Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Pasca hari raya, gelombang tuntutan ganti presiden makin besar. Tentu gantinya di tahun 2019. Saat pilpres. Angka tahun mesti disebut. Jangan sampai tidak dicantumkan. Bisa disalahpahami. Ada celah untuk dituduh makar. Gawat! Hati-hati!
Wartapilihan.com, Jakarta –Ingin tetap atau ganti presiden, itu hak konstitusional. Demokrasi menjaminnya. Teriak satu periode, dua periode atau lanjutkan, itu semua masuk katagori aspirasi. Sebuah narasi politik yang demokratis. Dijamin undang-undang. KPU gak akan buat surat peringatan. Bawaslu tidak akan menegur. Baru langgar konstitusi kalau menghalangi atau melarang orang bicara politik. Ngomong politik kok ora oleh? (Ngomong politik kok gak boleh?). Gimana toh kang?
Satu orang bilang 2019 ganti presiden. Itu boleh dalam konstitusi kita. Lalu, temennya ikut ngomong begitu. Dan temennya itu banyak jumlahnya. Yang banyak itu ajak-ajak yang lain. Makin lama makin banyak. Boleh gak? Boleh. Ini negara demokrasi. Yang gak boleh itu kirim bom molotov ke rumah Mardani. Yang gak boleh itu bakar mobil Neno Warisman. Emang dibakar? Emang mesin mati, mobil bisa kebakar? Kok jadi nanya.
Setelah beberapa waktu mobil Neno Warisman terbakar, semalam wanita tengah baya ini dihadang di Bandara Batam. Alasannya? Karena mau deklarasi 2019GantiPresiden.
Setelah sukses di Jakarta, Solo, lalu Medan, deklarasi ganti presiden merambah ke berbagai wilayah di Indonesia. Hari ini, rencananya di Batam. Tapi dihadang puluhan hingga ratusan orang. Ada yang teriak. Ada yang nendang tong sampah. Sudah masuk katagori intimidasi. Siapa mereka? Jangan buru-buru sebutkan identitasnya. Bisa kena delik aduan.
Jika di Car Free Day Senayan Jakarta ada operasi ganti kaos putih, di Medan ada tandingan deklarasi, maka di Batam ada penghadangan. Kok gak kreatif ya? Kreatif dikit ngapa. Kata orang Betawi.
Teriakan NKRI muncul lagi. Geli juga mendengarnya. Kayak yang punya negara saja. Seolah Neno Warisman anti NKRI’. Kalau Neno ditanya, apakah ia anti NKRI’? Pasti ia akan jawab, justru ganti presiden itu tujuannya untuk selamatkan NKRI. Nah! Lalu publik bertanya: mana yang NKRI ORI, mana yang KW? Makin berabe. Yang jelas, yang dibayar itu yang KW. Emang ada yang dibayar? Kalau cuma nasi bungkus, itu mah bukan dibayar. Tapi, difasilitasi. Hehe
Dari kacamata politik, ini merugikan penguasa dan menguntungkan pihak oposisi. Semua bentuk gangguan terhadap gerakan ganti presiden akan diasosiasikan sebagai operasi kekuasaan. Terlepas ada hubungannya atau tidak, opini akan terus terbentuk. Seolah, penguasa tidak hanya membiarkan tindakan anarkisme, tapi mengoperasikannya. Secara politik, ini defisit.
Fakta survei bahwa rakyat yang ingin ganti presiden naik angkanya adalah bukti. April, yang ingin ganti presiden 46,4% dan yang ingin tetap Jokowi presiden 45,2%. Tapi bulan Juli, Median merilis angka rakyat yang ingin ganti Presiden naik jadi 47,90%, dan yang ingin Jokowi tetap presiden turun jadi 44,10%.
Jika operasi ganti kaos putih model di CFDJakarta, tandingan deklarasi seperti di Medan dan penghadangan seperti di bandara Batam terus berulang, maka akan besar pengaruhnya mendegradasi elektabilitas Jokowi.
Cara efektif bagi Jokowi agar elektabilitasnya tidak terus turun, mesti melakukan langkah-langkah sedikit agak cerdas. pertama, cegah mereka yang melakukan tindakan anti demokrasi itu. Caranya? Negara punya intelijen. Gunakan untuk mengantisipasi gerakan anti demokrasi. Bukan operasi terhadap lawan politik.
Kedua, tindak tegas bagi mereka yang melakukan tindakan pelanggaran hukum. Beri rasa keadilan, termasuk kepada mereka yang berbeda politik. Ini akan jadi pencitraan yang lebih efektif. Karena menyentuh pada hal-hal yang substansial. Dijamin lebih efektif dari pakai kaos oblong dan sandal jepit, main panco atau naik motor Cooper.
Ketiga, lakukan komunikasi politik yang elegan dengan pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Jika dengan TGB, Ali Muchtar Ngabalin dan Kapitra, istana bisa berkomunikasi dengan sangat efisien dan efektif, maka hal yang sama bisa dilakukan terhadap Mardani Ali Sera dan Neno Warisman sebagai penggerak 2019GantiPresiden.
Kelemahan istana selama ini terutama ada pada komunikasi politik. Jika ini tak diakhiri, karir istana terancam di 2019. Tidak hanya berdampak pada penghuni istana. Itu terlalu personal. Tapi, dampak yang lebih besar justru pada rusaknya demokrasi kita. Lebih bahaya jika bentuk pengrusakan model ini dijadikan referensi generasi berikutnya. Maka, demokrasi kita akan semakin lumpuh..