Budaya Ilmu vs Bullying di Kalangan Perempuan

by

Post partum depression (PPD) dan baby blues, istilah psikologi yang mencuat akhir-akhir ini, merupakan indikasi masalah parah pendidikan perempuan. Apalagi beberapa kasus PPD ternyata mengenai perempuan lulusan pendidikan tinggi, dan bukanlah mereka yang tak bersekolah. Penyebab PPD memang tidak tunggal, selain faktor internal (kondisi fisik, faktor biologis dan emosional) seorang ibu, ini juga dipicu faktor eksternal. Kurangnya supporting system karena melahirkan dan segala penderitaannya dianggap lumrah terjadi pada semua perempuan yang telah menikah.

Wartapilihan.com, Depok-– Selain “kurang iman” sebagaimana diungkapkan orang-orang, sebenarnya lebih tepat bila dibilang kurangnya qawwam, sebab suami yang benar-benar bertanggungjawab akan mengusahakan istrinya terdidik dan terjaga dengan baik (jasad dan jiwanya), apalagi di masa awal penyesuaiannya menjadi seorang ibu.

Kondisi kurangnya qawwam ini diperparah dengan komentar negatif jika ada ibu melahirkan yang mengeluh atau mengadu. Di satu sisi, ia sendiri tidak mengerti mengapa sedih dan suka menangis, kadang merasa bersalah, berdosa dan tidak berharga, insomnia atau justru kebanyakan tidur. Di sisi lain, di sekitarnya terlalu banyak yang berkomentar padahal ia masih dalam tahap baru belajar. Terutama cara memperlakukan bayi, yang menambah beban dan memunculkan perasaan tidak mampu mengurus anak. Padahal, anak-anak lebih membutuhkan ibu yang bahagia daripada ibu yang berusaha tampil sempurna tapi kehilangan jiwa.

Dahulu di Minang, seorang perempuan yang baru menjadi ibu didampingi keluarga atau kerabat dekat, dilarang melakukan pekerjaan rumah ataupun memikirkan hal yang berat. Jika ibu masih ada dan anak perempuannya di rantau, keluarga akan mengutus ibu setidaknya sampai kondisi anak pulih, bahkan urunan mengongkosi pulang pergi. Sekarang perempuan yang ditemani keluarganya saat menghabiskan masa nifas dicap manja, padahal ini merupakan salah satu kearifan lokal untuk mengantisipasi PPD perempuan. Atau jika tidak, justru sang ibu baru sendiri yang merasa risih ketika dikunjungi kerabat dekat, karena kalimat-kalimat yang ia dengar tidak mengenakkan. Lebih baik tidak diperhatikan sama sekali, daripada menerima tamu yang datang namun hanya menjadikannya bahan gunjingan. Menjadi topik pembicaraan kalangan perempuan yang tidak paham mana yang harus diperlakukan khusus dan mana sikap manja yang memang sudah menjadi kebiasaan sehingga perlu dikritisi.

Selain PPD, committing suicide alias bunuh diri juga diberitakan marak, terutama kasus yang menimpa artis Korea bernama Sulli dan sahabatnya, Go Hara. Bullying via social media saat ini seakan menjadi makanan sehari-hari. Meski tak langsung secara lisan, kata-kata yang dituliskan secara tajam ternyata bisa ‘membunuh dalam jarak jauh’. Serbuan netizen membuat para publik figur kehilangan muka, murka, dan terluka sekalipun mereka tiada pernah berjumpa.

Inilah cerminan budaya hari ini, degradation of knowledge, istilah Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al Attas. Budaya ilmu yang rapuh, memang akan menjerumuskan perempuan ke dalam budaya ghibah. Perbuatan yang menyenangkan bagi sebagian perempuan, meski diibaratkan dalam Q.S Al Hujuraat: 12 sebagai kegiatan memakan bangkai saudari yang telah mati. Fenomena bullying dan bergunjing di kalangan perempuan ini, direpresentasikan salah satunya dalam film The Help yang diangkat dari novel karangan Kathryn Stockett. Film ini mengangkat topik kehidupan perempuan di Amerika tahun 1960an, memperlihatkan kesenjangan hidup antara perempuan kulit putih dan pembantu mereka dari ras kulit hitam. Para ibu kulit putih yang tak peduli pada anak-anak apalagi pekerjaan rumah. Mereka lebih mementingkan aktualisasi diri dengan melakukan aktivitas tak penting, seperti pergi ke klub main kartu dan acara kumpul-kumpul membicarakan perempuan lain. Sementara itu, para pembantu mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, mengurus anak-anak hingga segala hal kecil yang dibutuhkan keluarga mereka.

Selain diskriminasi ras, para perempuan kulit putih di film ini juga membully perempuan sesama ras yang dianggap tak sejalan gaya hidupnya. Misalnya Skeeter, seorang jurnalis idealis yang lebih senang menulis buku daripada mengobrol hal sia-sia dan ingin memperjuangkan hak pembantu kulit hitam. Atau Celia Foote yang dianggap saingan oleh Hilly (ketua klub yang merancang undang-undang untuk semakin mendiskreditkan perempuan kulit hitam). Jika ingin melihat kejadian serupa di Indonesia, silakan kunjungi akun-akun kontra feminis, akan ditemukan komentar-komentar kurang beradab yang ditujukan oleh sesama perempuan karena perbedaan ideologi. Dalam buku Mengkritik Feminisme yang baru-baru ini diterbitkan oleh Institut Muslimah Negarawan (hal. 28), disampaikan bahwa:

“Di media sosial pun para feminis tak surut langkah. Akun-akun feminis memiliki ribuan pengikut. Dan para feminis ini pun tak ragu untuk melakukan perundungan pada akun lain yang menentang ide mereka. Penulis pernah mengalami serangan massal ketika menyuarakan ide anti-feminisme. Terkadang juga disertai umpatan dan doa buruk yang sebenarnya juga merupakan penindasan terhadap perempuan lain yang mereka lakukan secara tidak sadar.”

Ini permusuhan yang sungguh ironi, mengingat misi awal feminisme adalah mempersatukan perempuan untuk menuntuk hak bersama.

Bullying dan bergunjing, dua perangai yang membuat para perempuan semakin menderita, sebab perempuan fitrahnya didominasi perasaan. Mereka susah melupakan lisan tajam, apalagi dalam kondisi psikologis yang berubah drastis selama hamil dan setelah melahirkan. Padahal, cara menyikapi perempuan dalam kondisi ini, termaktub secara jelas dalam Al Quran. Pertama, dengan menghibur, sebagaimana yang dilakukan malaikat jibril saat Maryam as merasakan kesakitan: “Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS. Maryam: 24). Kedua, dengan memberikan makan dan minum serta menyenangkan hatinya: “Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau.” (Q.S Maryam: 26). Ketiga, dengan melarang ibu baru pasca melahirkan berbicara kepada khalayak ramai (yang berkemungkinan tak pandai menjaga lisan): Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (Q.S Maryam: 26).

Maka, hanya budaya ilmu yang sehat di kalangan perempuan, yang akan menghasilkan ibu-ibu bijaksana. Perpaduan kecakapan logika dengan olah jiwa sehingga tak menyandarkan analisa hanya pada akal atau perasaan semata. Inilah yang akan mampu mengatasi persoalan jiwa semacam Post Partum Depression yang menjangkiti kaum ibu zaman ini. Sebagaimana diungkapkan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam buku beliau bertajuk Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini:

“Sebaliknya jika ilmu terbudaya dalam diri peribadi dan masyarakat dengan baik, ia bukan sahaja boleh mengekalkan dan meningkatkan lagi kejayaan sedia ada, malah boleh memberikan keupayaan memulihkan diri dalam menghadapi sebarang kerumitan dan cabaran. ” (hal. 21)


Rahmatul Husni, S.Hum., M.Pd.I (Kandidat doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Program beasiswa 1000 ulama BAZNAS – DDII)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *