Tutur kata menunjukkan kualitas dan jatidiri seseorang. Mengumbar kata yang tidak patut hanya akan merendahkan diri sendiri. Peradaban adiluhung dibangun dengan bingkai etika dan adab dalam interaksi sosial.
Wartapilihan.com, Jakarta –Kata ‘bangsat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, punya arti kepinding; kutu busuk; orang yang bertabiat jahat (terutama yang suka mencuri, mencopet, dan sebagainya). Walhasil, kata “bangsat” punya konotasi negatif.
Kata yang berkonotasi negatif akan menjadi serius jika diucapkan dalam keadaan kesal dan marah. Tapi juga menjadi lucu ketika diucapjkan dalam keadaan kelakar.
Pemaknaannya tergantung pada kalimat yang menyertainya dan suasana batin pada saat kata tersebut diucapkan.
Seniman kelahiran Jombang, Jawa Timur, Soedjarwoto Soemarsono atau yang kondang dipanggil Gombloh (14 Juli 1948 – 9 Januari 1988), pernah menulis lirik lagu dengan titel Lepen(Lelucon Pendek), dan dinyanyikannya dengan jenaka. Simaklah bait-bait lagu Lepen:
Kupilih duduk di sudut
agak remang
Kutunggu keluar sang putri
Arya Penangsang
Pikiran melayang yang bukan-bukan
andaikan kau dan aku berpacaran
Kalau cinta melekat
tai kucing rasa coklat
Tapi apa lacur
yang keluar adalah bapaknya
Dengan muka ditekuk
persis kaya onta
Dengan garang ia berkata
gadisku tak ada di rumah
Sambil ngomel
kuberkata dalam hati
bangsat!!!
Kata “bangsat” diucapkannya dalam hati, tidak keluar secara verbal. Si Tokoh, dalam lirik tersebut, digambarkan oleh Gombloh, meskipun ia sejatinya tersinggung dan marah, tapi tetap menjaga etika ketika berinteraksi dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Maka, kata ‘bangsat” yang tersimpan dalam hatinya justru menjadi pelipur-lara sambil tertawa geli.
* * *
Dalam rapat Komisi III DPR-RI dengan Jakasa Agung M. Prasetyo yang menyinggung travel umroh bodong, Rabu (28/3), anggota Komisi III, Arteria Dahlan, melontarkan kata “bangsat”.
Simaklah kalimatnya, “Yang dicari jangan kayak tadi bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak. Ini Kementrian Agama bangsat Pak, semuanya, Pak!” kata Arteria dengan nada marah. Kata “bangsat”, menurut Arteria, pernah ia ucapkan di depan para pejabat di kementrian Agama.
Tentu saja, kata “bangsat” yang diucapkan Arteria penuh dengan kejengkelan, baik terhadap lembaga maupun pada para personilnya.
Persoalan menjadi serius ketika yang melontarkan kata “bangsat” adalah seorang anggota DPR-RI dari fraksi PDI-P yang ketua umumnya, pernah melecehkan keyakinan tentang kehidupan sesudah mati. Padahal, percaya pada hari akhir adalah salah satu rukun iman. Dan itu adalah aqidah harga mati bagi seorang Muslim. Ironinya, yang melecehkan akan adanya hari akhir itu juga mengaku Muslimah, minimal tertulis dalam kolom agama di KTP-nya.
Kata ‘bangsat” yang dialamatkan pada Kementrian Agama itu mestinya tidak perlu terucap. Pasalnya, anggota DPR-RI adalah pejabat negara yang terhormat, yang sudah seharusnya memberi keteladanan dalam bertutur penuh santun.
Jika anggota DPR-RI yang terhormat saja mengobral kata “bangsat”, bagaimana dengan masyarakat yang diwakilinya bisa mendapat sejumput keteladanan dalam bertutur?
Sebuah kemarahan bermula dari kata-kata. Tutur kata yang kurang pada tempatnya jamak memancing emosi, berbuah amarah. Orang-orang yang tertipu oleh biro perjalanan umroh sudah semestinya dibantu dengan cara mencari jalan keluarnya. Tidak perlu mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas yang membuat kinerja malah tidak produktif.
Melontarkan kata “bangsat” pada jajaran Kementrian Agama sama saja menuduh lembaga tersebut tempat bersarangnya kutu busuk,
pencuri, dan pencopet. Dan karena itu tidak perlu ada jika kita hendak membangun sebuah peradaban yang adiluhung.
Tapi disitulah duduk perkaranya. Peradaban adiluhung tidak dibangun dengan menafikan etika dan adab dalam bertutur-kata. Wallahu A’lam.
Herry M. Joesoef