Oleh : Fahri Hamzah
Sambil mengikuti segenap berita dan aktivitas pagi di hari libur, saya ingin menulis ringan tentang apa yg terjadi di daerah bencana di NTB khususnya. Anggaplah tulisan ini wawasan. Saya tulis sebagai laporan ringan dari daerah bencana NTB.
Wartapilihan.com, Jakarta —Ada yang menganggap tulisan saya tak etis sebab saya sebagai pejabat publik dianggap tidak boleh menulis di media sosial. Mereka ingin saya hanya bicara di rapat DPR RI padahal justru pejabat publik harus transparan. Kata mereka ini nyinyir, bukan transparan.
Pasti ada yang tidak suka kejujuran, negara memang tidak suka transparan dan para pendukungnya menyerang sikap saya yang terbuka. Padahal apa yang mau kita sembunyikan? Tulisan ini tentu tulisan pribadi. Tapi publik memang memerlukan. Apa salahnya?
Bahan-bahan ini pasti akan dibaca masyarakat dan juga pemerintah. Bacalah dan bikin keterangan yang benar. Bantah saya kalau salah dan saya siap memperbaiki data yang salah. Selanjutnya ini akan jadi bahan dalam rapat dan pertemuan resmi negara. Itu telah saya lakukan.
Apapun yang saya sampaikan melalui jalur pribadi saya niatkan untuk memperbaiki kinerja pelayanan kepada rakyat. Apalagi bencana alam adalah peristiwa yabg sering menimpa rakyat dan bangsa Indonesia. Kita wajib menperbaiki kapasitas kita.
Apalagi setelah terjadi gempa dan tsunami di Palu, Sigi, Donggala dan sekitarnya; semakin penting kita berkaca. Simpati dan kerja nyata telah kita tunjukkan, bahkan DPR RI telah membentuk Timwas Bencana yang akan segera bekerja. Saya juga akan segera melihat ke sana.
Namun, rekonstruksi dan rehabilitasi NTB jangan ditinggalkan. Dalam rangkaian proses itu, Sabtu (6/10) kemarin, saya kembali mengunjungi Lombok Utara, bertemu pak Bupati dgn jajaran perangkat daerahnya, juga beberapa kepala desa dan segenap tokoh masyarakat.
Sehabis pertemuan dengan Pemda KLU, kami langsung mengunjungi Desa Kerujuk, bertemu dengan warga, berbincang dengan mereka, mendengar harapan dan mimpi mereka. Kampung mereka hancur tapi mereka ingin punya desa wisata.
Saya juga bertemu dengan Bupati Lombok Timur, berbincang banyak dengan beliau terkait dengan progres penanganan gempa selama ini. Kebetulan beliau baru dilantik. Tapi sejak menanti dilantik beliau telah mulai bekerja. Keterangan hampir sama dengan Bupati KLU.
Kesan yang saya dapatkan dari pertemuan, dialog dan kunjungan tersebut, membenarkan headline media lokal di NTB terkait dengan lambannya pemulihan gempa di Lombok-Sumbawa. Komitmen pemerintah pusat dalam penanganan dampak gempa dipertanyakan.
Judul-judul HL media Lokal: Misalnya 14/9/2018; HL Lombok Post “Janji Presiden Tak Semanis Realisasinya”; 29/9, “Korban Gempa Terpaksa Ngutang”; dan pada 5/10, “Janji Pusat Nyaris Palsu”. Media pada 23/9, suara NTB; “Gubernur pertanyakan kejelasan dana bantuan bencana ke BNPB”
Dari pendataan per 2 Oktober; jumlah rumah rusak dengan kategori berat, sedang dan ringan diketahui sebanyak 204.449 unit rumah rusak; adapun yang sudah diverifikasi sebanyak 177.280 unit, dengan 176.263 diantaranya sudah mendapatkan SK Kepala Daerah dan 1.017 belum.
Ceritanya, bagi korban (masyarakat) yang rumahnya rusak berat, sedang atau ringan; dijanjikan oleh Presiden untuk mendapatkan bantuan stimulan, sejak awal Agustus. Masyarakat akan menerima bantuan tersebut melalui rekening bank yang mereka miliki.
