Difteri, LGBT, dan Kemanusiaan

by
Dr. M. Ardiansyah - PonPes AtTaqwa-Depok

Beberapa hari yang lalu pesantren kami kedatangan petugas dari Puskesmas. Tujuan kedatangannya adalah untuk sosialisasi bahaya penyakit Difteri sekaligus tindakan pencegahannya. Ini adalah bagian dari program pemerintah dalam rangka menjaga kesehatan rakyatnya.

Wartapilihan.com, Jakarta –Difteri bukan penyakit baru dan biasa. Penyakit yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae ini adalah penyakit berbahaya, menular dan bisa menyebabkan kematian. Menurut World Health Organization (WHO),  pada tahun 2016 tercatat ada 7.097 kasus difteri di seluruh dunia. Indonesia turut menyumbang 342 kasus. Bahkan sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 tercatat 3.353 kasus difteri di laporan. Angka ini kemudian menempatkan Indonesia menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353 orang yang menderita difteri 110 di antaranya meninggal dunia. (http://www.alodokter.com/difteri).

Untuk kasus di Indonesia, tahun 2017, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Mohamad Subuh, menyebutkan sudah ada 32 korban meninggal akibat difteri, tersebar (di berbagai daerah) dari Januari sampai November. (https://m.detik.com/news/berita/d-3763050/kemenkes-hingga-november-ada-32-korban-meninggal-akibat-difteri). Kondisi seperti ini tentu mengkhawatirkan dan tidak boleh dibiarkan. Dan langkah cepat pemerintah mengatasi difteri ini sudah tepat. Sebab meski berbahaya dan menular difteri bisa dicegah dan diobati. Dengan tindakan medis yang sigap diharapkan masalah difteri ini bisa diatasi dan tidak menambah korban meninggal dunia.

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian dan penanganan serius adalah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Seperti difteri, LGBT juga berbahaya, menular dan bisa menyebabkan kematian. Jika mau dibandingkan, masalah LGBT ini sebenarnya jauh lebih dahsyat daripada difteri. Penyakit Difteri hanya menyerang fisik manusia, sedangkan LGBT bukan hanya fisik tapi juga jiwa manusia. Oleh karena itu, peran pemerintah untuk mencegah dan mengobati pelaku dan korban LGBT harusnya lebih serius.

Pelaku LGBT dan pendukungnya tidak boleh dibiarkan. Apalagi dibela dan diberi dukungan. Mereka harus diberi tindakan melalui berbagai pendekatan, mulai dari edukasi, medis sampai ke tingkat konstitusi. Hal ini demi mewujudkan Negara Indonesia yang adil dan beradab.

Pemerintah harus menyiapkan program edukasi agar  masyarakat mengetahui bahaya LGBT dan menjauhinya. Bagi yang sudah menjadi korban perlu dibantu dengan tindakan medis. Sedangkan yang terus melakukannya dan menyebarkannya harus ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas.

Kita layak bersedih hati, beberapa kali pesta Gay digerebek, seperti di Kelapa Gading dan Harmoni. Tapi tidak ada tindakan tegas terhadap pelakunya. Ada juga rencana penyelenggaraan Miss Transgender di Sumedang. Untungnya acara itu dibatalkan karena mendapat protes keras dari warga. Kalau sudah begini, mau dibawa ke mana negeri ini? Apakah kita harus diam saja dan membiarkan semuanya bertambah parah dan merusak tatanan kehidupan yang beradab?

Sekelompok emak-emak yang peduli akan nasib bangsa ini, dari Aliansi Cinta Keluarga (AILA), telah mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal terkait perzinaan, perkosaan dan perbuatan cabul sesama jenis, yaitu  pasal 284, 285 dan 292 KUHP. Sayangnya, lima dari sembilan Hakim Konstitusi menolak Judicial Review itu. Keputusan ini tentu memberi angin segar bagi pelaku dan pendukung LGBT.

Bagi pelaku dan pendukung LGBT masalah ini mungkin dianggap biasa, bagian dari Hak Asasi Manusia, dan tak perlu diatur oleh Negara apalagi agama. Perilaku LGBT itu urusan masing-masing dengan Tuhan, dan kita jangan jadi Tuhan untuk orang lain.

Cara berpikir semacam jelas bertentangan dengan konsep kemanusiaan dan ketuhanan sebagaimana disebutkan dalam Pancasila. Antara kemanusiaan dan ketuhanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia yang berakal, tahu diri dari mana asalnya. Dia tidak lahir sendiri, tapi diciptakan oleh Tuhan Yang MahaEsa.

Tubuh manusia itu bukan milik dirinya. Tapi milik Tuhannya. Itulah sebabnya setiap kali terjadi musibah, seorang Muslim diajarkan untuk mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun. Artinya, sesungguhnya kita ini milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kita akan kembali . Karena tubuh ini milik Allah, maka penggunaannya juga harus sesuai dengan izin dan aturan Allah SWT. Tidak boleh seenaknya digunakan apalagi sampai dirusak dengan perilaku tak bermoral.

Allah SWT telah mengatur caranya, bagaimana hubungan dua insan yang benar dan diridhai. Nabi Muhammad SAW juga telah menyampaikan pesan Tuhannya. Ketika seorang sahabat bertanya, “Salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya, apakah pada hal itu ia akan mendapat balasan pahala?” Beliau balik bertanya, “Bagaimana menurut pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada hal yang haram, apakah ia akan terkena dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskan pada hal yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala”.

Lihatlah, bagaimana Islam memuliakan manusia. Islam sangat memahami bahwa manusia memiliki syahwat, tapi tidak membebaskan tanpa aturan penyaluran syahwatnya itu. Oleh karenanya, manusia harusnya sadar diri, bahwa mereka bukan hanya punya kemaluan, tapi juga harus punya rasa malu. Orang yang punya rasa malu itu tahu di mana, kapan dan bagaimana meletakkan kemaluannya sesuai aturan Penciptanya. Itulah adab yang harus tertanam dalam jiwa setiap manusia, agar hidup bahagia di dunia dan akhirat.

Selain itu, masalah LGBT ini juga bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yang bercita-cita melahirkan manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Jika demikian adanya, masihkah negara ini membiarkan orang-orang yang coba menghalangi tercapainya cita-cita yang mulia ini? Semoga tidak.

Muhammad Ardiansyah
Pengasuh Ponpes at-Taqwa, Depok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *