkapnya.
Harits menjelaskan, negara bukan melindungi yang salah, negara punya peran menjamin tegaknya keadilan dan memastikan rada keadilan itu untuk semua komponen warga negara Indonesia (WNI).
“Kalau mau jujur dan obyektif, memang banyak indikasi di lapangan yang mengantarkan kepada kesimpulan wacana pembubaran Banser itu relevan, layak didengar, dikaji, dipertimbangkan, dan diambil sikap yang tegas,” tandasnya.
Ia menegaskan, negara harus hadir untuk memaksa agar tidak ada salah satu komponen masyarakat yang menjadi biang kerok keresahan, perpecahan, main hakim sendiri, dan penistaan terhadap antar sesama anggota masyarakat.
Adi Prawira