Anakku, Inilah Arti: Sontoloyo, Genderuwo, dan Sudahlah

by

Saking masif-nya beberapa kata ‘ajaib’ yang berseliweran di berita online, talkshow TV, media sosial, akhirnya sampai juga ke telinga anakku yang masih SD.

Wartapilihan.com, Depok—“Ayah, sontoloyo apaan sih? Abang (sebutan anak kedua saya kalau di rumah) gak pernah denger dari Bu Guru atau  temen-temen, tapi kok di TV dan di google banyak…?”,  tanya si Abang di suatu weekend. Kami punya aturan, mereka boleh akses internet hanya pada saat weekend dengan durasi terbatas atau kalau ada tugas dari sekolahnya.

Daripada ribet menjelaskan bahwa ini ramai karena pidato seorang petinggi negeri, atau ini karena masa-masa panas perpolitikan 2019, mending saya ajak si Abang lihat-lihat di wikipedia saja ah, gak mungkin diajak lihat-lihat berita online atau twitter..yekaaan…

Syukurlah apa itu sontoloyo ada tersaji di wikipedia, begini:

Sontoloyo adalah sebutan bagi pemilik pekerjaan sebagai pengembala Itik atau Bebek atau disebut juga Tukang Angon Bebek di Pulau Jawa. Seorang sontoloyo biasanya mengembala beratus ekor bebek dengan cara berpindah mengikuti musim panen padi di daerah pesawahan untuk menggembalakan bebeknya.

Konon profesi mengembala beratus bebek akan menyulitkan orang lain ketika rombongan bebek tersebut menyebrangi jalan, dan terkadang bebek tersebut ada yang memakan padi yang belum dipanen, sehingga orang lain yang tidak sabar akan mengumpat “Dasar sontoloyo”.

Bereees, visualisasi dari sontoloyo juga banyak, cukup dengan kata kunci sontoloyo atau angon bebek. Si Abang puass…

“Kalau Genderuwo, Yah?”

Wah, ini juga kata yang baru-baru ini lagi nge-hitz, ya..

Kembali wikipedia menjadi penolong saya. Tertulis:

Genderuwa (dalam pengucapan Bahasa Jawa: “Genderuwo”) adalah mitos Jawa tentang sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh. Genderuwa dikenal paling banyak dalam masyarakat di Pulau Jawa, Indonesia. Orang Sunda menyebutnya “gandaruwo” dan orang Jawa umumnya menyebutnya “gendruwo”.

Istilah genderuwa yang sebenarnya diduga berasal dari bahasa Kawi gandharwa yang berakar dari bahasa Sanskerta gandharva. Gandharwa dalam kepercayaan Hindu dan Buddha (yang merupakan kepercayaan dominan di zaman kerajaan Hindu Buddha di nusantara) digambarkan sebagai makhluk berwujud manusia berjenis kelamin pria yang tinggal di kahyangan.

Dalam kepercayaan Jawa, tidak semua genderuwa bersifat jahat, ada pula genderuwa yang bersifat baik. Genderuwa yang bersifat baik ini dipercaya biasanya menampakkan wujudnya sebagai seorang kakek tua berjubah putih yang kelihatan amat berwibawa. Genderuwa yang baik tidak bersifat cabul seperti saudara sebangsanya yang bersifat jahat, genderuwa yang baik seringkali membantu manusia seperti menjaga tempat gaib atau rumah dari orang yang berniat tidak baik, bahkan perampok. Pernah juga terdengar bahwa genderuwa yang bersifat baik kadang-kadang membantu menyunat anak-anak dari keluarga tidak mampu yang saleh beribadah.

Visualisasi Genderuwo juga lengkap…kembali si Abang puass

Dalam hati penulis bersyukur dia tidak tanya hiruk-pikuk Tampang Boyolali versus A*U

Iseng-iseng, saat sendiri, Penulis cek ke wikipedia apa itu A*U? Ternyata wikipedia otomatis mengarahkan pencarian ke halaman berikut:

“Istilah anjing mengacu pada serigala hasil domestikasi Canis lupus familiaris. Anjing pernah diklasifikasikan sebagai speseies yang berbeda dari serigala, Canis familiaris, oleh Linnaeus pada tahun 1758. Pada tahun 1993, Lembaga Smithsonian dan Asosiasi Ahli Mamalia Amerika menetapkan anjing sebagai subspesies serigala abu-abu Canis lupus. Di Indonesia, anjing hutan yang asli Pulau Sumatera dan Jawa disebut ajak.”

A*U yang sejatinya adalah bahasa Jawa untuk binatang yang namanya anjing. Arti aslinya bergeser ketika digunakan percakapan ‘orang dewasa’ secara biologis dan digunakan sebagai bahasa percakapan saat memanggil homo sapiens. Beberapa petinggi menyebut bahwa sebutan ini sudah biasa di masayarakat daerah itu.

Penasaran, Bapak Mertua Penulis yang kebetulan berasal dari daerah itu, hanya berkomentar pendek: “Biasa di kalangan mereka saja, tetep saja tidak berlaku di kalangan luar mereka”.

Prase yang tidak kalah ramainya: Muka Boyolali/Tampang Boyolali/wajah boyolali.

Sejauh penelusuran di berbagai media online atau di jagad twitter, hanya ada berbagai berita tentang Pidato Prabowo pada suatu acara yang dalam pidato tersebut, ada ungkapan ‘Tampang Boyolali’. Lepas dari konteksnya yang dalam acara internal & bahasa candaan, ungkapan ini mendapat respon negatif. Tidak kurang Bupati Boyolali sendir yang berkomentar keberatan dengan ungkapan ini.

Syukurlah, Prabowo telah menyampaikan permintaan maafnya. Penulis menyaksikan video permintaan maaf Prabowo di akun @Dahnilanzar. Berat lho Pak, berani minta maaf. Berat karena harus mengalahkan ego dan gengsi yang tinggi (Hanung W L/ Copywriter Mizanstore.com)

Semoga anakku berani minta maaf bila berbuat salah. Kata-kata keren: Maaf, Tolong, dan Terima Kasih, kadang dilupakan. Sederhana, sangat mudah dipraktikkan. Tapi, tidak mudah membuat diri kita mau melakukannya. Cobalah terus dan terus…kalau berat, sudahlah…

Wahai petinggi negeri, politisi, selebriti, dan siapapun yang punya akses ke saluran publik, berkatalah yang baik, biar ‘gue’ gak repot harus menjelaskan kata-kata ajaib begini ke anak-anakku. Please…

Abu Faris,
Praktisi Media sosial tinggal di Depok
https://www.linkedin.com/in/kus-kusnadi-42214635/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *