Dari Hafizh al-Qur’an Menjadi Hafizh al-Islam

by
Sumber: Istimewa

Siapa yang tidak bahagia dan bangga memiliki anak penghapal al-Qur’an (Hafizh al-Qur’an)? Apalagi jika mereka mampu menghapal al-Qur’an di usia belia. Kadang air mata tak terbendung melihat anak-anak melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan fashih dan indah. Rasa haru pun bercampur menjadi satu dengan rasa bahagia. Apalagi jika mengingat janji Allah SWT dan Rasul-Nya kepada para penghapal al-Qur’an dan keluarganya.

Wartapilihan.com, Jakarta* –Belakangan, motivasi untuk mencetak para penghapal al-Qur’an semakin meningkat. Lembaga tahfizh semakin menjamur, baik yang berbentuk pondok tahfizh, rumah tahfizh, saung tahfizh dan sebagainya. Berbagai program hapalan al-Qur’an ditawarkan. Ada yang setahun, enam bulan, satu bulan, daurah singkat beberapa hari bahkan lomba menghapal al-Qur’an yang disiarkan di televisi. Semuanya memiliki semangat yang sama untuk melahirkan generasi muda penghapal al-Qur’an. Semangat mulia yang harus didukung oleh umat Islam.

Berbicara menghapal al-Qur’an di usia belia mengingatkan kita kepada sosok ulama mulia. Dia adalah Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i atau yang akrab dikenal dengan Imam Syafi’i. Sejarah mencatat kecerdasan sang Imam yang mampu menghapal al-Qur’an di usia tujuh tahun. Sungguh pantaslah kalau beliau menjadi teladan anak-anak dalam menghapal al-Qur’an.

Namun membahas sosok Imam Syafi’i hendaknya jangan berhenti pada prestasinya menghapal al-Qur’an di usia muda. Karena setelah itu beliau tidak berhenti mendalami ilmu-ilmu agama. Tapi semakin semangat memburunya. Hasilnya, di usia sepuluh tahun sudah menguasai ribuan Hadits dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik, bahasa Arab, syair-syair Arab, fiqh dan sebagainya. Wajar jika di usia lima belas tahun, Imam Syafi’i sudah mendapat izin berfatwa dari Sang Guru, Imam Muslim Ibn Khalid al-Zanji (bukan Imam Muslim pengarang Shahih Muslim).

Pasca dipercaya menjadi mufti muda, Imam Syafi’i tidak pensiun menuntut ilmu. Beliau terus mengembara ke pusat-pusat keilmuan seperti Madinah, Baghdad, Syam, dan sebagainya. Sampai akhirnya beliau mampu berijtihad dan membangun madzhab sendiri. Melalui karya-karya besarnya seperti al-Umm, al-Risalah dan murid-muridnya yang setia, madzhab Syafi’i berkembang dan tersebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.

Tentang pentingnya menguasai banyak ilmu Imam Syafi’i pernah berkata “Barangsiapa mempelajari al-Qur’an maka akan mulia kehormatannya. Barangsiapa mendalami ilmu fikih maka akan agung kedudukannya, barangsiapa mempelajari bahasa (arab) maka akan lembut tabiatnya. Barangsiapa mempelajari ilmu berhitung maka akan tajam nalarnya dan banyak idenya. Barangsiapa banyak menulis hadits maka akan kuat hujjahnya. Barangsiapa yang tidak menjaga dirinya, maka tidak akan bermanfaat ilmunya”

Kata-kata ini menunjukkan sosok Imam Syafi’i sebagai ulama multidisiplin. Bukan hanya satu bidang keilmuan, tapi memiliki otoritas di beberapa bidang keilmuan. Seperti inilah sosok ulama yang ideal. Bukan seorang spesialis sempit yang hanya memahami satu bidang keilmuan. Namun yang paling penting untuk digarisbawahi adalah penutup statement Imam Syafi’i itu. Ilmu harus membuat seseorang menjadi seorang yang baik, bertakwa dan beradab. Jika tidak, semua ilmu yang dikuasinya akan sia-sia dan tidak ada nilainya.

Di era modern ini, umat Islam membutuhkan kehadiran sosok ulama seperti Imam Syafi’i. Ulama hebat yang mampu menjawab berbagai tantangan pemikiran, baik secara lisan maupun tulisan. Jika dulu Imam Syafi’i berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah, Syiah, dan firqoh sesat lainnya, maka saat ini umat Islam pun menghadapi tantangan pemikiran yang tidak kalah dahsyatnya. Saat ini muncul orang yang berani menafsirkan al-Qur’an sesuai hawa nafsunya, menggugat syariat, bahkan mempromosikan pemikiran yang menggoyahkan keyakinan umat Islam.

Untuk menjawab tantangan pemikiran yang datang saat ini, tentu tidak cukup mengandalkan hapalan  al-Qur’an saja. Harus ada sebagian orang yang mengamalkan QS al-Taubah:122, tafaqquh fi al-diin, mendalami ilmu-ilmu agama. Ini bukan berarti umat Islam tidak butuh dokter yang baik, saintis yang shaleh, ahli ekonomi yang hebat, dan ilmuwan di bidang lainnya. Masalahnya, saat ini, umat Islam menghadapi krisis ulama. Ulama yang hebat wafat, dan sulit untuk menemukan penggantinya. Persis seperti kata Imam al-Ghazali “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.”

Oleh karena itu, harus lahir generasi muda Islam yang memahami Tafsir al-Qur’an dan hermeneutical. Harus muncul pemuda yang ahli di bidang ilmu kalam, logika dan filsafat. Juga ada harus tampil ulama muda yang menguasai ilmu perbandingan agama, sejarah peradaban, dan ilmu-ilmu lainnya untuk menjaga Islam dari serangan pemikiran yang merusak.

Caranya, tentu bukan menunggu ulama itu turun dari langit. Ulama yang hebat hanya akan lahir dari proses pendidikan yang baik, melalui dukungan orangtuanya dan bimbingan guru yang beradab. Inilah salah satu PR besar umat Islam saat ini. Mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghapal al-Qur’an, mempelajari bahasa Arab yang merupakan ilmu alat, lalu mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan sebagai ulama. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam tidak hanya melahirkan penghapal al-Qur’an (Hafizh al-Qur’an) tetapi juga bisa melahirkan penjaga dan pembela Islam (Hafizh al-Islam). In syaaAllah.

Pengasuh Ponpes at-Taqwa (Shoul Lin al-Islami), Depok

Muhammad Ardiansyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *