“Maaf Mba, saya cancel”, tulisku di webchat sebuah aplikasi Ojek Online (OJOL). “Bapak orang ke-empat yang mengkensel saya, apakah karena saya perempuan? Terima kasih!!!”, balas Mba Ojol. Wah…aku kudu piye…
Wartapilihan.com, Depok—Sebagai pengguna OJOL yang setia (tepatnya terpaksa setia karena gak gablek motor sendiri), hampir sebagian besar perjalananku menggunakan jasa mereka. Praktis, datang dijemput dan pulang diantar. Kalau nebeng teman, paling bisanya: datang dijemput, pulang gak dianter. Mirip mantranya Jelangkung ya… Balik ke OJOL, untuk efisiensi biaya, biasanya aku buka 2 aplikasi ojol sekaligus. Pasang rute yang sama dan lihat aplikasi mana yg lagi diskon. Cuss (adaptasi dari kata choose) yang paling murah dech…Tentu siapkan deposit di kedua aplikasi tersebut biar lancar.
Nah, dilema suka terjadi ketika dapat murah tapi driver-nya wanita. Tidak ada pilihan mau driver laki-laki atau wanita di aplikasi itu. Driver itu unisex. Saran untuk pengembang aplikasi nih, tambahkan fitur pilihan gender driver. Cukup 2 pilihan aja. ‘Man-Woman’. Jangan ditambahin ‘others’, bingung lagi nanti aku-nya.
Biasanya kalau menemui situasi seperti ini, aku cancel aja…request ulang. Alasannya lebih karena gak nyaman dan kayaknya sebagai muslim, sepengetahuanku hal seperti ini sebaiknya dihindari. Demikian juga untuk sang driver bila dia muslim, sebaiknya pilih penumpang yang sejenis saja. Para developer aplikasi, perlu juga ada fitur di sisi driver untuk memilih ini.
Bagaimana sebenarnya aturan hukum Islam mengenai berkendara dengan yang bukan muhrim? Aku bertanya ke seorang Ustadz, begini penuturan Beliau:
Hukum mengangkut penumpang wanita/laki-laki non muhrim, tentu hukumnya tidak terkait driver ojek online saja, melainkan juga semua driver kendaraan yang privat seperti ojek biasa/offline, taksi online atau offline, termasuk supir pribadi. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Menjadi haram apabila terjadi khalwat (hanya berduaan) dan atau terjadi persentuhan badan kontak langsung seperti ketika wanita naik ojek. Nabi saw sudah mengingatkan:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan dan jangan pula seorang perempuan safar sendirian kecuali disertai muhrimnya”. (Shahih al-Bukhari bab man uktutiba fi jaisy wa kharajat imra`utuhu hajjatan no. 3006).
2. Larangan persentuhan badan kontak langsung adalah dalil-dalil yang melarang untuk mendekati zina atau melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori muqaddimaatu azzina (lihat QS. al-Isra` [17] : 32, al-An’am [6] : 151) yang kemudian ditegaskan dalam hadits, bentuknya: “Mata, zinanya melihat. Telinga, zinanya mendengar. Lisan, zinanya berbicara. Tangan, zinanya memegang . Kaki, zinanya melangkah (Shahih Muslim kitab al-qadr bab quddira ‘ala ibn Adam hazhzhahu minaz-zina no. 6925). Oleh karena itu, ketika wanita naik ojek dan dia berpegang erat dengan driver ojek yang laki-laki, maka dia telah melakukan perbuatan yang dapat mengantarkan pada perzinahan, apalagi kalau sampai terjadi sentuhan badan bagian dada dsb dengan penggung driver ojek lelaki itu yang dapat dirasakan sentuhannya, itu jauh lebih berdosa lagi dan tidak boleh terjadi.
3. Dalam keadaan darurat boleh memboncing wanita yang mau melahirkan atau memerlukan perwatan medis. Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslimnya bab:
جَوَازِ إِرْدَافِ الْمَرْأَةِ الأَجْنَبِيَّةِ إِذَا أَعْيَتْ فِى الطَّرِيق
ِ
Boleh membonceng perempuan ajnabiyyah (non muhrim) apabila ia kelelahan di jalan.
Haditsnya adalah tawaran Nabi SAW untuk membonceng Asma` binti Abu Bakar yang saat itu sedang memikul kayu bakar di atas kepalanya, meski kemudian Asma` menolaknya (Shahih al-Bukhari bab al-ghirah no. 5224; Shahih Muslim bab jawaz irdafil-mar`ah al-ajnabiyyah no. 5821).
Terkait hal ini Imam an-Nawawi menyatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membonceng seorang perempuan yang bukan mahram apabila ditemukan sedang kelelahan di jalan, terlebih lagi saat itu sedang berada rombongan orang-orang shalih. Tidak ragu lagi dibolehkannya hal tersebut.” (Syarah Shahih Muslim). Demikian halnya al-Hafizh Ibn Hajar, dengan mengutip pendapat al-Muhallab dan ia menyetujuinya, menyatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membonceng perempuan di belakang lelaki di kendaraan lelaki.” (Fathul-Bari bab al-ghirah).
Artinya dalam keadaan yang memang mendesak dan dibutuhkan, maka membonceng perempuan non muhrim itu jadi boleh. Tetapi tetap tentunya tidak melanggar larangan pokok yang sudah berlaku umum, yakni tidak khalwat dan tidak ada kontak persentuhan langsung. Dalam kasus Asma` di atas, tidak ada khalwat sebab saat itu Nabi saw sedang bersama rombongan para shahabat yang shalih. Demikian juga diyakini tidak akan persentuhan. Maka dari itu, al-Hafizh menjelaskan di paragraf sebelumnya bahwa sangat mungkin maksud Nabi saw memberi Asma` tumpangan sementara Nabi saw pindah kendaraan lain. Atau juga seperti diisyaratkan hadits lain dari seorang perempuan muda Bani Ghifar yang dibonceng Rasul saw di haqibah rahlihi; bagian belakang kendaraannya (Sunan Abi Dawud bab al-ightisal minal-haidl no. 313), dimana Imam al-‘Azhim Abadi memastikan tidak ada persentuhan langsung karena dibonceng di tempat duduk (rahlihi) itu tidak akan bersentuhan langsung. Meski hadits perempuan Bani Ghifar ini dinilai dla’if oleh Syaikh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth, tetapi sebagai pembantu keterangan bahwa maksud dibonceng itu tidak berarti bersentuhan langsung, bisa dibenarkan.
4. Dalam konteks terakhir ini berarti dibonceng motor ojek yang pasti bersentuhan langsung, hukumnya tetap haram. Terkecuali mobil atau taksi yang tidak ada persentuhan langsung, bisa dibenarkan. Itupun jika benar-benar dibutuhkan dan ada di keramaian atau tidak khalwat, bahkan ada seorang mahram yang ikut mendampingi wanita. Maka dari itu jika seorang driver ojek mendapatkan order penumpang yang ternyata bukan muhrim, berarti ia harus membatalkan order tersebut.
5. Solusi yang Islami untuk ojek online, offline dan sejenisnya bahwa harus adanya supir ojek perempuan untuk mengantarkan kaum wanita, sedang laki-laki hanya boleh mengantarkan laki-laki saja.
Begitu juga peraturannya untuk rental mobil, atau taksi. Sopir laki-laki hanya mengantarkan penumpang laki-laki sedang sopir wanita hanya mengantarkan penumpang perempuan saja. MUI perlu mengeluarkan fatwa tentang driver laki-laki dan driver wanita yang dapat dijadikan panutan oleh semua perusahan transportasi umum selain bis, kapal laut, kereta api, dan pesawat airlines.
6. Sopir yang membawa mobil pribadi ketika dia mengantarkan istri, anak perempuan, dan kerabat wanita lainnya, harus selalu didampingi suami atau mahram, jika tidak ada yang mendampingi wanita maka haram hukumnya.
Wallahu a’lam.
Semoga jelas dengan keterangan diatas. Di beberapa daerah sudah ada ojek online khusus wanita. Salah satunya adalah Ojesyi (Ojek Syar’i Indonesia). Saat ini Ojesy sudah hadir di 19 kota di Indonesia seperti Surabaya, Sidoarjo, Malang, Gresik, Madiun, Solo, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Bogor, Bekasi, Depok.
Bila kita lihat-lihat di GooglePlay, ada banyak aplikasi yang menyediakan jasa transport ojek syar’i. Diantaranya: SyariHub, SheJek, Jekwa-Ojek Kaum Wanita, GoMuslimah-Ojek Online Wanita, Bujek, MbaOjek. Lumayan banyak, hanya tinggal dilihat kesiapan aramadanya di daerahmu.
Ini bukan tentang diskriminasi, ini tentang bagaimana seorang muslim seperti aku berikhtiar menjalankan keyakinan di Republik ini. Wallahu A’lam
Abu Faris,
Praktisi Media sosial tinggal di Depok
https://www.linkedin.com/in/kus-kusnadi-42214635/