Peneliti Amerika Serikat mengembangkan tes darah untuk mengetahui ada tidaknya kemungkinan seseorang terkena kanker limfoma dan melanoma. Tes darah ini menggunakan spektroskopi.
Wartapilihan.com, Jakarta –Kanker limfoma atau kanker kelenjar getah bening dan kanker kulit (melanoma) termasuk dua jenis penyakit kanker yang banyak diderita. Sayangnya, sejauh ini keduanya tak bisa dikenali sejak awal. Rata-rata mereka tahu setelah penyakitnya parah atau sudah menyebar ke organ-organ lain.
Tapi, tidak lama lagi, limfoma dan melanoma sudah bisa diketahui lebih awal. Melalui pemeriksaan darah, seseorang bisa mengetahui, apakah mereka mengembangkan salah satu atau dua jenis kanker tadi.
Adalah Dr. Yuan Liu, peneliti pada Departemen Biologi, Georgia State University, Amerika Serikat, yang mengembangkan alat tadi dan membuktikan kegunaan alat tersebut. Yang mengejutkan, seperti dilansir situs sciencedaily.com (12/12/2017), mereka mengembangkan tes darah dengan menggunakan spektroskopi.
Periset mencobanya pada tikus. Mereka menggunakan spektroskopi infra merah untuk menganalisis serum darah yang berasal dari tikus percobaan. Binatang mengerat tadi dibagi dalam tiga kelompok: tikus yang direkayasa menderita limfoma non-Hodgkin dan melanoma subkutan, tikus yang mengandung salah satu jenis kanker tadi, dan tikus sehat sebagai kontrol. Wilayah spektral mid-inframerah dari spektrum elektromagnetik sering digunakan untuk mengkarakterisasi sampel biologis pada tingkat molekuler.
Di situ tetesan serum darah yang diekstraksi dari tikus kanker dan tikus kontrol ditempatkan pada kristal ATR dari instrumen FTIR. Insiden sinar inframerah diserap dan dipantulkan oleh serum, menciptakan gelombang yang direkam dan digunakan untuk menghasilkan kurva absorbansi dengan puncak yang mengidentifikasi adanya biomarker tertentu dalam sampel.
Para periset menggunakan Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) dalam mode sampling Attenuated Total Reflection (ATR) lantaran memberikan hasil berkualitas tinggi dengan kemampuan reproduksibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan spektroskopi getaran lainnya.
Spektroskopi digunakan lantaran rekan Liu, Prof. Dr. Unil Perera, ahli fisika di Georgia State, pernah menemukan bahwa tes darah cepat dan sederhana untuk kolitis ulserativa dengan menggunakan spektroskopi ATR-FTIR dapat memberikan alternatif yang lebih murah dan tidak invasif untuk skrining dibandingkan dengan kolonoskopi.
Juga membandingkan kurva absorbansi dari kontrol dan tikus tumor dan perubahan biokimia yang dinilai yang disebabkan oleh limfoma non Hodgkin dan melanoma subkutan pada sampel serum.
Studi ini menemukan perbedaan yang luar biasa antara spektrum ATR-FTIR sampel serum dari tikus dengan tumor dengan melanoma dan limfoma non-Hodgkin dan tikus kontrol yang sehat. Di situ ditunjukkan, spektroskopi infra merah dapat mendeteksi perubahan biokimia yang disebabkan oleh limfoma non-Hodgkin, kondisi sistem kekebalan tubuh yang solid, dan melanoma subkutan (salah satu jenis kanker kulit yang mematikan).
Dari situ, Liu dan koleganya menduga bahwa tes darah dengan spektroskopi memiliki potensi diagnostik sebagai teknik penyaringan kedua jenis kanker ini. Temuan tersebut dipublikasikan di jurnal Scientific Reports terbaru.
Perera mengatakan bahwa studi tersebut menunjukkan bahwa spektroskopi infra merah dapat mengidentifikasi kanker. “Saat ini, saat Anda pergi ke dokter, mereka melakukan tes darah untuk gula dan beberapa hal lainnya, tapi tidak untuk penyakit serius seperti kanker dan kolitis,” katanya.
Ia berharap penyakit serius ini dapat disaring dengan cepat. “Dokter utama Anda dapat mencatat jumlah kadar Anda dan memeriksanya setiap kali Anda kembali. Kemudian, jika ada beberapa indikasi kanker atau kolitis, mereka bisa melakukan biopsi, kolonoskopi, dan lain-lain,” imbuhnya.
Tes darah bila sudah terbukti secara klinis, tentu saja menggembirakan. Dokter bisa melakukan tes darah kepada pasien sewaktu masih kecil. Mereka akan tahu dan segera melakukan pencegahannya sedini mungkin, agar penyakit kankernya tidak menyebar. Dengan demikian harapan hidupnya menjadi lebih panjang.
Angka kejadian melanoma kulit telah meningkat di banyak daerah dan populasi selama dekade terakhir, khususnya 3 sampai 7 persen per tahun di antara populasi berkulit putih. Juga, limfoma non-Hodgkin menyumbang 4,3 persen kasus kanker baru di Amerika Serikat. Di Indonesia, kanker limfoma non-Hodgkin dan melanoma menempati 10 besar kanker yang paling banyak diderita.
Sementara itu, pemeriksaan dengan biopsi dan patologi anatomi memakan waktu, invasif dan mahal, menghasilkan tingkat kepatuhan yang kecil bagi penderitanya.
“Temuan ini berlaku untuk manusia karena tikus dan manusia memiliki beberapa biomarker dan bahan kimia yang sama,” kata Perera. Dalam studi sebelumnya tentang kolitis, Perera dan rekan-rekannya mengidentifikasi bahan kimia spesifik yang berubah pada manusia dan tikus saat kolitis hadir.
Helmy K.