Sebanyak 7 masjid di Austria ditutup oleh pemerintah dan 60 imam terancam dideportasi.
Wartapilihan.com, Wina –Pemerintah Austria mengancam, pihaknya dapat mengusir 60 imam dan keluarganya yang didanai Turki dan akan menutup 7 masjid sebagai bagian dari tindakan keras terhadap “politik Islam”. Hal tersebut memicu kemarahan di Ankara, Jum’at (8/6).
“Lingkaran orang-orang mungkin akan terpengaruh oleh langkah-langkah ini yang terdiri dari sekitar 60 imam,” kata Menteri Dalam Negeri, Herbert Kickl, dari Partai Kebebasan sayap kanan (FPOe), mitra junior dalam koalisi pemerintah Austria.
Kickl mengacu pada imam dengan dugaan hubungan dengan organisasi Asosiasi Islam Turki (ATIB), cabang dari dinas urusan agama Turki Diyanet.
Kickl menambahkan bahwa pemerintah mencurigai mereka melanggar larangan pendanaan asing dari pemegang kantor agama.
Pihak Kementerian mengatakan, 40 dari mereka memiliki aplikasi aktif untuk memperpanjang tempat tinggal dan bahwa hal tersebut sudah dirujuk ke otoritas imigrasi dengan proses untuk mengusir mereka.
Setelah anggota keluarga diperhitungkan, total 150 orang berisiko kehilangan hak mereka untuk tinggal, Kickl mengatakan pada konferensi pers di Wina.
Ankara dengan cepat mengecam langkah itu. “Keputusan Austria menutup tujuh masjid dan mendeportasi imam dengan alasan lemah adalah refleksi dari gelombang populis anti-Islam, rasis, dan diskriminatif di negara ini,” kata juru bicara kepresidenan, Ibrahim Kalin, di Twitter.
Namun, para pemimpin sayap kanan Eropa menyambut pengumuman itu.
Marine Le Pen, pemimpin Front Nasional Prancis, mengatakan di Twitter: “Austria mengambil barang di tangan dan menunjukkan bahwa ‘ketika Anda ingin, Anda bisa!'”
Matteo Salvini, kepala Liga Italia dan menteri dalam negeri dalam pemerintahan baru, juga men-tweet persetujuannya dengan mengatakan: “Mereka yang mengeksploitasi keyakinan mereka untuk membahayakan keamanan suatu negara harus diusir!”
Klaim yang Menggelikan
Tujuh masjid juga akan ditutup setelah penyelidikan oleh otoritas urusan agama Austria yang dipicu oleh gambar yang muncul pada bulan April, ketika anak-anak di sebuah masjid yang didukung Turki, melakukan teatrikal mengenai pertempuran Perang Dunia I Gallipoli.
Foto-foto anak-anak, yang diterbitkan oleh mingguan Falter, menunjukkan anak-anak muda dalam seragam kamuflase berbaris, memberi hormat, melambai-lambaikan bendera Turki dan kemudian seolah-olah tewas.
“Jenazah” mereka kemudian dibariskan dan dibungkus dengan bendera.
Masjid yang dimaksud itu dijalankan oleh ATIB. ATIB sendiri mengutuk foto-foto pada saat itu, menyebut acara itu “sangat disesalkan” dan mengatakan itu “dibatalkan sebelum aksi tersebut berakhir”.
Diminta untuk menjawab pertanyaan tentang pendanaan asing para imam di stasiun radio O1 Austria, juru bicara ATIB, Yasar Ersoy, menegaskan bahwa para imamnya dibayar oleh pemerintah Turki, tetapi ia mengatakan bahwa ini dirasa perlu karena kurangnya pelatihan dan pendanaan bagi para imam di Austria.
Salah satu masjid yang ditargetkan untuk ditutup adalah di distrik Favoriten di Wina.
Pemerintah mengatakan bahwa masjid tersebut telah beroperasi secara ilegal dan itu berada di bawah pengaruh gerakan politik Turki sayap kanan.
Para jamaah yang tiba untuk salat Jumat disambut dengan tanda di pintu yang bertulisan “tertutup” dalam bahasa Turki dan Jerman.
Kursant, 26 tahun, mengatakan kepada AFP: “Saya telah datang ke masjid ini sejak saya masih kecil. Saya belum pernah mendengar siapa pun di masjid mengungkapkan pendapat bersikap ekstrem. Itu menggelikan.”
Dia juga membantah masjid memiliki hubungan dengan partai politik Turki.
Enam masjid lainnya juga telah ditutup, tiga di Wina, dua di Upper Austria dan satu di Carinthia.
Hubungan Menegang
Bahkan partai-partai oposisi Austria secara luas mendukung pengumuman hari Jum’at, dengan Demokrat Sosial kiri-tengah menyebutnya “hal yang masuk akal pertama yang dilakukan pemerintah ini”.
Namun, Partai Hijau menunjukkan itu bisa berfungsi sebagai kemenangan propaganda bagi pemerintah Turki.
Hubungan Turki dengan Austria telah lama tegang, terakhir ketika Kanselir Sebastian Kurz mengatakan dia akan melarang politisi Turki berkampanye di Austria untuk pemilihan mendatang.
Sekitar 360.000 orang asal Turki tinggal di Austria, termasuk 117.000 warga Turki.
Pekan lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerang Kurz dengan mengatakan: “Kanselir yang tidak bermoral ini punya masalah dengan kami”.
Baik Kurz, dari Partai Rakyat kanan-tengah (OeVP) dan FPOe membuat imigrasi dan integrasi menjadi tema utama dalam kampanye pemilihan mereka tahun lalu.
Topik itu telah mendorong agenda politik oleh krisis migran tahun 2015-2016, yang melihat lebih dari 150.000 orang mencari suaka di negara itu yang berpenduduk 8,7 juta jiwa.
Dalam konferensi pers hari Ju’mat Kurz sangat ingin menekankan bahwa tindakan itu diambil berdasarkan undang-undang untuk mengatur asosiasi Islam yang ia bawa sebagai menteri di pemerintahan sebelumnya dan sejauh ini – menurut pendapatnya – belum cukup sering digunakan. Demikian dilaporkan AFP.
Moedja Adzim