Agus Salim : Diplomat Indonesia Terbaik

by
Sumber Foto: https://twitter.com/tukangpulas/

Nama kecil Agus Salim, adalah Masyhudul Haq (pembela kebenaran). Ayahnya yang alim, Angku Sutan Muhammad Salim memberi nama itu mungkin agar suatu hari kelak anak menjadi pembela kebenaran Islam.
Pengasuh Masyudul kecil yang berasal dari Jawa, sering memanggulnya dengan ‘den bagus’, hingga akhirnya keluarga itu mengubah namanya menjadi Agus Salim.

Wartapilihan.com, Depok– Agus Salim lahir di Kota Gadang, Buki Tinggi, Minangkabau pada 8 Oktober 1884. Ia termasuk anak bumiputera yang bisa menikmati pendidikan Belanda. Ibunya bernama Siti Zainab.
Ayahnya adalah jaksa tinggi di Riau, sedangkan kakeknya dari fihak ayah, Abdur Rahman Datuk Rangkayo Basa adalah jaksa tinggi di Padang. Sedangkan ayah dari kakeknya,Tuanku Imam Syekh Abdullah bin Aziz adalah ulama panutan di Padang. Dari fihak ayahnya pula, Agus Salim ada hubungan darah juga dengan Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Ibu dan ayah Agus Salim sendiri masih berkerabat.

Sejak kecil telah nampak kecerdasan Agus Salim. Selepas dari pendidikan Islam di kampung, Salim menempuh pendidikan formal yang bergengsi, yaitu sekolah Belanda Europeese Lageree School (ELS). Salim diterima di sekolah itu, selain karena kecerdasannya juga karena jabatan ayahnya sebagai jaksa.

Setelah menamatkan belajar di ELS, Salim pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah, Hogere Burger School (HBS). Karena kecerdasannya, guru-guru Belanda itu memuji dan memperlakukannya sebagai murid khusus. Salim berhasil lulus dengan nilai terbaik untuk seluruh HBS Hindia Belanda yang ada di Batavia, Bandung dan Surabaya pada tahun 1903. Namanya terkenal di kalangan terpelajar Belanda.

Nama Agus Salim terkenal, hingga sampai ke telinga Raden Ajeng Kartini. Pada tahun 1903 Kartini berkeinginan agar Salim disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran. Kartini berniat mengalihkan beasiswa sebesar 4800 gulden untuk Salim, dalam korespondensinya dengan Nyonya Abendanon. Tapi akhirnya Salim tidak jadi pergi ke Belanda.
Dalam suratnya kepada Nyonya JH Abendanon, 24 Juli 1903, Kartini menulis tentang Agus Salim yang baru saja lulus dari HBS (Hogere Burger School), Sekolah Menengah Masa Kolonial:
“Kami tertarik sekali kepada anak muda ini, kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatra asal Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya Cuma f 150 sebulan. Jika dikehendaki, rasanya mau dia bekerja sebagai kelasi kapal, asal saja boleh ia berlayar ke Negeri Belanda.

…Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulden. Bila tidak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulden yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain.
…Banyak sekali yang dapat dilakukan oleh Salim sebagai dokter untuk rakyatnya. Dan sesungguhnyalah, adalah idaman Salim untuk bekerja bagi rakyat kita.
…Salim sendiri tidak tahu apa-apa : ia tidak tahu eksistensi kami malah. Yang diketahuinya hanyalah bahwa dengan sepenuh hati ingin ia menyelesaikan pelajarannya, agar kemudian dapat bekerja untuk rakyatnya. Dan ia juga sadar bahwa itu suatu idaman mustahil, karena ia tak mempunyai dana.” (Lihat buku Agus Salim, Pesan-Pesan Islam, Mizan, 2011).

Menurut Syafii Maarif, surat itu ditulis Kartini setengah abad sebelum Salim memberi kuliah tentang selama enam bulan di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Usia Salim ketika itu sudah mencapai 69 tahun. Salim lahir 8 Oktober 1884 dan wafat pada 4 November 1954.
Kuliah di Cornell University berlangsung antara Januari sampai dengan Juni 1959. Ada 31 topik perkuliahan yang diberikan, diawali kuliah tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, diakhiri dengan pembahasan periode Nabi Muhammadi di Madinah (622-632M).
Selama hidupnya, karena ketekunannya Salim berhasil menguasai banyak bahasa asing, diantaranya : Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Karena kepintarannya, Salim akhirnya diangkat menjadi penerjemah Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Di Saudi, terutama di Mekkah, ia mendalami ilmu agama dengan pamannya Syekh Ahmad Khatib, yang saat itu juga menjadi imam di Masjidil Haram.

Salim pernah kerja di birokrasi pemerintah Belanda, tapi beberapa saat kemudian ia keluar. Ia juga pernah kembali ke kampungnya mendirikan sekolah di sana, selama lebih kurang tiga tahun. Tapi ia tidak betah di kampung dan akhirnya kembali ke kota di Jawa. Oleh komisaris besar polisi pemerintahan Belanda, Salim diutus untuk memata-matai gerakan Sarekat Islam dan Tjokroaminoto. Bukannya menyelidiki, malah ia akhirnya berteman akrab dengan Tjokro dan bergabung ke SI.

Setelah itu Salim terjun ke dunia jurnalistik (1915). Di Harian Neratja ia menjabat sebagai redaktur. Ia kemudian berpindah dan menjadi pemimpin redaksi di harian Hindia Baroe di Jakarta. Ia juga pernah mendirikan surat kabar Fadjar Asia.
Salim makin menonjol ketika menjadi salah satu pengurus besar Sarekat Islam. Ia sering diidentikkan dengan Tjokroaminoto, sebagai dwitunggal dalam pergerakan SI.

Selanjutnya Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merancang UUD 1945. Bahkan ia termasuk anggota Panitia Sembilan yang menyusun mukaddimah UUD 1945 bersama : Soekarno, Hatta, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, Kahar Muzakkar, AA Maramis, dll

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kemudian ia dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir dan Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.
Kecerdasan dan kepiawaiannya dalam diplomasi, menjadi Indonesia diakui kemerdekannya oleh negara-negara luar. Pada tahun 1947, setelah pertemuannya dengan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hasan al Bana, akhirnya Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 Salim mengarang buku dengan judul : Bagaimana Takdir, Tawakkal dan Tauhid Harus Dipahamkan? Yang kemudian diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakkal. (Johan Prasetya, Lihat Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa Yang Terlupakan, Saufa, Agustus 2014).

Azyumardi Azra menjelaskan bahwa pada era pemerintah kolonial Belanda, Salim bersama HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis telah berusaha meningkatkan taraf hidup kaum bumiputra melalui program-program Sarekat Islam. Demikian juga sejak 1925, Salim ikut membina keagamaan para intelektual, mereka yang berpendidikan Barat , terutama yang tergabung dala Jong Islamieten Bond (JIB). Dalam hal ini Salim berusaha menarik ereka untuk mengamalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam posisi sebagai intelektual, Salim mendapat kehormatan mengajar di Cornell University, salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat.

Di Cornell University AS, Salim dalam kuliah-kuliahnya berusaha memperkenalkan Islam dari sumbernya yang asli. Pendekatan ini dia lakukan untuk mengubah pola fikir para mahasiswa non Muslim yang keliru terhadap Islam. Kekeliruan tersebut terutama karena mereka mengenal Islam bukan dari sumber-sumber yang asli. Mereka mengenal Islam dari karya-karya novel, perjalanan orang-orang Barat dan kajian-kajian para orientalis. Karena itu dalam kuliah-kuliahnya, Salim mengemukakan argumentasi-argumentasi dari Al Quran dan juga Injil.

