Bendera Islam di Cirebon

by
foto: istimewa

Bendera Cirebon menurut fungsinya merupakan simbol kenegaraan bagi ‘Caruban Nagari’ saat ini. Bendera ini menurut tradisi lisan, dibawa Fatahillah ketika menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527M. Sehingga pada saat ulang tahun Jakarta, kantor pos besar di Jakarta, mencetak perangko Fatahillah yang menunggang kuda dengan membawa bendera Cirebon.

Wartapilihan.com, Cirebon –“Bendera ini adalah bendera pembakar semangat nasionalisme penduduk pribumi untuk mengusir penjajah yang mencoba menduduki Sunda Kelapa saat itu,” terang ahli Sejarah Cirebon, Bambang Irianto dalam bukunya Bendera Cirebon (Museum Tekstil Jakarta, 2012)

Penggunaan bendera Cirebon adalah sebagai pendukung bendera utama atau bendera kebesaran Kesultanan Demak. Menurut tradisi lisan, bendera Kesultanan Demak adalah bendera gula kelapa, yaitu cikal bakal sang saka merah putih, bendera kebangsaan Negara Republik Indonesia. Bahkan bendera gula kelapa ini sudah pernah dipakai pada zaman Majapahit.

Makna simbolik dari bendera gula kelapa adalah keberanian yang berlandaskan pada kesucian. Sedangkan dalam bendera Cirebon yang dimaksud kesucian adalah keikhlasan beramal yang berasal dari ikhlash rububiyah/ikhlas berketuhanan Yang Maha Esa menuju kepada suatu cita-cita yang harus diraih dengan usaha yang penuh keberanian, yaitu nasrumminallah wa fathun qarib, yang berujung pada kegembiraan atau kejayaan yang sempurna bagi orang-orang yang beriman. Di Cirebon, Bendera Cirebon adalah merupakan Aji Jaya Sempurna.

“Bendera Batik Cirebon ini juga mempunyai pasangan, yang disebut dengan Umbul-Umbul Waring, yang berisikan puluhan medallion bertuliskan asmaul husna. Umbul-umbul Waring terbuat dari serat Gebang dan sampai sekarang masih tersimpan keadaan rusak berat di Keraton Kasepuhan Cirebon,” kata Bambang kepada Warta Pilihan di rumahnya Cirebon.

Bendera Cirebon yang sekarang masih ada merupakan batik tulis yang bahannya dari kapas dengan pola hiasan kaligrafi Arab, yang ukurannya 310 x 196 cm, dibuat pada tahun 1776 M dengan mencontoh Bendera Cirebon generasi sebelumnya.

Menurut Bambang, bendera yang dibuat pada tahun 1776 M tersebut adalah tahun pembuatan replika/duplikat. Pada masa itu yang bertahta di Keraton Kasepuhan adalah Sultan Sepuh V, Pangeran Raja Safiudin Matangaji. Menurut Naskah Mertasinga, ia membangun perguruan ‘petarekan’ di Matangaji dan menurut Belanda ia ‘terganggu akalnya’ karena tidak dapat mencapai ajaran Mahayakti, maka ia dimakzulkan oleh adiknya oleh Belanda.

Di Keraton Kanoman pada masa itu, yang bertahta adalah Sultan Kanoman III, Sultan Raja Mohammad Aminuddin. Bendera tersebut dipakai sebagai Bendera Keraton Cirebon sebagai lambang petunjuk kehidupan bernegara, bermasyarakat maupun beragama, serta harapan atau cita-cita untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Yaitu memperoleh pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat. “Menurut sebagian kalangan, bendera tersebut berfungsi sebagai penolak bala dan dipakai pada saat berbagai perayaan hari besar Islam,” terang Bambang.

Bendera Cirebon bertuliskan kalimat yang sempurna (kalimat thayyibah), yang merupakan tanda keislaman, yaitu Laa Ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah, yang artinya tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah. Bendera kebesaran Cirebon ini bersama umbul-umbul Waring mencerminkan jati diri Cirebon. Di dalam bendera Cirebon terdapat unsur-unsur antara lain tiga kaligrafi Harimau, yang di dalam tradisi lisan disebut Macan Ali atau Singa Barwang. Unsur lain adalah berbilang dua, yang biasa disebut Golok Cabang, serta kaligrafi dari Al Quran antara lain bacaan Basmalah, al Quran surat al Ikhlash dan al An’am ayat 103, bintang Sulaiman, rajah-rajah serta kaligrafi lain.

Menurut TD Sudjana, kerabat Keraton Kanoman di Cirebon, yang merawat bendera tersebut terakhir adalah keratin Kanoman. Bendera itu kemudian diserahkan dari Keraton Cirebon ke Keraton Mangkunegaran, Surakarta. Alasannya adalah sebagai tolak bala untuk menyembuhkan sakit raja Mangkunegara dengan cara menyelimuti bendera tersebut saat tidur.

Ketika Pemerintah Belanda mengetahui keberadaan Bendera Cirebon di Istana Mangkunegaran dan setelah dipelajari mengandung potensi yang berbahaya bagi eksistensi Belanda di tanah Jawa, maka bendera tersebut diambil oleh Belanda dan dibawa untuk disimpan di Museum Rotterdam, Belanda.

Namun pihak istana Mangkunegaran sempat membuat replica (duplikat) Bendera Cirebon tersebut. Yang kemudian duplikatnya diserahkan dan disimpan di Museum Tekstil Jakarta pada tahun 1975.

000
“Konon bendera (Cirebon) tersebut pernah digunakan oleh Fatahillah atas perintah Sunan Gunung Jati sebagai simbol kenegaraan. Bendera tersebut dibawa Fatahillah ketika mengadakan perlawanan terhadap Portugis di Sunda Kelapa,” papar Bambang.

Aceh, Demak, Banten dan Sunda Kelapa (Jakarta) secara historis memiliki keterkaitan hubungan emosional. Menurut Bambang Irianto, beberapa kali pasukan Demak mengirimkan pasukannya untuk Pasai mengusir penjajah Portugis di Aceh.

“Namun upaya tersebut selalu gagal. Puncaknya syahidlah Sultan Demak kedua, Pangeran Sabrang Lor. Jandanya Nyi Mas Ratu Wulung Ayu kemudian dinikahkan dengan Fatahillah, panglima tertinggi pasukan kesultanan Demak, yang juga merupakan adik ipar Sultan Trenggono, pada tahun 1521,”kata Bambang.

Fatahillah – disebut juga Faletehan, Wong Bagus Paseh atau Fadhilah Khan – memiliki peran utama dalam mengusir penjajah Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Ia merupakan Panglima yang mahir dalam militer. Cita-cita Fatahillah adalah menjadi guru agama. Namun ia tidak dapat kembali ke kampung halamannya di Pasai untuk menyebarkan agama Islam, karena pada saat itu Pasai telah dikuasai Portugis.

Kesultanan Demak menyadari berbagai faktor menyebabkan mereka tidak mungkin menundukkan Portugis di Aceh (Pasai) dan Malaka. Jalan keluarnya adalah mengusahakan cara agar bagaimana mempertahankan pelabuhan di pesisir Pulau Jawa agar tidak ikut dikuasai oleh Portugis. Kesultanan Demak khawatir, bila Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh Portugis, kekuatan perdagangan dan militer mereka semakin besar. Mereka pun semakin ekspansif memperluas kekuasaan mereka. “Bisa jadi mereka kemudian menguasai Kerajaan Cirebon dan akhirnya menguasai Kesultanan Demak. Bila Kerajaan Cirebon dan Kesultanan Demak jatuh ke tangan Portugis, maka hancurlah seluruh kerajaan-kerajaan di Jawa . Keduanya akan mengalami nasib yang sama dengan Pasai dan Malaka, jatuh dan hancur di tangan penjajahan Portugis,” terang Bambang yang juga berprofesi dokter hewan ini.

Akhirnya diputuskanlah untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan di seluruh pesisir Pulau Jawa agar tidak dikuasai oleh Portugis. Kesultanan Demak berinisiatif mengadakan kerjasama dengan Kerajaan Cirebon. Kesultanan Demak dan kerajaan Cirebon mengirim suatu ekspedisi menuju Banten, dibawah pimpinan Fatahillah, yang tidak lain adalah menantu dan murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Tujuannya adalah untuk menaklukkan Banten dan menguasai Selat Sunda.

Pada tahun 1526 M, Fatahillah atas restu Susuhunan Jati Cirebon melakukan aksi militer dengan membawa 1967 personil militer untuk merebut pelabuhan Banten. Sebelumnya Pangeran Hasanudin putra Susuhunan Jati (Sunan Gunung jati) Cirebon dan Nyi Mas Kawunganten membuat kerusuhan di Banten. Hal tersebut membuat pasukan Banten lengah dan mudah dikuasai oleh Fatahillah. Sejalan dengan semakin mantapnya stabilitas politik dan keamanan, maka jangkauan dakwah Islam semakin luas, sehingga Susuhunan Jati Cirebon menempatkan Pangeran Hasanudin sebagai Bupati dan penguasa Banten. Pangeran Hasanudin menikah dengan anak Sultan Demak pertama (Raden Patah), yaitu Ayu Kirana. Pernikahan tersebut menurunkan dua orang anak yaitu Nyi Ratu Pambayun, yang kelak bersuamikan Ratu Bagus Angke dan Pangeran Arya/Pangeran Jepara, yang menjadi anak asuh Ratu Kalinyamat Demak. ||

Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *