Belajar Dari Data

by
http://www.pikiran-rakyat.com

Survei BPS mengoreksi klaim pemerintah yang menyatakan tak ada penurunan daya beli masyarakat. Setiap kebijakan seharusnya didasarkan dari data valid, agar tidak menjadi kesimpulan yang dangkal.

Wartapilihan.com, Jakarta –Klaim Pemerintah, terkait tidak adanya penurunan daya beli masyarakat, karena yang ada adalah pergeseran gaya belanja masyarakat ke dunia maya, kini mulai diluruskan oleh data. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi persnya, Rabu, 8 November lalu, mencatat daya beli masyarakat Indonesia melambat di Triwulan III-2017.

Ini tercermin dari tingkat konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2017 yang turun ke posisi 4,93 persen dibandingkan Triwulan pertama tahun 2017 yang mencapai 4,95 persen. Perlambatan terjadi pada komponen makanan dan minuman di Ttriwulan III-2017 yang hanya tumbuh 5,04 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya 5,23 persen.

Perlambatan juga terjadi pada komponen pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya yang tumbuh melambat menjadi 2 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 2,24 persen. Serta perumahan dan perlengkapan rumah yang tumbuh melambat menjadi 4,14 persen.

Melambatnya tingkat konsumsi rumah tangga juga berhubungan erat dengan pertumbuhan kinerja sektor ritel. Hal tersebut bukan disebabkan pergeseran pola konsumsi dari offline menjadi online. Dalan catatan BPS, tren belanja online ke depan memang akan semakin besar, tetapi sekarang porsinya sebetulnya belum terlalu signifikan.

Survei yang dilakukan BPS menunjukkan beberapa komoditas yang merupakan komoditas yang diperdagangkan secara on line. Seperti sandang, alat komunikasi, dan yang berkaitan pariwisata. Sekitar15 persen dari rumah tangga di Indonesia pernah melakukan kegiatan belanja on line ini.

Dari penghitungan  yang dilakukan BPS, ekonomi Indonesia menurut pengeluaran pada Triwulan III-2017 tumbuh mencapai 5,06 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) yang peningkatannya didorong oleh semua komponen.

Pertumbuhan yang tertinggi adalah ekspor, sementara konsumsi pemerintah dan investasi juga tumbuh. Pertumbuhan tertinggi secara tahunan dicapai oleh komponen ekspor barang dan jasa sebesar 17,27 persen (yoy) dan berkontribusi 20,50 persen terhadap struktur PDB.

Ekspor nonmigas tumbuh 20,51 persen (yoy) dengan komoditas utamanya adalah lemak dan minyak hewan nabati. Sementara ekspor migas tercatat tumbuh 3,20 persen (yoy).

Ekspor jasa juga tumbuh 12,40 persen seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia dan juga penerimaan devisa yang masuk dari pariwisata,

Secara keseluruhan, struktur PDB Indonesia menurut pengeluaran pada triwulan III-2017 masih didominasi komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mencapai 55,68 persen dari PDB.

Namun, memprediksi indeks tendensi konsumen turun pada kuartal IV, bisa diartikan  ada risiko konsumsi masyarakat belum akan tumbuh signifikan di penghujung tahun ini. Alhasil, ekspor dan investasi jadi andalan untuk genjot ekonomi.

Sementara, yang harus dikhawatirkan dan segera dicari penyelesaiannya adalah data soal tenaga kerja.Tercatat dari Agustus 2016 hingga Agustus 2017 jumlah angkatan kerja bertambah 2,62 juta orang dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) mencapai 0,33 persen.

Namun, peningkatan angkatan kerja tersebut juga diikuti jumlah pengangguran yang bertambah mencapai 10 ribu orang, bila dihitung dari sejak Agustus tahun lalu hingga Agustus tahun ini. Untuk tahun ini saja hingga Agustus 2017 pengangguran mencapai 7,04 juta orang.

Dari semua data yang dipaparkan BPS ini, maka pemerintah perlu memilih fokus kebijakan yang benar-benar bisa mengentaskan kemiskinan rakyat. Pembangunan infrastruktur yang masif dan menyedot anggaran yang besar, ternyata belum mampu memberikan efek ekonomi bagi rakyat.

Yang diperlukan masyarakat saat ini adalah program pro poor yang benar-benar bisa mendorong usaha-usaha rakyat dalam sekal ekonomi yang kecil, terlindungi dari persaingan usaha perusahaan raksasa internasional yang cenderung monopolistik.

Namun, yang paling penting pemerintah tak boleh gegabah mengambil kesimpulan atas indikasi-indikasi yang terjadi di pasar tanpa memiliki landasan yang kuat. Semua kebijakan harus didasarkan pada data yang valid. Agar tidak terkesan sembrono dan membohongi publik.

Rizky Serati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *