Dulu ada dua hal yang membuat saya berdebar bila memikirkannya.
Wartapilihan.com, Depok– Petama, dengan siapakah saya akan menikah ? Banyak sih yang mau, namun gagal dan gagal. Sampai ada seseorang teman mengatakan, ” Kapan kamu mau menikah ?
Kalau kamu mencari seperti apa yang ada dalam lukisan dan tulisanmu, kau tidak akan mendapatkannya “.
Sementara usia saya bejalan mendekati empat puluh tahun.
Tapi ….akhirnya saya menikah juga.
Kedua, bagaimana kalau saya mati muda, sedangkan saya seniman yang siang dan malam hanya memikirkan untuk berkesenian, karena ingin menjadi maestro terkenal.
Dari sudut pandang aqidah hidup saya sedikit menyimpang karena yang saya puja adalah estetika, bukan Allah Sang Pemilik Estetika.
Tapi… setelah menelusuri jalan hijrah yang cukup melelahkan akhirnya saya dipanggil ustadz juga.
Di kampus saya, seniman itu nilainya tinggi.
Kami tidak menganggap penyanyi dan bintang film itu seniman.
Kami sebut mereka itu pekerja seni.
Bagi kami seniman itu lembut, romantis, idealis, baik hati, humanis.
Sampai-sampai ada yang berpikiran bahwa seni hanyalah untuk seni, bukan untuk mencari pengakuan, penghargaan dan kekayaan.
Mahasiswi di kampus saya kalau berbicara, masyaAllah merdu merayu, kalau belum terbiasa dengan mereka jantung pasti berdesir dan klepekan.
Saking nyenimannya kami, dalam pandangan kami senimam itu memeliki perasaan mendalam setara dengan ulama yang selalu risau dan diliputi rasa sedih karena memikirkan keadaan umat yang malas, bodoh, lemah dan tertindas.
Di kampus saya kalau ada yang besikap kasar, selalu ada yang menyindir ; “Dia salah masuk, semestinya bukan di sini tapi di Magelang, tempat pendidikan tentara”.
Sewaktu saya pertama kali bergabung dalam sebuah lembaga dakwah, terus terang agak sedikit kaget juga, karena ada sebagian ustadznya yang saya lihat rada kasar bicaranya, tak selembut teman senimanku.
Tapi sekarang saya pun tak selembut seniman lagi dan juga tak mau senewen menghayalkan hidup penuh kelembutan.
Sekarang saya jadi orang kasar juga karena sering mengecam rezim dan reformasi abal-abal ini.
Sampai-sampai ponakan saya mengatakan bahwa saya memiliki kepribadian antara seniman dan seorang agamis yang sekaligus pemberontak.
Kampus saya adalah Sekolah Tinggi Seni Rupa Asri Yogyakarta. Sekarang menjelma menjadi ISI ( Institut Seni Indonesia ).
Dosen-dosen kami adalah Maestro kelas dunia.
Dan kampus kami adalah kampus paling nyentrik di Dunia.
Baik gaya berpakaian mahasiswanya maupun cara berbicara dan cara hidupnya, nyentrik habis.
(Iwan Wientania)