Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, kini dijadikan momok oleh Badan Pengawas Pemilu. Bawaslu menyeru materi khutbah diatur. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, peneliti CSIS Dr J Kristiadi juga menyatakan Pilkada DKI Jakarta 2017 mengerikan. Benarkah Pilkada yang berhasil mengalahkan Ahok itu mengerikan ?
Wartapilihan.com, Jakarta –Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja Kamis (8/2) mengatakan bahwa Bawaslu sedang mendorong perumusan materi khotbah untuk mencegah hal yang dialami saat pilkada DKI Jakarta 2017. Ia menuturkan, selama satu bulan kampanye, banyak khotbah berkaitan dengan Surat Al-Maidah ayat 51. Menurut dia, hal itu sebetulnya boleh saja disampaikan. “Tapi enggak setiap Jumat didengar. Biarkan pemilihan menjadi urusan pribadi,” kata Rahmat.
“Aspek politik identitas memang menjadi perhatian penting setelah pilkada DKI putaran satu dan dua. Kami sangat belajar dari proses pilkada DKI, kemudian kami memetakan daerah terjadi kerawanan,” kata Rahmat dalam diskusi Setara Institute di AOne Hotel, Jakarta Pusat, Kamis, 8 Februari 2018 seperti dikutip Tempo.co.
Rahmat menyebutkan, 8 provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Dari sejumlah wilayah tersebut, Rahmat menyebut bahwa Papua merupakan provinsi dengan tingkat kerawanan paling tinggi.
Sementara itu, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr J Kristiadi menilai, maraknya isu primordial di Jakarta sepanjang Pilkada DKI Jakarta 2017, merupakan kondisi yang sangat mengerikan.
“Jadi sangat mengerikan. Isu-isu primordial muncul, didisain untuk orang saling curiga dan saling membenci. Akibatnya, produk permusuhan terjadi luar biasa,” ujar Kristiadi pada evaluasi pelaksanaan Pilkada serentak 2017 yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (21/3/2017).
Menurut Kristiadi, kondisi tersebut kemungkinan terjadi karena partai politik tidak mampu menyiapkan calon yang berkualifikasi baik. Sehingga akhirnya, menghalalkan cara-cara yang tidak baik, demi meraih kemenangan.
“Jadi substansi politik tidak memberikan pendidikan ke masyarakat, malah merusak institusi. Saya berharap jangan ada lagi kampanye-kampanye (pilkada,red) diisi dengan gagasan yang memecah belah bangsa,” ucap Kristiadi seperti dikutip JPNN.com.
Dalam dialog dengan Ridwan Kamil, calon gubernur Jawa Barat di TV Kompas beberapa hari lalu, Kristiadi juga mewanti-wanti Ridwan agar tidak meniru Pilkada DKI. Peneliti senior CSIS ini juga menulis kolom di Kompas tentang bahaya Pilkada DKI 2017.
Pilkada DKI Bahaya?
Entah mengapa, Bawaslu dan peneliti CSIS menyatakan bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu bahaya atau mengerikan. Pendapat dua tokoh itu berbeda dengan pendapat Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab yang kini masih tinggal di Mekkah.
Habib Rizieq –sebagaimana diungkapkan sahabatnya Ustadz Mohammad al Khaththath pada 11 Januari 2018 lalu – menyatakan bahwa agar semangat 212 di DKI dapat ditularkan ke daerah lain. Habib Rizieq berpesan kepada Ketua Umum PAN, Gerindra dan PKS untuk menggunakan metode yang sama untuk mencapai kemenangan di Pilgub DKI. Habib ingin agar metode tersebut ditiru di pilkada-pilkada lainnya, khususnya di daerah yang Islamnya dominan.
Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah pemilu yang diakui secara damai dan demokratis. Tidak ada kerusuhan dan tidak satu pun darah tercecer di sana. Hanya perdebatan keras yang terjadi baik di darat maupun udara. Mayoritas rakyat bergembira dan menyambut hasil Pilkada itu dengan suka cita.
Mengenai aksi jutaan umat pada 2 Desember 2016 (Aksi 212) yang mendahului beberapa bulan sebelum pilkada, adalah hal yang wajar. Jutaan umat Islam berkumpul saat itu ingin untuk memberi dukungan kepada pengadilan untuk menghukum Ahok karena menghina Al Quran. Dan Ahok pun akhirnya diganjar hakim dengan dua tahun penjara pada 9 Mei 2017.
Tiga minggu sebelumnya, yaitu pada 19 April 2017 Pilkada DKI putaran kedua berlangsung, Anies Baswedan berhasil mengalahkan Ahok dengan angka telak.
Jadi keputusan hakim untuk Ahok berlangsung setelah Pilkada DKI bukan sebelum DKI. Waktu itu banyak yang mengira Ahok akan dibebaskan dari hukuman, karena telah kalah dalam Pilkada DKI. Namun rupanya hakim bertindak adil, memutuskan hukum berdasarkan fakta hukum yang ada, tidak memperdulikan situasi politik atau sosial di luar.
Maka kampanye beberapa pihak bahwa Pilkada DKI mengerikan adalah tidak beralasan. Kristiadi mungkin tidak terima jagoannya Ahok kalah secara demokratis dalam Pilkada DKI, sehingga menggulirkan berbagai opini-opini politik agar pemimpin-pemimpin model Ahok terus berkuasa di negeri ini.
Mengapa tokoh-tokoh Islam menggunakan politik identitas dalam Pilkada DKI? Ya, karena itulah strategi yang pas untuk pemenangan pemimpin di Jakarta. Kaum Muslim Jakarta kalah dalam jumlah dana, kalah dalam pemilikan media TV dan kalah dalam ‘jaringan politik penguasa’, maka satu-satunya jalan adalah membangkitkan ghirah Islam (identitas) untuk meraih kemenangan. Kaum Muslim menggunakan strategi Rasulullah saw dalam Perang Badar. Dan ini sah dalam demokrasi.
Sebenarnya strategi seperti ini juga dilakukan kaum non Islam dalam setiap pemilu. Bedanya kaum Muslim terutama tokoh-tokohnya, melakukan dukungan kepada pemimpin Muslim secara terbuka –misalnya munculnya berbagai demonstrasi di Jakarta – sedangkan kelompok non Islam melakukannya ‘secara sembunyi atau tersamar’. Di daerah-daerah lain juga terjadi hal yang mirip.
Politik identitas adalah hal terbiasa juga di luar negeri. Lihatlah di Amerika bagaimana calon presiden menggunakan slogan pro Kristen dan pro Yahudi dalam kampanyenya. Di Jerman, malahan terdapat partai besar yang namanya dengan identitas agama, Christlich Demokratische Union Deutschlands, Persatuan Demokrat Kristen Jerman yang dipimpin Angela Merkel.
Memang dalam sejarah politik di tanah air, politik identitas ini mencoba dihilangkan ketika zaman Orde Baru. Akibat dihilangkan, maka terjadi sekulerisasi di Indonesia besar-besaran. Reformasi 1998 ‘mengubah’ peta perpolitikan di Indonesia. Politik identitas diperbolehkan. Sehingga lahirlah partai-partai berasas Islam, seperti PPP, PKS dan PBB atau bernuansa Islam seperti PAN dan PKB.
Tapi kini nampaknya jarum jam mau diputar balik. Politik identitas mulai dilarang, kampanye politik Islam diharamkan dengan dalih SARA, khutbah mau diatur, ujaran kebencian mengancam para dai dan ulama dan seterusnya.
Entah mengapa, bila pemimpin Muslim bisa mengalahkan non Muslim di sebuah daerah secara demokratis, mereka protes. Tapi bila pemimpin non Muslim mengalahkan pemimpin Muslim, mereka berdiam diri.
Menarik ungkapan Habib Rizieq pada saat menjelang Pilkada dulu bahwa Jakarta dipimpin oleh kepala daerah Muslim wajar. Bali dipimpin oleh kepala daerah Hindu wajar. Papua dipimpin oleh Gubernur Kristen wajar.
Jadi mengapa CSIS –diikuti Bawaslu- terus mengkampanyekan Pilkada DKI 2017 mengerikan? Apa tujuannya? “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maidah: 8). II
Izzadina