Judul Buku: Dikendangi Wong Edan, Aja Njoged!
Penulis: Atmo Tan Sidik
Penerbit: Pustaka Senja, Brebes, Cetakan III, April 2018, 180 + xvi halaman
Globlaisasi terasa kering dan gersang. Munculnya kearifan lokal memberi siraman rohani dan menyuntikkan insulin keberdayaan. Petuah-petuah yang tidak menggurui, mengalir secara alami, memberi solusi lewat bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes-an yang egaliter.
Wartapilihan.com, Jakarta –Birokrat yang budayawan, Atmo Tan Sidik, menghimpun “potret Sosial” yang dibidiknya dengan meluncurkan buku “Dikendangi Wong Edan, Aja Njoged!”. Terdiri dari 38 judul tulisan yang berisi nasihat-nasihat para sesepuh, kisah-kisah yang diambil dari kearifan lokal, dalam bentuk narasi mendekati cerpen. Tokoh yang ditampilkan adalah wong cilik dengan aneka persoalan hidupnya. Dari masalah pendidikan, ekonomi, budaya, dan sosial-politik. Buku ini dikemas dengan bahasa Jawa Tegal-Brebes yang egaliter, nuansa kekeluargaannya kental, dan guyonan khas wong cilik.
”Kearifan lokal paling hidup ketika dinyatakan dalam bahasa aslinya,” begitu sastrawan penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, memberi endorsement atas terbitnya buku ini. ”Atmo Tan Sidik telah membuktikannya dengan baik sekali.” Lewat buah pikir Kang Atmo ini, menurut Tohari, bahasa lokal Tegalan yang egaliter bisa tetap eksis di tengah arus globalisasi.
Liem Siok Lian, penulis buku “Mengutamakan Rakyat”, memberikan kesaksian, bahwa, buku ini memperkaya khasanah budaya nusantara. “Dari bahasa ngapak yang terkesan egaliter, kasar, tapi adanya tanpa tedeng aling-aling yang mengandung kejujuran dan penuh keakraban.”
Menurut M. Hadi Utomo, penyusun kamus bahasa Tegal, buku ini “Layak sebagai referensi untuk kebijakan pembangunan berbasis kearifan dan karakter lokal.” Hal itu karena Kang Atmo bukan hanya seorang budayawan, tapi ia juga kaya akan pengalaman birokrasi. Karirnya diawali denganh terpilihnya dia sebagai kepala Desa Pakijangan (1989-1997), Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Lalu berlanjut sampai ke kantor Pemerintah Kabupaten Brebes. Di Kabupaten, sebelum menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional Kabupaten Brebes, Kang Atmo adalah Kepala Bagian Humas dan Protokol Kabupaten Brebes. Ia juga didapuk menjadi Ketua Lesbumi PC-NU Kota Tegal.
Pengalaman birokrasi dan pergaulannya yang luwas dan luwes membuat Kang Atmo banyak teman dan temuan. Ia mampu mengurai persoalan yang ruwet dan rumit menjadi sederhana dan dicarikan solusinya. Kang Atmo sendiri adalah tipe pemimpin yang solutif, tidak banyak ngumbar janji, tapi aktif memberdayakan lingkungannya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dan berdaya-guna.
Meskipun begitu, lewat esai-esai yang ia tulis itu, daya kritisnya tetap kentara. Tapi, tidak seperti kebanyakan kaum kritikus jalanan, Kang Atmo mengkritisi untuk merajut kebersamaan. Tak ada caci-maki. Yang ada, boleh jadi, membuat para pembaca tersenyum, bahkan mungkin, terpingkel-pingkel dibuatnya.
Pasca Pilkada serentak 27 Juni 2018 lalu, banyak hal yang terjadi di lapangan. Ada yang bersorak-sorai karena jagoannya menang. Ada yang kelewat sewot karena unggulannya kalah. Coba tengok, dalam episode “Dikendangi Wong Edan, Aja Njoged!” Ada pertuah seperti ini, ” Wong pemilihan Bupati kuwe tak pikir kaya pertandingan bal-balan. Akale tah nang surat undangane tulisane pertandingan persahabatan. Prakteke, neng lapangan ana sing pada garesan, ana sing keprok tangan, ana sing wadan-wadanan. Lah, kuwe jare Bi Kartewi malah lumrah, kembang-kembange wong urip nang alam padang. Cuma saiki sapa sing dadi wong tuwo, sing sembur uwur, karo pituture esih dirungokno. Ora usah podo gawe oreg, usreg wong mena-mene esih sedulure dewek.”
Terjemahan bebasnya, ”Pemilihan bupati itu menurutku seperti pertandingan bola. Di surat undangan ditulisnya sebagai pertandingan persahabatan. Praktiknya di lapangan ada yang saling adu kaki, saling pukul, ada yang saling mengumpat. Lah, kata Bibi Kartewi itu wajar, bunga-bunga kehidupan di dunia. Masalahnya sekarang siapa yang mau jadi sesepuh yang mau mendoakan, omongannya masih didengar. Tidak usah pada ribut, saling sikut karena masih saudara sendiri.”
“Dikendangi wong edan, Aja Njoged!, dikendangi wong sing tau waras ya aja katut,” begitu koementar Habib Luthfi bin Yahya, pengarang lagu Shalawat “Padang Bulan”.”Iki buku apik, macane kudu nganggo nurani (Ini buku bagus, membacanya harus pakai nurani{lubuk hati yang paling dalam}),” begitu pesan Habib Luthfi.
Kang Atmo berhasil mengupas dan mengurai persoalan keseharian yang rumit menjadi ringan dan cair dengan meminjam petuah-petuah para leluhur, para kiai kampung, dan bahkan wong cilik yang tak menyandang gelar apa pun: tidak kaya, tidak sarjana, tapi punya kearifan yang dahsyat. Ia berhasil menginspirasi Indonesia untuk menggali dan meng-elaborasi kearifan lokal dalam menghadapi globalisasi, dan, dalam waktu yang bersamaan, berpartisipasi membangun negeri.
Herry M. Joesoef