Per 5 Oktober 2018, di 5 kab/kota terdapat 63.166 rekening yang sudah terbit; dari jumlah itu, 6.540 rekening diantaranya telah terisi. Jika setiap rekening terisi 50 juta, maka total bantuan stimulan seharusnya diperkirakan sebesar 327 Milyar.
Dengan demikian, dari jumlah rumah rusak yang lebih 200 ribu, 3,2% saja rumah diantaranya yang memiliki kejelasan nasib diisi rekeningnya dengan bantuan stimulan. Itupun nasibnya masih digantung oleh prosedur yang rumit. Belum ada 1 rekening pun bisa dicairkan.
Dalam temuan lapangan, berdasarkan keterangan Pemda, misalnya di Lombok Utara, dari 1.478 rekening yang sudah terisi, sejauh ini belum ada 1 rekening pun yang terimplementasi. Prosesnya rumit sekali. Sekarang bahkan lahir ketentuan baru yang lebih rumit.
Dalam kerumitan itu, tak jarang Pemda menjadi sasaran ketidakpuasan warga. Seakan-akan masalah implementasi bantuan ini mereka yang ciptakan akibat ketidakmampuan mereka. Padahal beban masalah sebenarnya ada di pusat. Kata mereka, “Siapa yang janji siapa yang ditagih”.
Saya sudah sering ingatkan, yang diperlukan adalah birokrasi bencana yang lugas dan cekatan. Namun justru yang dipraktikkan sekarang adalah birokrasi yang lebih rumit dari birokrasi normal. Menerapkan standar birokrasi normal, di daerah bencana; itu adalah persoalan.
Jadi, kalo kita cermati masalahnya. Pertama, dari 6.540 bantuan yang sudah ditransfer ke rekening warga tapi tidak bisa dicairkan. Kedua, terdapat 56.626 buku rekening yang sudah terbit dan belum terisi Tapi Pemda yang ditagih bahkan dikira menyunat.
Ketiga, terdapat 22.357 data rekening yang sudah masuk namun belum terbit. Keempat, dari 204.449 rumah yang dilaporkan rusak, sekitar 118.926 diantaranya belum memiliki kejelasan nasib, apakah akan dibantu atau tidak. Sementara pemerintah pusat mulai nampak gamang.
Setelah 2 bulan lebih berlalu, sejak gempa pertama di Sambalia, Lombok Timur, pemulihan bantuan gempa masih belum menemukan kejelasan dari sisi alokasi anggaran, kepastiannya dan regulasi yang menaunginya; tugas dan pekerjaan kita masih sangat banyak.
Saya lanjutkan, Lombok adalah pelajaran, agar menjadi kesadaran yg menjelma menjadi sistem mitigasi, pagi ini saya sedikit mereview juga ingatan kita tentang rentetan pristiwa gempa yang terjadi di Lombok dan bagaimana negara bekerja. Sampai titik ini.
Jika dilihat dalam skala intensitas dan persebaran, maka gempa NTB adalah yang terdahsyat karena datang bertubi-tubi dalam waktu 1 bulan sejak 29 Juli sampai akhir Agustus dengan SR dari 6 hingga 7 melingkupi 7 kab/kota di NTB.
30 Juli, hari kedua pasca gempa pertama 5,8 SR, Presiden Jokowi yang sedang berada di Sumbawa NTB, langsung bertolak menuju Lombok, tindakan yang patut diapresiasi karena mata seorang Presiden adalah pandangan negara dengan segala perangkat yang dimiliki.
Hari minggu menjadi begitu horor bagi masyarakat Lombok, karena tepat 7 hari setelah gempa hari Minggu pertama, Lombok kembali diguncang dengan 7 SR, 5 agustus menjadi tanggal duka-cita bagi warga Lombok Utara.
Di hari duka itu, Mengkopolhukam sedang memimpin pertemuan internasional untuk penanganan terorisme di Lombok, yang artinya pemerintah pusat merasakan secara utuh hiruk-pikuk dan jerit tangis warga.
