Tertangkapnya tokoh Golkar Setya Novanto (Nazarudin dll) oleh KPK, menunjukkan bahwa partai-partai di Indonesia saat ini, terjangkit penyakit yang sangat berbahaya : materialisme dan sekulerisme. Apakah partai-partai Islam terjangkiti hal yang sama?
Wartapilihan.com, Jakarta –-“Dan Dia yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al Anfal 63)
Di dalam ayat ini kita bisa melihat bahwa persatuan manusia diikat oleh dua hal, pertama persatuan karena materi (duniawi) dan yang kedua adalah persatuan keimanan (hati orang-orang beriman). Allah SWT menyeru kita untuk mengadakan persatuan keimanan, bukan persatuan yang dilandasi oleh harta benda. Kata Al Qurán,” Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka,”
Maka jangan heran, partai-partai sekuler saat ini berpecah belah. Mereka bersatu karena tujuan duniawi, jabatan dan uang. Bukan bersatu untuk menjayakan Islam.
Di sinilah maknanya Partai Islam harus melandasi dirinya dengan keimanan yang teguh terhadap Islam. Partai Islam hanya menerima pengurus/anggota yang beragama Islam. Karena hanya orang-orang Islam lah yang bisa menjayakan Islam. Orang-orang non Muslim tidak dilarang menjadi simpatisan partai, tetapi mereka dilarang menjadi pengurus atau anggota. Orang-orang non Muslim, bila ingin menjadi anggota Partai Islam, mesti harus masuk Islam lebih dulu dengan kesadaran, bukan paksaan. Karena Islam adalah mulia dan kekufuran adalah hina.
Hal itulah yang dipraktekkan oleh Partai Islam Masyumi yang berdiri November 1945 di Yogyakarta. Partai Masyumi merupakan gabungan dari ormas-ormas besar Islam saat itu. Tahun 1955 partai Masyumi, partai Islam yang memegang teguh ideologinya, dengan sangat mengesankan meraup pemilih 40% suara total pemilih di Indonesia.
Partai Masyumi dalam Anggaran Dasar atau Rumah Tangganya memegang teguh prinsip-prinsip Islam. Di Anggaran Dasar Partai Masjumi ditegaskan: “Tujuan Partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.” (Pasal III).
Pada pasal IV-nya dinyatakan: “Usaha partai untuk mencapai tujuannya:
Pertama, menginsyafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan Umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik
Kedua, menyusun dan memperkokoh kesatuan dan tenaga umat Islam Indonesia dalam segala lapangan
Ketiga, melaksanakan kehidupan rakyat terhadap perikemanusiaan, kemasyarakatan, persaudaraan dan persamaan hak berdasarkan taqwa menurut ajaran Islam Bekerjasama dengan lain-lain golongan dalam lapangan bersamaan atas dasar harga menghargai.”
Karena itu, Masyumi mengharuskan pengurus atau anggota partainya beragama Islam. Selain AD/ART yang tertulis, tokoh-tokoh Masyumi sebagian besar juga memberikan keteladanan dalam kehidupan politik dan masyarakat. Orang tidak meragukan lagi keteladanan Hamka, Mohammad Natsir, Mohammad Roem dan lain-lain.
Sayang kehebatan Masyumi ini hanya berlangsung lima tahun (1945-1952). Tahun 1952, NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri hanya karena masalah posisi Menteri Agama. Tahun 1960, Partai Masyumi dibubarkan oleh Rezim Soekarno dengan alasan yang tidak jelas. Tak hanya itu, banyak tokoh-tokohnya yang dimasukkan ke dalam kerangkeng oleh Soekarno. Padahal Masyumi saat itu namanya sedang harum di kalangan umat.
Masyumi mempunyai sayap gerakan buruh, gerakan tani juga media massa. Harian Abadi misalnya, adalah koran milik Masyumi yang sangat disegani dan pelanggannya dari seluruh pelosok Indonesia.
Ketika Soeharto naik menggantikan Soekarno tahun 1966, tokoh-tokoh Masyumi mencoba menghidupkan kembali partai ini tapi tidak diizinkan.
Bahkan hingga pada Pemilu pertama di era Orde Baru tahun 1971, Masyumi bukan hanya tidak diizinkan ikut Pemilu, tapi juga tokoh-tokohnya juga dilarang berpolitik.
Akhirnya umat Islam yang tergabung dalam Masyumi (dan NU) membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi saat itu sebenarnya Masyumi telah pecah karena sebagian pengikutnya sudah masuk dalam Golkar.
PPP karena mewadahi aspirasi umat Islam, maka mereka menggunakan gambar Ka’bah dan asas Islam. Meski PPP selalu tidak unggul dalam Pemilu, dan Pemilu di masa Orba penuh dengan rekayasa. Meski demikian, umat Islam masih banyak yang fanatik ke PPP hingga akhirnya Soeharto (dengan think tanknya ‘CSIS’) ‘menfatwakan’ semua parpol harus berasas tunggal Pancasila. Dari sinilah PPP mulai pecah. PPP turut pemerintah dan mengganti lambang Ka’bah dengan bintang. Sebagian tokoh memilih tidak berpolitik dan sebagian lari ke Golkar. Efeknya tidak sedikit, Golkar juga makin penuh sesak dengan tokoh-tokoh Islam. Bahkan jika dilihat secara personal, makin hari makin tidak ada perbedaaan antara anggota Golkar dan PPP.
Politik Gincu
Tahun 1999 setelah reformasi, partai-partai Islam dibebaskan kembali memakai asas Islam. Lambang pun tidak diatur pemerintah. Mulailah partai-partai Islam kembali ke kandangnya. Meski demikian, hanya tiga partai yang berani menuliskan asasnya Islam, yaitu PPP, PBB dan PKS. Sementara PAN dan PKB, tidak jelas tercantum dalam AD/ART nya asasnya Islam.
Amien Rais yang dulu merasa kekecilan dengan partai Islam namun PAN juga tak mampu menjadi partai besar
Tahun 1998, pasca jatuhnya Soeharto, tokoh-tokoh Masyumi saat itu mempersiapkan kembali berdirinya partai Islam. Melalui rapat-rapat di kediaman HM Cholil Badawi dan Anwar Haryono, ditawarkanlah posisi ketua umum pada Amien Rais sedang Yusril Ihza Mahendra sebagai Sekjen.
Namun yang mengejutkan saat itu, Amien Rais di layar televisi seusai shalat Jumat di kantor PP Muhammadiyah mengatakan, “Saya akan mendirikan partai lain yang lebih terbuka.Bagi saya partai seperti Partai Bulan Bintang, ibarat baju akan ‘kesesakan’ jika saya pakai.”
Selanjutnya, melalui tokoh-tokoh Majelis Amanat Rakyat (MARA), Amien Rais membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada tahun 1998 dengan platform nasionalis (relijius) terbuka. Ia mengundurkan diri dari Ketua PP Muhammadiyah setelah ditunjuk memimpin PAN.
Meski memilih baju terbuka, faktanya PAN tetap tidak banyak diniminati aktivis Muslim. Amien Rais sendiri sebagai pendiri PAN sebenarnya menyadari kesalahannya, sayang nasi sudah menjadi bubur. (Kini PAN bergerak ke arah Islami, Amien Rais sendiri kini tidak lagi ragu-ragu dalam membela Islam. Amien bersuara lantang menentang Ahok, menentang Jokowi yang pro Cina, menentang sekulerisme-liberalisme dll. Bahkan putrinya Amien, Salsabila Hanum membuat buku yang sangat bagus tentang peradaban Islam, diantaranya : 99 Cahaya di Langit Eropa, Bulan Terbelah di Langit Amerika dll. Penyebab Amien ragu terhadap partai Islam saat itu, bisa ditelusuri karena sewaktu reformasi 1998 Amien dikelilingi oleh tokoh-tokoh non Islam dan sekuler, diantaranya Albert Hasibuan, Goenawan Mohamad dll)
Tahun 1999 perolehan suara PPP, PBB dan PKS lumayan. Tapi perolehan suara ini terus menurun atau stagnan sampai 2014 lalu.
Mengapa tiga partai Islam itu tidak bisa menjadi mayoritas di negeri yang 85% Muslim ini?
Pertama, kesadaran politik umat Islam rendah. Umat memilih bukan didasarkan pilihannya pada calon-calon yang akan menjayakan Islam, tapi memilih banyak karena kekerabatan atau popularitas calon.
Kedua, partai-partai Islam menurun kualitasnya. Baik karena keterlibatan sebagian pengurus partai dalam korupsi, program partai yang tidak menyentuh rakyat atau tidak jelasnya warna Islam partai.
Partai-partai Islam itu mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. PPP mempunyai kekuatan jaringan lama dan pengalaman politik dalam menggolkan undang-undang yang bervisi Islam.
PBB mempunyai tokoh yang tinggi dalam intelektualisme Islam dan keberanian dalam menyuaran Islam. Sedangkan PKS mempunyai jaringan kader yang kuat dan program-program yang merakyat. Kelemahan PPP dan PBB dalam pengkaderan sebenarnya bisa ditutupi atau mengambil pelajaran dari PKS.
Sedangkan kelemahan PKS yang kurang berani menampilkan diri visi Islamnya sebagaimana PPP dan PBB.
