HACKERS (BAGIAN 2): SI CERDAS DI DUNIA ABU-ABU

by

Ada banyak ragam para peretas. Mereka hidup di dunia abu-abu. Internet ada karena dikembangkan oleh para hacker.

WARTAPILIHAN.COM, Depok- Selama ini banyak orang salah kaprah menyebut setiap tindakan penyusupan ke sistem komputer orang lain sebagai tindakan hacking atau peretasan. Pelakunya otomatis disebut hacker. Sesungguhnya, hack –secara harfiah berarti memotong, memangkas, merintis/membuka jalan—pada tahun 1960-an merupakan istilah lain seputar pekerjaan komputer yang membutuhkan keahlian dan spesifikasi tertentu, misalnya pemecahan kode program yang rumit dari suatu sistem operasi. Dari istilah ini lahirlah hacker (peretas), yang biasanya merujuk pada kemampuan analisis, pengodean, dan solusi untuk masalah peranti lunak komputer.

Saat Amerika menjalankan program di Badan Proyek Riset Lanjutan atau ARPA ((Advanced Research Project Agency) sekitar tahun 1972, para programmer yang mahir dan ahli jaringan di sana boleh dibilang adalah para peretas. Mereka inilah yang menemukan dan mengujicobakan sistem internet dan world wide web (WWW) sehingga berjalan seperti yang kita gunakan saat ini.

Eric S. Raymond, penulis The New Hacker’s Dictionary, menyebut ada lima ciri peretas  sejati.  Pertama, mereka gemar mempelajari detil sistem komputer atau bahasa pemrograman. Mereka mempelajari pemrograman dengan cepat. Dengan kata lain, para peretas  itu cerdas. Ketiga, peretas lebih gemar praktik ketimbang teori. Mereka mahir dalam sistem operasi/bahasa pemrograman komputer tertentu, misalnya UNIX. Kelima, peretas biasanya menghargai hasil kerja koleganya yang lain.

Satu dasawarsa kemudian, lahir generasi baru. Mereka memiliki ketrampilan seperti peretas tetapi dalam konotasi lain yakni ahli dalam menerobos sistem keamanan komputer dan melakukan sabotase, sampai mencuri informasi, dan tindakan merugikan lainnya.  Semuanya terkait dengan istilah kriminalitas komputer tingkat tinggi. Inilah yang sesungguhnya dijuluki sebagai cracker alias hacker hitam. Banyak kalangan menjulukinya dengan istilah peretas hitam (black hat hacker), untuk membedakannya dengan hacker.

Kata crack (berarti merusak, membongkar, mematahkan, menghancurkan) menunjukkan perbedaan utama antara cracker  dan hacker. Hacker sejati, kata Chris Tucker dari grup hacker Cult of Dead Cow, takkan berbuat yang merugikan, apalagi diikuti pemerasan. “Yang melakukan pengrusakan itu bukan bukan hacker melainkan kaum vandal,” katanya.

Dari kaum anarkis sampai tukang oprek telepon

Sebuah buku lawas tahun 1999, “Hacker, Sisi Lain Legenda Komputer”  karya G.A. Azriadi Prana, memaparkan secara gamblang kategori para peretas ini. Ada yang disebut kelompok anarkis. Kelompok ini berkembang di era 1960 hingga 1970-an, saat protes terhadap perang Vietnam marak di Amerika. Kelompok ini dikenal menentang kebijakan perang dan memanifestasikannya dengan prinsip “kekerasan dilawan dengan kekerasan”. Mereka memasok dan berbagi info tentang panduan pembuatan bom, bahan peledak, merakit senjata, dan sebagainya, lalu disebarkan secara elektronik kepada publik.

Ada pula kelompok cyberpunk, fans cerita fiksi ilmiah. Mereka umumnya amat terinspirasi dengan novel William Gibson berjudul Neuromancer. Novel ini menceritakan petualangan sekelompok orang yang menghubungkan pikiran mereka langsung ke sistem komputer. Mirip-mirip dengan film Blade Runner. Atau kalau sempat menonton TV swasta, and pasti hafal film layar lebar Keanu Reeves yang populer sebelum Matrix, yakni film Johnny Mnemonic, si tampan pembawa pesan digital di kepalanya.