Gempa besar 5 Agustus ternyata bukanlah klimak, Lombok dan Sumbawa terus digoyang hingga hari-hari ini, dengan sekala Richter yang sudah mulai menurun sejak bulan September, namun hari Minggu selalu menjadi trauma bagi masyarakat.
11 Agustus Menkeu mengumumkan alokasi Rp. 4 T telah disiapkan untuk penanganan gempa Lombok, angka yang memang disiapkan negara atas persetujuan DPR sebagai dana “on call” bencana dalam satu tahun anggaran. Pemprov pun merelakan tuntutan status bencana nasional.
Saya mulai berpikir, tak mungkin dana on call bencana dalam satu tahun anggaran 2018 digunakan semua untuk Lombok, jika terjadi bencana dalam tahun ini di wilayah lain, negara tentu akan kelabakan, maka janji surga angka-angka mulai nampak, saya kritisi.
23 Agustus, ditengah solidaritas nasional sedang bersemangat membantu Lombok, Menkeu melapor ke Wapres dan diumumkan ke publik bahwa 1,9 T telah dikucurkan ke Lombok oleh pemerintah pusat, saya mulai angkat bicara bahwa itu tak benar.
Istana pun termakan laporan yang menyebut hoax jika pemerintah baru mengucurkan 38 M untuk Lombok, dengan tegas istana menyebut sudah mengucurkan 1,9 T untuk Lombok, ucapan yang bisa mematahkan semangat solidaritas masyarakat karena seakan Lombok sudah tertangani dengan baik dengan anggaran yang besar.
Saya yang membidangi kesra DPR segera mengundang pejabat terkait di Kemenkeu dan kementerian lain melalui FGD (4/9), pihak Ditjen Anggaran Kemenkeu menyatakan salah input, karena 1,9 T termasuk dana rutin PKH dan Rastra Kemensos, bukan murni bantuan bencana.
Terlihat betapa rapuhnya sistem olah data pemerintah, 1.9 T telah dikucurkan ke NTB menghiasi berita nasional, tak pernah ada klarifikasi bahwa itu tidak benar, tindakan yang sangat merugikan warga NTB karena menganggap NTB sudah tertangani dengan anggaran yang besar, padahal nihil.
Di sisi yang lain, NTB kembali mendapatkan harapan baru dari Presiden, bahwa Presiden akan mengeluarkan inpres khusus terkait penanganan gempa, politik anggaran dan kebijakan pemerintah ini menjadi harapan termasuk bagi saya yang mewakili suara rakyat NTB.
Saya pernah terlibat di lapangan dalam penanganan gempa dan tsunami Aceh, saya membayangkan inpres yang akan dikeluarkan Presiden akan seperti Perppu BRR Aceh dan Kepres tim Nasional Rehabilitasi Jogja, yang sukses organisasinya.
23 Agustus inpres yang ditunggu itu ditandatangani Presiden, kekecewaan memuncak didalam dada, karena inpres itu hanya mengelola dana rutin yang ada diprogram Kementerian dan lembaga yang sudah ditetapkan dalam APBN, tak ada dana khusus dan juga tak ada struktur yang bertanggung jawab.
Kritik keras terhadap Inpres ini saya uraikan dengan sistematis, saya memandang inpres tsb bukan hanya tak akan berlaku efektif, tapi juga akan membuat konflik sektoral antar K/L, dibelakang hari terbukti kementerian yang merasa lebih banyak bekerja dilapangan mulai mundur. https://t.co/8N58KuhqIV
Catatan keras utama yang saya sampaikan terkait inpres selain tak dimuatnya pos anggaran khusus dan struktur penanggung jawab adalah karena inpres tidak menjadi dasar diterapkannya birokrasi darurat bencana untuk memudahkan pejabat berwenang dalam mengambil tindakan cepat dilapangan.
Melihat hal tersebut, Kami segera mengundang 16 kementerian terkait dalam inpres untuk membahas penanganan gempa NTB, dan nyatalah seperti apa yang saya sebutkan, inpres tersebut hanya membuat Kementerian Lembaga bekerja sendiri² tanpa sistem kordinasi yang jelas.
Padahal pasal 25 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara jelas menyebut bencana sebagai salah satu kondisi darurat yang membuat pejabat pemerintahan berwenang bisa menggunakan diskresi penggunaan anggaran untuk mengurai barier birokratik.
Kepala Daerah tak mungkin melampaui aturan yg ditetapkan pemerintah pusat dalam pencairan dana, sementara masyarakat mulai demonstrasi menuntut realisasi kepada Pemda di saat Jakarta sudah mulai balik belakang meninggalkan NTB secara perlahan.
Seorang Kepala Desa di Lombok Utara menyampaikan pesan melalui saya yang duduk di parlemen karena suara mereka, “Tolong sampaikan ke bapak Presiden, jika kami enggan dibantu, mending tak usah, karena janji pemerintah pusat hanya membuat kami didemo warga”
Sekali lagi, tulisan ini adalah fakta lapangan. Tidak enak didengar. Tapi harus disampaikan. Yang merasa punya data lain silahkan sampaikan. Tidak ada maksud saya kecuali menyuarakan apa yang saya dengar dari kekuatan masyarakat yang tak terdengar.
Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua sebagai negara, bahwa kita perlu duduk serius secara bersama sama untuk membangun sistem penanganan bencana, sistem yang ada masih begitu rapuh dalam memberikan bantuan cepat ke warga, karena negara tidak boleh hanya kata-kata.
Saat awal bencana, para pejabat datang dan ramai konferensi pers dan peliputan. Semua berbicara manis di depan Presiden, “Sebulan selesai pak”, “Dua bulan beres pak!”, dll. Padahal Pejabat tak boleh hanya ucapan dan janji cepat, ingat Sulteng di depan mata sedang menjerit.
Presiden harus meninjau kembali omongannya soal pencairan dana 50 juta dalam rekening warga tapi tertunda dengan alasan administrasi yang rumit. Pemerintah harus percaya kepada masyarakat, mudahkan pencairan agar warga segera bisa memiliki rumah seadanya dengan 50 juta.
Kalau rakyat ditimpa musibah besar, bantulah tampa embel-embel birokrasi dan administrasi. Transfer saja dan uang itu terserah mereka sehingga dengan demikian 80% warga lain yang belum mendapatkan buku agar segera mendapatkannya dan uangnya.
Pada penutupan Asian Games 2/9/2018 jam 20:00 waktu setempat, saat presiden akan menutupnya dari Lombok Utara, dari Selatan sampai Sembalun ber-truk-truk rakyat korban bencana tahap 1 dimobilisasi ke Lombok Utara sejak habis subuh. Ramai sekali padahal tanpa persiapan.
Mereka senang datang karena membayangkan akan bertemu presiden dan akan dapat bantuan uang yang akan mereka gunakan untuk membangun kembali rumah mereka yang sudah hancur berantakan. Mereka memburu di mana ada harapan. Sampai sekarang.
Bayangkan, setelah 2 bulan tak ada satupun rumah mereka yang dapat dibangun kembali. Kebanyakan bantuan datang dari bantuan sumbangan berupa sandang dan pangan. Sementara hidup memerlukan rumah tempat meneruskan kehidupan.
Akhirnya, hari-hari Pemda yang jadi sasaran, sejak kepala dusun sampai bupati dan gubernur. Padahal kekuasaan, keluasan dan uang ada di pemerintah pusat, yang UU-nya mengancam kalau uang bencana diselewengkan mereka bisa dihukum mati. Ini tragedi.
Kekuasaan nampak saling mengunci. Dan rakyatlah yang menjadi korban. Untuk itulah DPR RI telah membentuk Timwas Bencana NTB dan Sulawesi. Semoga ke depan kita bisa membantu percepatan. Demikianlah catatan ini semoga bermanfaat.
Kami ingin pastikan penanganan pemulihan gempa di NTB bisa dipercepat. Dan jangan sampai, kelambanan proses itu juga terulang di Sulawesi Tengah. Mari kita sama-sama awasi. Dukung DPR RI dalam kerja ini.
Semoga keadaan bisa segera teratasi. Aamiin.