Dalam kajian di Insists Saturday Forum, peneliti budaya Jawa Arif Wibowo membantah pendapat Van Lith yang menyatakan bahwa orang Jawa adalah orang yang dijiwai kebudayaan pra Islam.
Wartapilihan.com, Jakarta –“Dalam pandangan Van Lith –seorang Pastur Jesuit- kebudayaan Jawa hanya menerima pengaruh tipis dari Islam yang sering disimbolkan dengan pakaian. Baginya orang Jawa merupakan orang yang dijiwai kebudayaan pra Islam. Kemudian dia memakai kain dan baju Islam, tetapi begitu tipis dan begitu berlubang-lubang sehingga kulitnya yang asli masih kelihatan,” kata Arif Wibowo, Koordinator Pusat Studi Peradaban Solo di Kalibata,Jakarta hari ini (4/11). Karena itu menurut Van Lith, orang Jawa yang masuk Katolik justru disarankan untuk menjauhkan diri dari kebudayaan Eropa, karena masuk Katolik bukan berarti menerima peradaban Barat. Sebaliknya orang Katolik justru harus melanjutkan hidupnya dalam kebudayaan Jawa.
Untuk mewujudkan gagasannya tentang kebudayaan Jawa yang berujung pada Katolik itu, Van Lith mendirikan Kolese Xaverius, sebuah sekolah untuk mendidik calon guru. Dengan dilaksanakannya politik etis pada waktu itu oleh Belanda, memang kebutuhan guru sangat tinggi. “Peluang inilah yang ditangkap oleh Van Lith. Kolese Xaverius yang didirikan Van Lith mampu mencetak para guru dan imam pribumi yang tersebar hampir di seluruh Jawa bahkan Indonesia. Inkulturasi adalah sebuah proses olah budaya dimana seorang Katolik tetap merasa sebagai orang Katolik 100 persen sekaligus juga orang Jawa 100 persen. Konsep inkulturasi budaya yang ditawarkan para rohaniawan Katolik tersebut dapat diterima oleh masyarakat secara luas,” terang Arif.
Pendapat Van Lith ini, menurut Arif, ditentang oleh Zamakhsyari Dhofier. Menurut cendekiawan ini, banyak orang Jawa yang proses Keislamannya terhenti pada Keislaman raga, karena tidak mendapatkan bimbingan secara intensif pasca perpindahan keagamaan penduduk pulau Jawa dari Hindu Budha ke Islam. Akan tetapi karena interaksi yang intens dan terus menerus, orang Jawa akhirnya mendefinisikan dirinya sebagai Muslim.
Oleh karena itu, berbeda dengan Van Lith, menurut CC Berg dan Nakamura, dasar dari kebudayaan Jawa adalah Islam : “Bersama-sama dengan CC Berg, Nakamura tidak melihat polarisasi santri abangan sebagai polarisasi antara kebudayaan-kebudayaan pribumi dan asing, melainkan sebagai sebuah gejala yang terjdi dalam konteks Islamisasi yang berlangsung terus menerus di Indonesia. Suatu proses yang tidak hanya ditujukan kepada mereka yang bukan Islam, tetapi khususnya terhadap mereka yang telah Islam, namun hanya secara nominal dan statistik. Varian abangan, oleh karenanya menurut mereka, bukanlah varian yang berdiri sendiri. Lebih-lebih, ia bukanlah kebudayaan Jawa aslu. Ia tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah gejala yang ada dalam konteks proses Islamisasi di Indonesia. Dan dengan demikian, menurut pendapat ini, tradisi santri itulah yang harus dipandang sebagai lapisan dasar dari kebudayaan Jawa.”
Pendapat ini didasari oleh fenomena yang ada di masyarakat dimana kaum abangan atau Islam nominal, sangat bergantung pada santri dalam ritual utamanya.
Sementara menyoal perkembangan Kristenisasi, Arif Wibowo, menyatakan bahwa sebelum tahun 1965 prosentase jumlah umat Kristen se-Surakarta tidak sampai 20 %. Namun pasca G30S/PKI, menurut Mc. Ricklefs, hingga tahun 1990, prosentase jumlah umat Kristen se-Surakarta mencapai angka 25 %. “Kini bahkan mencapai 28%.”
M.C Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa : Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, menunjukkan bahwa antara tahun 19760 – 1971, jumlah jemaat dari 5 denominasi Protestan tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778. Sebuah peningkatan lebih dari 220 %. Pada tahun 1965-1967, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 %, sementara pada tahun 1968-1971, tingkat pertumbuhannya 13,7 %. Sebagian besar peralihan keyakinan atau konversi di dalam kajiannya terjadi secara berkelompok. Individu-individu, biasanya adalah pemimpin desa, berbicara diantara mereka, mengenai kemungkinan menjadi orang Kristen secara bersama-sama. Kadang mereka melakukannya sebagai suatu kelompok besar, tetapi yang lebih sering terjadi adalah suatu kelompok akan diikuti kelompok lain yang terakit selama kurun waktu beberapa bulan atau tahun.
Singgih Nugroho, Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengabadikan peristiwa ini dalam tesisnya yang berjudul “Baptisan Massal Pasca Peristiwa 30 September 1965 (studi kasus perpindahan agama ke Kristen di Salatiga dan sekitarnya pada tahun-tahun sesudah 1965)”.
Dalam tesisnya, Singgih Nugroho, sebagaimana di banyak buku lain, menggambarkan betapa tindakan kekerasan yang tidak jarang berujung pada pembunuhan, yang dilakukan secara kolaboratif antara milisi Islam dalam hal ini Anshor sebagai tertuduh utama dengan pihak militer, telah menjadikan banyak simpatisan PKI memilih menjadi Kristen ataupun Katolik. Averry T Willis menyebut angka yang cukup fantastis, yaitu dua juta orang yang akhirnya memilih menjadi Kristen/Katolik, seperti tercermin dalam judul bukunya“Indonesian Revival : Why Two Millions Came to Christ, meski angka ini diragukan oleh banyak kalangan, karena dinilai terlalu bombastis.
Menurut Arif, mereka tidak sekedar berpindah agama, dendam ideologis telah mengantarkan pemeluk Kristen/Katolik baru eks PKI ini lebih agresif dalam beragama ketika bersinggungan dengan umat Islam. Singgih Nugroho menyatakan,”Bab ini telah menunjukkan bahwa agen “Kristenisasi” tidak selalu gereja, tetapi juga sebagian warga risten eks tapol yang mempunyai sejarah sendiri dalam berhubungan dengan segala hal yang berbau “Islam” semasa hidup di tahanan maupun keluarga mereka semasa pembantaian 1965-1966…Keputusan mereka untuk pindah dari Islam dan konsisten memeluk Kristen serta turut menyebarkannya seusai dibebaskan, walaupun mendapat gugatan dari sebagian kalangan Islam maupun umat Kristen sendiri, merupakan bagian penting dari sejarah pergumulan hidup mereka untuk mendefinisikan dirinya dan menciptakan ruang otonom yang memungkinkan untuk menjadi subyek, bukan sekedar obyek, sejarah lingkungannya.”
Tapi, meski demikian, pengalaman Arif Wibowo menelusuri desa-desa yang terdampak Kristenisasi itu, banyak diantara mereka yang kemudian kembali ke Islam lagi. “Setelah tua mereka tidak menemukan ketenangan hidup sebagaimana di Islam. Di dalam Kristen/Katolik tidak ada bacaan-bacaan dzikir sebagaimana di Islam.” ||
Izzadina