Ia bermakna ganda. Menunjuk kepiawaian memanfaatkan secara maksimal menit-menit terakhir laga, sekaligus menyindir keberpihakan wasit. Apa refleksi untuk kehidupan?
Rabu dini hari, 30 Januari 2019, sepertinya kedigdayaan Manchester United (MU) bakal ternoda. Hingga memasuki injury time, Setan Merah ketinggalan 1-2 dari Burnley. Rekor United 8 seri laga tak terkalahkan, sepertinya bakal terhenti.
Namun di waktu tenggang +2 menit (menit ke-92), bek tengah MU Victor Lindelof, membobol gawang Burnley. Skor akhir laga liga ke-24 tetap 2-2. Dengan demikian MU memperpanjang rekor tak terkalahkan 9 kali berturut-turut sejak ditangani pelatih Ole Gunnar Solskjaer.
Usai pertandingan, Manajer Burnley, Sean Dyche, menyebut kemenangan tuan rumah berkat faktor “Fergie Time”.
Istilah ini bermakna ganda. Ia menunjuk spesialisasi pelatih MU legendaris, Alex Ferguson, yang piawai memanfaatkan secara maksimal menit-menit terakhir pertandingan untuk mengubah, bahkan membalikkan, keadaan.
‘’Fergie Time’’ paling fenomenal adalah ketika Manchester United pada era David Beckham, Ole Gunnar Solskjaer, dan kawan-kawan sudah ketinggalan 0-1 dari Bayern Munich pada pertandingan final Liga Champions Eropa 1999 di Barcelona, Spanyol. Hal itu terjadi sampai memasuki tambahan waktu setelah standar pertandingan normal 90 menit, atau disebut injury time. Sebagian penggemar dan pengamat bola sudah memperkirakan kekalahan United hanya tinggal soal waktu.
Ada injury time selama tiga menit. Pada masa tenggang inilah, Tedy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer, manajer sementara MU saat ini, mencetak gol sehingga laga berakhir dengan kemenangan MU 2-1.
Di English Premiere League, tak kurang dari 5 kali terjadi momentum ‘’Fergie Time’’. Pada Januari 1999, gol Dwight York dan Ole Gunnar di injury time ke gawang Liverpool, membawa MU ke babak final Piala FA.
Drama ini terulang pada Januari 2006, tatkala gol MU di masa kritis membawa kemenangan 1-0 atas Liverpool sehingga United meraih runner up paruh musim itu.
Tiga drama ‘’Fergie Time’’ lainnya terjadi saat MU mengalahkan City (Desember 2012), Aston Villa (April 2009), dan Sunderland (Januari 2003).
Nada miring ‘’Fergie Time’’ menyindir para wasit yang sepertinya punya ‘’ijmak’’ (konsensus) untuk berpihak pada Ferguson. Saat Burnley ditahan 2-2, Sean Dyche ngamuk lantaran wasit waktu tambahan hingga 5 menit. Ini terlalu lama, lantaran tidak ada insiden berkepanjangan di waktu normal laga.
“Bagaimana bisa tambahan waktu selama itu karena tidak ada kejadian fisik yang menghambat pertandingan,” katanya sewot.
‘’Fergie Time’’ memberi pelajaran tentang berharganya waktu.
Waktu, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah “seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang”.
Pakar Tafsir M Quraish Shihab (Kisah dan Hikmah Kehidupan, 2005) menyebutkan, dalam Al Quran, kata waqt (waktu) ditemukan tiga kali. Tapi, konteks penggunaan dan makna yang dikandungnya tidak sama dengan pengertian waktu menurut KBBI.
Kata tersebut digunakan dalam konteks pembicaraan tentang masa akhir hidup di dunia ini (Baca Qs 7:187; 15:38 dan 38:81). Dari sini, dan setelah menelusuri seluruh bentuk kata lain yang berakar pada kata waqt, para pakar akhirnya menyimpulkan bahwa waqt adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk bekerja. Demikianlah waktu yang dikaitkan dengan kerja.
Kata lain yang digunakan oleh Al Quran untuk menunjuk kepada “masa” adalah ashr. kata ini, walaupun hanya ditemukan sekali dalam Al Quran (pada surat Al Ashr), tetapi kaitannya dengan “kerja keras” justru sangat jelas. Apalagi ia digunakan dalam konteks pembicaraan menyangkut kehidupan duniawi.
Kata ashr terambil dari akar kata yang berarti “memeras atau menekan sekuat tenaga sehingga bagian yang terdalam dari sesuatu dapat keluar dan nampak di permukaan”. Al Quran menamainya ashr, karena manusia dituntut untuk menggunakannya dengan sekuat tenaga, memeras keringat, sehingga sari kehidupan ini dapat diperoleh.
“Masa menjelang terbenamnya matahari” juga dinamai ashr (asar), karena saat itu seseorang telah selesai memeras tenaganya. Bukankah siang hari, pada dasarnya , dijadikan Tuhan untuk bekerja dan malam hari untuk beristirahat? (QS 27:86). Waktu adalah modal
utama manusia : Apa yang luput dari usaha Anda, masih mungkin Anda raih esok paginya, selama yang luput tersebut bukan waktu.
Dalam surah Al Ashr, Allah SWT bersumpah: “Demi ashr (waktu) semua manusia berada dalam kerugian.” Kerugiannya adalah karena tidak menggunakan ashr (waktu), dan kerugian tersebut seringkali baru disadari pada waktu asar (menjelang terbenamnya matahari).
Adapun yang terhindar dari kerugian, menurut Al Quran , adalah mereka yang memenuhi empat kriteria: Pertama, yang mengenal kebenaran (amanu); kedua, yang mengamalkan kebenaran (amilu al shalihat); ketiga, yang ajar mengajar menyangkut kebenaran (tawashauw bil al-haq); dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran (tawashauw bi al shabr).
Waktu Hidup
Waktu kita sebagai manusia di dunia, sesungguhnya tak banyak. Al Qur’an (32: 5) menyatakan, satu hari akhirat sama dengan 1000 tahun dunia.
Menurut WHO, usia harapan hidup penduduk Indonesia tahun 2018 mencapai 69,3 tahun. Katakanlah usia harapan hidup rata-rata 70 tahun, maka jika kita bandingkan waktu hidup di dunia dengan kehidupan akhirat diperoleh persamaan:
70 tahun dunia = 70/1000 hari akhirat = 0.07
Jadi, harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2018 menurut waktu akhirat adalah 0.07 hari. Jika sehari di akhirat = 24 jam, maka harapan hidup itu = 0.07 hari x 24 jam/hari = 1,68 jam.
Lihat, kita punya kesempatan di dunia hanya kurang dari 2 jam berdasarkan hitungan akhirat.
Sebaik-baik manusia, kata Nabi Muhammad SAW, yang panjang umurnya dan baik amalnya. Mukmin paling cerdas, kata Nabi Muhammad SAW, adalah ‘‘yang paling banyak mengingat mati (muhasabah), kemudian paling baik dalam mempersiapkan kematian’’ (HR Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy dari Ibnu Umar ra).
Maka, alangkah bijaknya menyusun skala prioritas amal, karena waktu kita di dunia ini tak banyak. Yusuf Qaradhawi memberikan resep mengenai hal ini:
- Dalam segala hal, utamakan kualitas, bukan kuantitas. Umat Islam saat ini, seperti telah diprediksi Rasulullah, jumlahnya luar biasa besar tapi kualitasnya laksana buih di lautan. Untuk Ramadhan lalu, Anda boleh merenung, berapa hari sebenarnya Anda benar-benar berpuasa, tidak sekadar mendapat lapar dan dahaga.
- Berilmu sebelum beramal. Makmumkan amalmu pada ilmumu, kata Nabi. Boleh jadi, al Qur’an mengingatkan, yang Anda benci sesungguhnya baik bagi Anda, dan sebaliknya (al Baqarah 216). Ingat, pendengaran, penglihatan, dan perasaan, semuanya akan dimintai tanggung jawabnya (al Isra 36).
- Paham, bukan sekadar hapal. Menafsirkan kata ‘’ummiyun’’ dalam al Baqarah 78 yang mengecam para pengingkar kitabullah, Ibnu Abbas mengatakan, boleh jadi mereka tidak mengetahui makna pesan-pesan kitab suci meski menghafalkannya.
- Susbstansi, ketimbang simbol. Anda tidak harus berbaju gamis atau berkopiah, untuk berbuat baik sebagai Muslim. Tapi seperti jilbab dan sholat, meski sifatnya simbolik (formal), adalah simbol yang mutlak harus dikerjakan.
- Ijtihad, ketimbang taklid. Kalaupun taklid, setidaknya mengikuti dengan ilmu, bukan taklid buta. Dulu, para shahabat belum berani menemui lagi Rasulullah sebelum mengamalkan ajaran wahyu yang telah diterimanya.
- Langgeng, ketimbang insidentil. Amal sedikit tapi tetap, lebih disukai ketimbang yang besar tapi temporer. Tentu bukan berarti harus puas dengan menjadi pengamal minimalis.
- Sosial ketimbang Ritual. Amal-amal sosial berdampak pada publik, sehingga ganjarannya pun lebih besar dibanding amal ritual individual. Misalnya, Anda akan memperoleh pahala senilai pahala kebaikan orang yang beramal setelah mendengar nasehat Anda.