Rencana anggaran pendapatan dan belanja pemerintah tahun depan, dinilai terlalu percaya diri. Solusi menutup anggaran dari pajak, perlu dipertimbangkan. Ketimpangan dan daya beli, menjadi pekerjaan rumah.
Wartapilihan.com, Jakarta –Pada 16 Agustus lalu, dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pemerintah menyampaikan Nota Keuangan yang juga menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2018. Nota keuangan ini disampaikan langsung Presiden Joko Widodo.
Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan, belanja pemerintah pada tahun 2018 direncanakan sebesar Rp 2.204,3 triliun. Lebih tinggi dibandingkan tahun ini yang sebesar Rp 2.133,2 triliun. Belanja negara tersebut meliputi, belanja pemerintah pusat Rp 1.443,2 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 761 triliun.
Sementara pendapatan negara ditargetkan Rp 1.878,4 triliun, naik dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 1.736 triliun. Rinciannya adalah pendapatan dalam negeri Rp 1.877,2 triliun, terdiri dari perpajakan Rp 1.609,3 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 267,8 triliun. Selanjutnya hibah Rp 1,1 triliun.
Dengan postur tersebut, maka defisit pada tahun depan diproyeksi 2,19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 325,9 triliun. . Sementara, terkait pertumbuhan ekonomi, pemerintah menargetkan, pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa di raih di angka 5,4%-6,1%.
Patokan pemerintah ini, dinilai banyak pihak terlalu optimis, atau bisa disebut cenderung ambisius. Rancangan anggaran ini juga dianggap kurang belajar dari pengalaman sebelumnya, di mana pemerintah gagal memenuhi target anggarannya sendiri.
Karena defisit yang besar itu, tahun lalu, pemerintah pun menggagas kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang cenderung memanjakan para pengemplang pajak. Selain itu, pemerintah juga banyak memangkas anggaran kementerian dan belanja agar anggaran bisa lebih ramping.
Agar tidak terulang terjadinya kedodoran anggaran, pemerintah perlu memiliki perencanaan dan strategi yang ketat. Salah satu yang harus diperhatikan saat ini adalah upaya menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil dalam upaya mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen.
Ini penting, karena daya beli masyarakat atau konsumsi rumah tangga menjadi salah satu kontributor penyumbang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, harga pangan juga harus dijaga tetap stabil. Di sini antisipasi terkait persoalan kondisi iklim atau cuaca, harus lebih serius. Hal ini perlu diantisipasi oleh pemerintah. Apalagi Perkiraan cuaca dari BMKG, tahun depan diprediksi tidak lebih baik dari tahun ini.
Asumsi makro ekonomi dalam Nota Keuangan Pemerintah yang perlu diperhatikan adalah penetapan kurs rupiah sebesar 13.500 per dolar. Angka tersebut rentan mengalami perubahan melihat faktor eksternal seperti kenaikan Fed rate di Amerika Serikat, hingga fluktuasi harga minyak. Juga kondisi geopolitik yang kurang stabil seperti meningkatnya ketegangan di semenanjung Korea akan memberikan sentimen negatif terhadap kurs rupiah di tahun depan.
Usaha menutup anggaran dengan mengandalkan pemasukan dari pajak juga perlu ditinjau. Saat ini proporsi perpajakan berkisar antara 11-12% dari PDB. Di tahun 2018, setelah berakhirnya program pengampunan pajak, maka sumber pendapatan pajak tersebut akan sangat bergantung pada optimalisasi perjanjian perpajakan internasional dan efektivitas dari pelaksanaan Perppu tentang AEOI.
Namun, mengandalkan AEOI pada tahun depan dirasa akan cukup sulit karena prosesnya memakan waktu yang lama. Untuk bisa sepenuhnya menerapkan AEOI, Indonesia butuh setidaknya waktu 3 tahun hingga 5 tahun.
Karenanya, jika target pajak dinaikkan terlalu tinggi, ancaman terjadinya short fall cukup besar. Oleh karena itu dalam menyusun target penerimaan pajak, Pemerintah diharapkan lebih hati-hati agar desain anggaran tetap kredibel.
Belanja anggaran negara tahun depan juga perlu memperhatikan sektor riil. Pemerintah harus bicara sektor lapangan usaha pertanian-kehutanan-perikanan, sehingga insentif sektor ini perlu dipertebal. Karena dari tahun ke tahun produktivitas sektor tersebut masih terbilang sangat kecil, padahal di sana lebih dari 30 persen lapangan pekerjaan.
Di tahun 2018, sektor pertanian dan perikanan, pertumbuhannya diproyeksikan paling tinggi sebesar 4%. Artinya tetap yang terkecil dari semua sektor. Kalau ingin sektor tersebut efisien dan produktif, maka perlu ada peningkatan lewat program modernisasi dan penerapan teknologi tepat guna serta investasi yang tepat.
Pekerjaan rumah pemerintah tahun depan, adalah masalah ketimpangan kesejahteraan. Angka Gini Rasio saat ini masih ada di angka kuning yaitu 0,39 yang berarti bahwa ada 1% orang yang menguasai 39% pendapatan nasional. Ini berarti, yang kaya tetap makin kaya. Yang miskin tetap makin miskin. Pemerintah perlu kembali mengevaluasi mengapa sistem perekonomian saat ini, tidak memberikan distribusi manfaat yang setara di masyarakat.
Rizky Serati