Bila kita telaah, umat Islam di Indonesia yang sedang bangkit kini membutuhkan politisi politisi yang ahli di bidangnya sekaligus yang Islami. Kalau sekedar profesional semata, maka tidak ada beda dengan partai sekuler. Atau jika yang hanya ditekankan program ekonomi semata, maka partai Islam menjadi pak turut bagi partai sekuler. Partai Islam seharusnya berani menampilkan Islamnya dan profesionalnya. Sehingga masyarakat melihat beginilah wajah politik Islam yang sebenarnya. Bila partai Islam terbawa dengan arus partai sekuler yang hanya menekankan profesionalitas dan program ekonomi semata, maka partai Islam pasti tidak akan bisa menyaingi partai sekuler.
Maknanya seorang politisi Muslim di samping ahli di bidangnya juga berakhlak Islam, rajin shalat, bersedekah dan meninggalkan dosa-dosa besar. Beda dengan politisi sekuler yang membebaskan kadernya dalam berbuat maksiyat dan meninggalkan shalat. Bagi politisi sekuler yang penting politisi itu ahli di bidangnya dan mempunyai nama harum di masyarakat. Meski dalam kehidupan pribadinya bergelimang maksiat. Dengan kata lain mereka menghalalkan adanya ‘politik gincu’.
Jadi partai Islam mesti menprofesionalkan dan mengislamkan kader-kadernya bukan malah ikut-ikutan partai sekuler mensekulerkan kadernya dan bergerak ‘ke tengah’, sebagaimana nasihat banyak pengamat politik.
Islam mesti dijadikan elan vital bagi organisasi partai Islam. Bukan hanya semboyan belaka. Tapi menjadi ruh dan amal bagi orang-orang partai dan organisasinya. Bila itu diterapkan, bukan mustahil partai-partai Islam akan jaya kembali di negeri yang mayoritas Muslim ini.
Partai Islam atau partai bernuansa Islam (PAN dan PKB) mungkin tidak sadar, bahwa ada kelompok Islamofobia yang bermain di negeri yang menginginkan partai Islam keok di negeri ini. Mereka mengirimkan kader-kadernya untuk masuk ke PAN, PKB, PPP, PKS atau PBB. Tujuannya bukan untuk memperbesar partai, tapi melemahkan semangat Islam partai itu dan sekaligus memata-matai gerakan partai.
Pentingnya Islam sebagai ruh partai atau organisasi, bisa dilihat bagaimana dulu para pahlawan dengan senjata seadanya berhasil mengusir penjajah Belanda (membawa misi Kristen) dan Portugis (membawa misi Katolik).
Renungkan pidato Hamka, ketika di Majelis Konstituante 1957 : “Allahu Akbar yang tertulis dalam dada saudara itulah sekarang yang kami mohon direalisasikan. Allahu Akbar yang di dalamnya terkandung segala macam sila, baik panca, atau sapta, atau ika, atau dasa. Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara ketika saudara pernah menghadapi bahaya besar! Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara di saat maut telah melayang-layang diatas kepala saudara. Allahu Akbar, yang kepada-Nya putra saudara yang tercinta saudara serahkan! Allahu Akbar yang dengan dia saudara sambut waktu lahir dari perut ibu.”
Partai Islam mesti menjadikan hari-harinya adalah semangat Perang Badar, bila ingin mencapai kemenangan. Hari-harinya untuk dakwah dan ‘menolong umat Islam’ yang kini nasibnya terpuruk di negeri tercinta ini. Bukan hari-harinya sekedar untuk berebut jabatan dan memperkaya diri sendiri dan partai. Meski jabatan dan kekayaan itu penting bagi kejayaan umat, tapi dua hal adalah alat, bukan tujuan.
Jadi semangat Perang Badar ini mesti dijaga terus oleh kaum Muslim. Bila kaum Muslim mengikuti jejak kaum kafir dalam program partai dan pembinaan partai, dengan menyuntikkan semangat materialism dan sekulerisme, maka hampir pasti kaum Muslim akan mengalami kekalahan.
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang biawak (yang sempit), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim).
Semangat Perang Badar ini sebenarnya bukan hanya untuk partai. Tapi semangat ini sangat penting untuk seluruh aspek kehidupan kaum Muslim. Semangat hidup tanpa menyerah, semangat hidup untuk menjayakan Islam dan semangat hidup untuk menyerahkan total keberhasilan pada Allah. Insya Allah, bila kita terapkan dalam kehidupan, Allah akan memberikan kemenangan dan memberikan kebahagiaan kepada kita, baik di dunia maupun di akhirat.
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS al Anfal 9-10). Wallahu azizun hakim. II
Nuim Hidayat Dachli