Selain itu terdapat cypherpunk atau cryptographer. Kelompok ini adalah orang-orang yang gemar bereksperimen dengan penyandian atau enskripsi. Salah satu cerita heroik kalangan cypherpunk adalah kasus Whit Diffie dan Marty Hellman, yang membuat gelisah pemerintah Amerika Serikat. Mereka membongkar aib besar pemerintahan Amerika –yang selama ini mengaku menghormati kebebasan pribadi sebagai hak asasi manusia. Diam-diam, pemerintah Amerika hobi menyadap pembicaraan rakyatnya sendiri di telepon, dengan memasang cip khusus dan program penyandian yang tak diekspos ke publik. Alasannya, biasa, demi keamanan nasional. Borok inilah yang kemudian dibongkar oleh Diffie dan Hellman yang kemudian menggemparkan publik AS. Berkali-kali NSA mencegah dan menakut-nakuti Diffie dan Hellman dalam mengembangkan kajian kriptografi. Upaya pemerintah Amerika gagal. Kriptografi menjadi ladang ilmu yang akhirnya banyak diminati orang, setelah sebelumnya hanya dimonopoli pemerintah.

Kelompok lain adalah para pembuat program virus, worm, bug, dan piranti lunak perusak lainnya. Sebagian membuatnya karena alasan iseng, sebagian lagi karena kriminal, ada juga yang melakukannya untuk penelitian kecerdasan buatan (artificial intelligent). Kelompok pembajak piranti lunak –yang banyak terdapat di Indonesia– juga masuk kategori bawah tanah.

Yang unik adalah phreaker (phone freaker). Mereka adalah orang yang belajar seluk-beluk sistem telepon dan mengendalikannya. Para phreaker, umpamanya, jika ingin melakukan sambungan internasional dari Indonesia ke London akan membuat semacam “siul” (sinyal) ke sambungan telepon otomat (STO) lokal, lantas merekayasa agar sinyal “siul” itu diterima dari London ke Indonesia secara lokal. Mereka tetap membayar pulsa telepon, tapi tapi jauh lebih rendah dari yang ditetapkan. Bahkan, nomor-nomor  yang kerap dipakai petugas Telkom di lapangan untuk menguji sambungan ke rumah-rumah, suka disalahgunakan para phreaker.

Ada pula carder alias pencoleng kartu kredit di dunia maya. Di Indonesia, para carder ini kerap bikin pusing. Mereka menyadap nomor kartu kredit korbannya dengan teknologi canggih, lalu menggunakan nomor itu berikut rahasia verifikasinya dengan beragam cara di internet (tukar-menukar, barter dengan sesama carder, dijual dengan harga tertinggi, dan sebagainya). Dengan menguasai nomor dan kata sandinya, mereka dapat menggunakan informasi tersebut secara daring untuk memborong barang-barang yang disukai.

Walhasil, banyak pedagang daring dirugikan, demikian pula perusahaan pengadaan jasa kartu kredit. Apalagi para  pemilik kartu kredit yang sah, mereka bisa terkena serangan jantung karena tahu-tahu tagihan kartunya membengkak hingga jutaan rupiah.

Para carder ini sesungguhnya tak beda dengan cracker. Malah, mereka lebih buruk dari itu.

Peretas: Baik atau Buruk?

Posisi para peretas memang unik. Meski membobol tanpa permisi, mereka biasanya dengan sopan menyebut dan menasihati kelemahan pengelola, agar lebih berhati-hati dan mencegah peristiwa serupa terulang di kemudian hari.  Eric S. Raymond memberi analogi tentang perbedaan peretas putih (hacker) dan peretas hitam (cracker): “Hacker membangun, cracker menghancurkan…”  

Yang dilakukan The Shadow Brokers melepas ransomware, misalnya, itu jelas-jelas tindakan peretas hitam. Sama dengan yang pernah dilakukan peretas legendaris bernama Kevin David Mitnick alias Condor belasan tahun silam di Amerika Serikat yang mencuri identitas 20.000 kartu kredit dengan menyalin sistem operasi DEC (Digital Equipment Corporation) secara ilegal dan mengunakan komputernya untuk mengambil alih seluruh hub jaringan telepon New York City dan California, demi keuntungan pribadi.  

Sebaliknya, di banyak negara, termasuk Indonesia, ada kelompok atau individu peretas yang justru dikontrak untuk membongkar dan menemukan kelemahan sistem keamanan jaringan komputer perusahaan swasta atau instansi. Mereka justru menjadi penasehat keamanan sistem atau jaringan komputer. Jika ada yang bisa dibobol, para peretas memberitahukan kepada pengelola dan mendiskusikan titik lemah serta solusinya.  Mereka bekerja secara profesional, kecerdasannya justru menjadi aset yang  berguna bagi dunia bisnis atau negara.

(ahmad husein)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *