Sesuai ketentuan dalam pasal 28 UU ITE, pada ayat 1 mengatur setiap orang dilarang untuk menyebarkan berita bohong. “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik,” demikian ketentuan ayat 1 pasal 28 UU ITE.
Wartapilihan.com, Jakarta — Kekerasan, teror dan intimidasi kembali terjadi kepada aktivis yang menginginkan 2019 ganti presiden. Adalah Ratna Sarumpaet, aktivis yang terus menyuarakan suara kritis ini berdasarkan informasi awal dihajar tiga orang pada 21 September lalu di sekitar Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, malam hari.
Saat itu, Ratna baru saja menghadiri acara konferensi dengan peserta beberapa negara asing di sebuah Hotel. Ratna naik taksi bersama peserta dari Sri Lanka dan Malaysia. Namun tiba-tiba, taksi yang mereka tumpangi dihentikan agak jauh dari keramaian.
“Nah saat dua temannya yang dari luar negeri turun dan berjalan menuju bandara, Mbak Ratna ditarik tiga orang ke tempat gelap, dan dihajar habis oleh tiga orang, dan diinjak perutnya,” kata Nanik S Deyang melalui keterangan persnya.
Lebih lanjut, penyelidikan polisi menyebut tidak ada kegiatan konferensi internasional di Bandung seperti yang disebutkan Ratna Sarumpaet. Pihaknya juga tidak mendapati orang Sri Lanka dan Malaysia.
“Kami empati karena Ibu Ratna sudah umur dan alangkah teganya ada orang yang mengeroyok dan kami ingin mendapat info temannya yang orang Sri Lanka dan Malaysia itu. Tapi kami belum dapat info,” kata Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta di Polda Metro Jaya, Rabu (3/10).
Awalnya, berdasarkan informasi yang beredar, Ratna Sarumpaet berada dalam kondisi psikologis yang trauma dan ketakutan. Ia meminta informasi tentang kejadian yang dialami dirinya tidak disebar ke publik, bahkan anggap saja, pinta Ratna, berita tersebut hoax. Apakah Ratna lelah dengan kejadian teror yang menimpa dirinya?
Hak itu dibenarkan oleh Capres Prabowo Subianto, dia mengungkap alasan mengapa Ratna Sarumpaet bungkam usai mengaku dianiaya oleh beberapa orang misterius. Menurut penuturan Ratna kepada Prabowo, saat itu dia merasa terancam hingga menjadi ketakutan tersendiri.
“Beliau masih ketakutan, trauma, saya tidak mau mendesak. Saya mengerti kejadian yang dialami, itu pasti traumatik,” kata Prabowo di Rumah Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (2/10) malam.
Sehari berselang, dalam konferensi pers, Ratna menyatakan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa dirinya tidak mengalami penganiayaan. “Jadi tidak ada penganiayaan, itu hanya cerita khayal entah diberikan oleh setan mana ke saya, dan berkembang seperti itu,” ujar Ratna di kediamannya di kawasan Kampung Melayu Kecil V, Jakarta Selatan.
Padahal sebelumnya, kata Prabowo, “Ibu Ratna Sarumpaet mengaku kepada kami dianiaya. Dan kami lihat sendiri waktu itu sudah beredar foto seperti itu, dan akibat itu kami merasa sangat terusik, sangat khawatir. Karena itu kami menyampaikan jumpa pers,” jelas Prabowo.
Syahdan, Prabowo minta maaf karena telah menyampaikan informasi kebohongan yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet.
“Saya di sini atas nama pribadi dan sebagai pimpinan daripada tim kami, saya minta maaf kepada publik, bahwa saya telah ikut menyuarakan sesuatu yang belum diyakini kebenarannya,” kata Prabowo di Kertanegara, Jaksel, Rabu (3/10).
Sebelumnya, Direskrim Polda Metro Jaya dalam keterangan resminya mengingatkan kepada Ratna untuk tidak menyebarkan kabar bohong (hoax) di media sosial. Sebab, Polri akan menjerat penyebar hoax di media sosial atau internet dengan pasal 28 ayat 1 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sesuai ketentuan dalam pasal tersebut, pada ayat 1 mengatur setiap orang dilarang untuk menyebarkan berita bohong. “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik,” demikian ketentuan ayat 1 pasal 28 UU ITE.
Dalam ayat kedua pasal tersebut, juga terdapat ketentuan larangan kepada setiap orang untuk menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian.
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” bunyi ayat 2 pasal 28 UU ITE.
Dalam bab ketentuan pidana pada UU ITE tercantum rincian ancaman pidana penyebar hoax. Pasal 45 atau 2 UU ITE berbunyi setiap orang yang memenuhi unsur yang dimaksud dalam pasal 28 ayat 1 atau ayat 2 maka dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain pasal 28 tersebut, menurut kabar pesan berantai yang beredar di WhatsApp, penyebar hoax juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam UU tersebut, ada dua pasal yang bisa menjerat penyebar hoax yaitu pasal 14 dan pasal 15.
Pasal 14
(1) Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15:
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.
Apakah Ratna berbohong? Wallahu A’lam. Hanya Allah dan Ratna yang tahu secara pasti. Namun bila ditelusuri sejak 2016 ia sangat lantang menyuarakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintah. Saat itu, Pemprov DKI hendak menggusur kampung Pasar Ikan dan Kampung Aquarium di Jakarta Utara, Ratna tampil membela warga.
Termasuk pada 2016 silam kehadirannya sempat ditahan oleh aparat yang menjaga ketat rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Rawa Bebek, Jakarta Timur. Ratna beserta warga Pasar Ikan hendak menghadiri acara tahlilan pasca kematian Muhamad Ilham Ilmi.
Ilham merupakan bocah penghuni rusunawa Rawa Bebek, yang tewas setelah terjatuh dari lantai empat rusun. Ia dan kedua orangtuanya merupakan warga eks-Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Tepat hari ke tujuh kematian Ilham, warga rusun Rawa Bebek mengadakan pengajian.
Terakhir, Ratna Sarumpaet mengkritisi pengawasan yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap operator atau pengusaha perorangan Kapal Motor Penyebrangan yang ada di Danau Toba, Sumatera Utara.
Ratna menilai, KM Sinar Bangun tenggelam di Perairan Danau terbesar di Asia Tenggara itu, pada 18 Juni 2018, karena lemahnya pengawasan. Dengan itu, penataan harus segera dilakukan Pemerintah Indonesia.
“Kita jangan cuma hanya bangun tol, tetapi kapal itu infrastruktur juga. Kenapa tidak diperiksa kapal yang masih layak atau tidak. Kalau tidak, diledakkan saja, karena sudah tidak layak,” kata Ratna kepada wartawan di Medan, Senin petang, 2 Juli 2018.
Ratna sempat adu mulut dengan seorang keluarga korban dan Menteri Koordinasi (Menko) Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan saat mengunjungi di Posko Terpadu Kecelakaan KM Sinar Bangun di Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalung, Sumatera Utara.
Ia pun, sempat diusir keluarga korban dan membuat petugas Kepolisian memintanya untuk keluar dari Posko tersebut. Namun, tidak membuat Ratna menghentikan aksi. Di luar posko, Ratna terus mengoceh-ngoceh dengan suara keras menyatakan menolak penghentian pencarian korban.
Jika benar Ratna menjadi korban penganiayaan, Sekjen Ikatan Advokay Muslim Indonesia (IKAMI) Juju Purwantoro menyayangkan hal tersebut. Apalagi, kata dia, dalam suasana kampanye dan situasi politik jelang Pilpres 2019, Ratna juga cukup aktif dan kritis dalam menyampaikan aspirasi masyarakat, terutama dalam perbaikan bidang sosial, politik dan kondisi ekonomi kehidupan masyarakat, yang dirasakan semakin terpuruk di era pemerintahan saat ini.
“Dengan kejadian tersebut, kami meminta dengan tegas kepada aparat penegak hukum yang berwenang untuk segera mengusut tuntas, dan menangkap para oknum pelaku maupun intelektual yang telah melakukan tindak Pidana kekerasan tersebut,” pinta Juju.
“Kami meminta secara tegas, sebagai negara hukum pemerintah harus menegakkan aturan dan hukum tanpa pandang bulu dan intervensi dari pihak manapun (equality before the law),” tandasnya.
Satya Wira