Azyumardi melanjutkan, dalam kuliah-kuliah Salim di Cornell University, ada beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi :
Pertama, Salim berusaha memperkenalkan Islam sebagai agama kedamaian. Karena itu orang Muslim harus tidak tercela, berbuat baik dengan mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Pada sisi lain Islam juga berarti menyerahkan diri kepada kehendak Allah SWT dengan (berbagai amal) usaha yang maksimal.

Kedua, Salim memperkenalkan agar Sirah (riwayat hidup) Muhammad saw, melalui cara itu tergambar betapa beratnya ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dan betapa beratnya pula berhadapan dengan tantangan kaum Musyrik Makkah tatkala beliau menyampaikan pesan Ilahi. Nabi mendapat intimidasi dari kaumnya yang tidak mau meninggalkan berhala. Bahkan mereka menuduh beliau dengan berbagai tuduhan, seperti menderita penyakit gila, ayan, sihir dan sebagainya. Demikian juga kaum Yahudi dan Nashrani yang sebelumnya sudah mendapat prophecy tentang kedatangan Nabi Muhammad. Tetapi begitu Nabi Muhammad tiba, mereka menolaknya dan atau ada orang Yahudi dan Nashrani yang pura-pura beriman, tetapi ketika kiblat dipalingkan ke Masjidil Haram, mereka meninggalkan Islam.

Ketiga, Salim memperkenalkan bahwa ajaran dari Allah SWT tetap ajaran Tauhid (monotheisme) bukan polytheisme. Karena agama yang lama tidak berjalan semestinya, maka Allah mengutus Nabi Muhammad untuk kembali mengajarkan Tauhid.
Selain itu Salim juga mengkaji Islam dalam konteks sejarah. Ia ingin memperkenalkan Al Quran secara kronologis. Tetapi idenya itu tidak sepenuhnya menjadi kenyataan, karena disamping membutuhkan waktu yang cukup lama (menurutnya 35 tahun) juga tidak semua ayat Al Quran mempunyai Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat).

Salim yang fasih berbahasa Arab dan Inggris ini, adalah orang yang paling memahami Islam di Sarekat Islam. Deliar Noer mengutip Dr M Amin seorang ahli jiwa mengatakan bahwa Salim adalah seorang yang jenius. Tokoh besar ini juga mempunyai kepribadian yang menarik. Tawaran-tawaran kerja dari pihak Belanda yang memungkinkan ia hidup dalam serba kecukupan, ditolaknya. Ia lebih memilih hidup sederhana dan kadang-kadang memikul beban berat karena banyaknya orang, terutama pemuda-pemuda yang melindungkan diri kepadanya sebagai anak didiknya. Hamka menyebut Salim memilih kehidupan seorang sufi.

Kepercayaan dirinya sangat tinggi. Sehingga ia tidak mengirimkan anak-anaknya ke sekolah, tapi mengasuhnya sendiri di rumah. Sehingga anak-anaknya secara resmi tidak ada yang bersekolah tinggi.

Ia seorang pembicara yang lihai, yang bisa memainkan perasaan dan tingkah laku pendengarnya. Hadirin akan bergantung pada bibirnya, bila ia berpidato. Salim juga seorang pendidik yang handal. Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo –tokoh-tokoh Masyumi ini adalah anak didiknya. Roem dalam bukunya Bunga Ramai Dari Sejarah menceritakan dengan piawai bagaimana ia dengan Kasman sering mendatangi rumah Agus Salim untuk belajar kepadanya.

Berikut cerita Roem :
“Pada suatu hari di tahun 1925 Kasman dan Soeparno mengajak penulis ikut pergi ke rumah Haji A Salim di Gang Tanah Tinggi. Kasman dan Soeprno pelajar Stovia kelas II, bagian persiapan, sedang penulis pelajar kelas satu. Pada permulaan tahun itu Samsuridjal mendirikan Jong Islamieten Bond, dan Haji A Salim menjadi penasihatnya. Kasman dan Soeparno, anggauta Pengurus Cabang Jakarta, ingin tahu bila Haji A Salim mulai memberi kursus agama Islam.
Ajakan itu penulis sambut dengan gembira. Penulis sudah sering mendengar nama Haji A Salim dan dari apa yang penulis dengar ia adalah seorang pemimpin rakyat, seorang pemimpin Sarekat Islam terkenal pandai tentang agama Islam dan mahir dalam berbagai-bagai bahasa.

Jalan ke Tanah Tinggi dari Asrama Stovia di Gang Kwini memakan waktu kurang lebih 10 menit dengan sepeda. Sampai setasiun Senen jalannya sudah diaspal, seterusnya masih tanah dan banyak berlobang. Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak. Hari itu tidak hujan, sampai di rumah Haji A Salim kami melihat ia duduk di serambi.
Kami disambut dengan sikap ramah yang sangat menarik. Sesudah bersalaman ia mulai bicara yang ditujukan kepada Kasman,”Hari ini Anda datang secara biasa. Kemaren peranan sepeda dan manusia terbalik.” Penulis tahu kemaren Kasman sudah datang sendiri. Kasman yang melihat bahwa Soeparno dan penulis tidak mengerti apa yang dikatakan Haji A Salim menjelaskan,”Kemarin saya datang dengan ditunggangi sepeda, tidak saya yang menunggang sepeda.”

Tanah di Jakarta tanah liat terutama di beberapa bagian. Kalau setengah basah tanah melekat di roda sepeda, sehingga sepeda tidak dapat berputar sama sekali. Kemaren Kasman di tengah jalan dikejar hujan dan mengalami nasib yang Haji A Salim ceritakan. Kasman menyambung,”Dan kemarin saya katakan : jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita.” Kami bercakap-cakap dengan bahasa Belanda bahasa kami sehari-hari. Di Asrama Stovia kami hidup bersama dengan pelajar-pelajar dari seluruh daerah Hindia Belanda. Bahasa daerah dipakai juga kalau kita kebetulan dalam lingkungan orang dari satu suku bangsa.

Yang dikatakan oleh Kasman tadi mempunyai arti seni sastra, kalau dikatakan dalam Bahasa Belanda. Dalam Bahasa Belanda ada dua perkataan yang bunyinya sama, tapi ditulis berbeda, yaitu leiden artinya memimpin dan lijden artinya menderita. Waktu itu Kasman berkata,”Eeen Leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.” Kasman waktu itu sudah menunjukkan bakat seorang pemimpin. Ia suka mengatakan kalimat-kalimat bersayap. Dan ia mengatakan dengan suara yang agak lain dengan tekanan lebih tegas. Di kemudian hari, akan terbukti bahwa yang Kasman katakan itu, mengandung ramalan tentang diri sendiri.

Dalam hidupnya ia sudah empat kali dimasukkan penjara oleh yang berkuasa, sekali oleh rejim Belanda, tiga kali di bawah rejim Soekarno. Dua kali ia dibebaskan oleh pengadilan dan dua kali dihukum. Soalnya bukan karena kejahatan, tapi karena yang ia katakan. Kasman memang seorang yang senang dan pandai bicara. “Score” nya masih lumayan : 2 lawan 2. Memang penderitaan yang dialami oleh seorang pemimpin terutama di waktu penjajahan Belanda adalah dimasukkan penjara. Tapi itu tidak berarti bahwa pemimpin tidak hidup berbahagia, bahagia dalam keluarga, bahagia hidup bercita-cita.” (Lihat Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah 3, Bulan Bintang, 1983).

Roem, mantan Wakil Perdana Menteri RI ini sangat kagum dengan Haji Agus Salim. Ia katakana,”Semua yang mengenai Haji Salim menarik perhatian penulis, karena lain dari yang lain. Rumahnya rumah kampung, dengan meja kursi sangat sederhana, lain dari yang penulis duga dari orang yang sudah terkenal. Pakaiannya pun lain dari yang biasa dipakai orang…Haji A Salim memakai pakaian menurut model sendiri. Kesan pertama bukan piyama dan bukan pakaian untuk pergi ke luar rumah. Bahannya lebih tebal dari bahan piyama tapi modelnya lebih dekat piyama. Potongan bajunya seperti kemeja, tapi dipakai di luar celana dan tidak pakai jas lagi. Pakaian Haji Salim mendekati pakaian yang kita pakai di tahun-tahun pertama di Yogya. Yang paling menarik ia memakai tarbus warna merah dengan kucir hitam. Tarbus ini umumnya dipakai oleh golongan Arab dan keturunannya. Tarbus itu dipakai sampai saat umat Islam di Hindia Belanda di tahun tiga puluhan mengadakan aksi boikot barang-barang Italia, karena kekejaman-kekejaman yang dijalankan bangsa Italia terhadap orang Islam di Tripoli. Tarbus adalah “made in Italy.” Pada demonstrasi itu juga ada seorang pemilik mobil fiat membakar mobilnya. Sejak itu Haji A Salim menciptakan kopiah model sendiri, dibuat dari kain hijau (kain serdadu), yang ia namakan pici model OK.”

Roem bila datang ke rumah Haji Salim senantiasa mendapat pelajaran-pelajaran baru dan petunjuk-petunjuk. “Tentang ini di kemudian hari hampir semua orang akan mengatakan bercakap-cakap dengan Haji A Salim berarti mendengarkan pembicaraan yang brilyan,” terang Roem yang mengikuti jejak diplomat Salim.

Berikut kuliah terakhir Haji Agus Salim di Cornel University :
(Nabi) Muhammad di Madinah
Zaman dakwah di Makkah selama 13 tahun dimanfaatkan untuk membina agama dan ajaran agama. Kemudian tiba wahyu dengan izin untuk melawan dan membela diri, disusul oleh hijrah Nabi ke Madinah. Lalu masa 10 tahun di Madinah dijadikan masa pembinaan, mulanya pembinaan jamaah, lalu pembinaan Negara-Kota Madinah, dan kemudian pertumbuhan negara kebangsaan di tanah Arab.
Perdamaian atau gencatan senjata Hudaibiyah, yang telah saya kisahkan baru-baru ini, merupakan upaya Nabi Muhammad dengan sungguh-sungguh untuk mencapai suatu perjanjian non agresi selama 10 tahun.
Dasar perjanjian ini ialah bahwa kedua fihak yang berlawanan, yaitu kaum Quraisy di Makkah dan penduduk Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad telah mencapai suatu keseimbangan. Demikian seimbangnya sehingga tidak satupun dari kedua fihak itu yang berani memulai suatu petualangan untuk menyerang fihak lainnya kecuali bila terpaksa oleh keadaan.
Selanjutnya ada sejumlah besar puak dan suku lainnya di tanah Arab, yang selama kedua fihak yang bermusuhan itu masih berperang, hanya akan menghadapi kesulitan jika mereka hendak bersekutu dengan salah satu dari kedua fihak itu. Oleh karena itu, dalam perjanjian gencatan senjata selama 10 tahun, disebutkan salah syarat bahwa suku-suku Arab diberi keleluasaan menggabungkan diri dengan salah satu fihak, tanpa ancaman atau tekanan dari fihak lainnya.
Sebagai akibatnya, maka penyebaran agama Islam berjalan lebih pesat. Demikian pesatnya sehingga dalam masa dua tahun setelah diadakan perjanjian Hudaibiyah, jumlah pengikut Nabi Muhamad bertambah dua kali lipat. Dengan tambahan sama dengan jumlah pengikut sebelum Perjanjian Hudaibiyah, yaitu selama 13 tahun di Makkah dan enam tahun berikutnya di Madinah.
Dalam masa dua tahun itu, satu demi satu suku Arab mendatangi Nabi Muhammad, mengikrarkan sumpah baiat dan tunduk pada suatu ‘hukum tunggal’ bagi umat Islam, dan dengan demikian melepaskan kedudukan yang mandiri dan membaur dalam jamaah umat Islam. II Nuim Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *