ياأَيُّهَاالَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْشَاءَ إِنَّا للَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah kelak akanmemberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS At-Taubah: 28)
Wartapilihan.com, Jakarta —Ayat ini diturunkan pada tahun ke 9 Hijriah, di mana Rasulullah SAW mengutus Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Ali bin Abi Thalib RA untuk menyeru orang-orang musyrik untuk tidak melakukan haji setelah tahun tersebut. Tentu haji yang dimaksud adalah haji dalam tradisi jahiliyah yang dilakukan orang-orang musyrik, di mana salah satu kebiasaannya melakukan thawaf dengan telanjang, demikian yang tersebut dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ath-Thabari. “Nabi SAW memerintahkan kepadanya untuk menyerukan pengumuman di kalangan orang-orang musyrik, bahwa sesudah tahun ini (9 H) tidak boleh lagi ada orang musyrik berhaji dan tidak boleh lagi ada orang tawaf di Baitullah dengan telanjang. Dengan demikian, maka Allah telah menyempurnakan agama-Nya dan menetapkan hal ini sebagai syariat dan keputusanNya,” ( Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim ). Orang-orang musyrik adalah najis dalam aqidah dan fisik mereka.
Maksud firman Allah يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ Imam Abu ‘Amr Al-Auza’i berkata: “Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memutuskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang mendekati masjid-masjid kaum Muslimin.” Di mana pernyataan Khulafaa ar-rasyiddin kelima itu diikuti dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” Dengan demikian menurut pemahaman Umar bin Abdul ‘Aziz bukan hanya orang musyrik saja yang dilarang mendekati masjid melainkan juga umat Yahudi dan Kristen.
Imam Atha’ berkata: “Seluruh wilayah tanah haram adalah masjid.” Berdasarkan firman Allah swt, “Maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang musyrik itu najis, seperti yang tersebut dalam hadits shahih, “الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجُسُ”
(Orang yang beriman itu tidak najis). Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan meriwayatkan dari Qotadah dan Hudzaifah bahwa Allah menamakan orang-orang musyrik itu najis ialah karena tidak mandi ketika junub. Sama seperti Imam Atha’, para ulama seperti Imam Ath-Thabari, Imam Muslim, Imam An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Al-Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang bersabda, “Sesungguhnya orang yang beriman itu tidak najis.” Dalam pengecualian orang-orang kafir tersebut adalah kafir dzimmi, budak dan pelayan-pelayan kaum Muslimin. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28) Kecuali sebagai seorang budak atau seseorang dari kalangan ahli dzimmah (kafir dzimmi).
Telah diriwayatkan pula secara marfu’ dari jalur lain. Imam Ahmad mengatakan,
حَدَّثَنَا حُسَين حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنِ الْأَشْعَثِ -يَعْنِي: ابْنَ سَوَّار -عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا يَدْخُلُ مَسْجِدَنَا بَعْدَ عَامِنَا هَذَا مُشْرِكٌ، إِلَّا أَهْلُ الْعَهْدِ وَخَدَمُهُمْ ”
Telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Al-Asy’as (yakni Ibnu Siwar), dari Al-Hasan, dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh lagi memasuki masjid kita ini sesudah tahun ini seorang musyrik pun terkecuali kafir zimmi dan pelayan-pelayan (budak-budak) mereka. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid dengan predikat marfu’, tetapi menurut Imam Ibnu Katsir sanadnya berpredikat mauquf.
Menurut jumhur ulama, kenajisan tubuh dan diri orang-orang musyrik tidaklah najis, karena Allah SWT telah menghalalkan sembelihan Ahli Kitab. Diriwayatkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri bertutur, “Barang siapa yang berjabat tangan dengan mereka (orang musyrik), hendaklah ia berwudu,” diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari. Sebagai catatan, yang dihalalkan sembelihannya adalah kafir ahli Kitab seperti Yahudi dan Kristen, apabila orang-orang kafir selain mereka maka mereka najis aqidah, tubuh dan fisiknya, dengan demikian pendapat-pendapat ini bisa dikompromikan. Sedangkan Firman Allah:
{وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}
Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya. (At-Taubah: 28). Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam disebutkan, bahwa Ibnu Ishaq mengisahkan, orang-orang Muslim kala itu mengeluhkan, “Niscaya semua pemasaran akan terputus dari kita, perniagaan kita akan bangkrut, dan akan lenyaplah pangsa pasar yang biasa kita kuasai dan menghasilkan keuntungan bagi kita.” Keluhan tersebut mengingat kaum musyrik Arab yang mengunjungi Makkah kala itu menjadi sumber penghasilan besar kaum Muslimin, terutama ahlu Makkah. Lantaran itulah Rabbul ‘Izzah berfirman, “Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya. (At-Taubah: 28) Yakni dari sumber penghasilan lain, yakni Jizyah yang disebutkan oleh Allah dalam ayat selanjutnya: QS At-Taubah ayat 29. Seperti yang diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Hal itu merupakan ganti dari apa yang kalian (kaum Muslimin) khawatirkan, yaitu khawatir pemasaran kalian akan terputus. Maka Allah memberikan ganti kepada kaum Muslimin dari apa yang terputus dari kaum musyrik berupa, yakni upeti (pajak) yang diberikan oleh kaum kafir Ahli Kitab kepada umat Islam, yang disebut sebagai jizyah.” Pemahamaan atas tafsir ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah. Sa’id ibnu Jubair, Qatadah, Ad-Dahhak, dan para salaf ash-shalih lainnya.
Ayat ini turun setelah kembalinya Rasulullah dari perang Tabuk, di mana beliau ingin melaksanakan haji, namun dikarenakan di Makkah masih banyak orang-orang musyirk Arab yang melakukan thawaf itupun dengan telanjang, maka beliau bersabda, “Akan tetapi, orang-orang musyrik masih melakukan thawaf dengan telanjang. Aku tidak ingin melaksanakan haji sebelum hal itu dihapuskan.” Lalu beliau mengutus Abu Bakar Ash-Shiddiq, baru kemudian Ali bin Abi Thalib menyusul Abu Bakar, guna melarang orang-orang musyrik melakukan haji setelah tahun 9 H, serta memberikan waktu empat bulan agar kaum musyrik masuk Islam. Jika sudah berlalu tempo empat bulan, maka kaum musyrik akan diperangi. Abu Bakar sendiri mengumumkan, “Sesudah tahun ini, tak ada seorang musyrik pun boleh berhaji dan tak seorang pun boleh berthawaf dengan telanjang.” Ibnu Sa’ad sebagaimana dituturkan Syaikh Ramadhan Al-Buthy dalam _Fiqh Sirah_nya meriwayatkan bahwa rombongan Abu Bakar kala itu berangkat bersama 300 orang dari penduduk Madinah dengan membawa 20 ekor hewan kurban.
Di sini diperlihatkan keagungan Firman Allah ta’ala yang menyucikan hamba-hambaNya yang beriman dan menganggap najis orang-orang yang menyekutukanNya. Mereka tidak boleh mendekati Masjidil Haram, tidak boleh pula mendekati Tanah Haram Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawarah serta masjid-masjid kaum Muslimin. Ini juga menjadikan terusirnya orang-orang kafir itu. Kaum Muslimin biasa bermuamalah dengan orang-orang kafir di Makkah dan sekitarnya, sampai-sampai banyak yang merasa takut jatuh miskin lantaran biasa berbisnis dan bermuamalah dengan orang-orang musyrik tersebut. Sedangkan perintah Allah SWT, mengharuskan kaum musyrik terusir dan diperangi. Bahkan di penghujung hayatnya, Rasulullah SAW memerintahkan agar kaum Yahudi diusir keluar dari jazirah Arab sehingga jazirah Arab bersih dari umat paling durhaka tersebut. Perintah tersebut berhasil terealisasi dengan sempurna di masa Khalifah Umar bin Khaththab.
Allah meyakinkan hamba-hambaNya yang beriman agar mereka tidak perlu takut jatuh miskin karena Dialah sumber karunia dan rizki, dengan kehendakNya-lah seharusnya kaum Muslimin menyandarkan penghasilannya, tidaklah perlu takut miskin. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan orang-orang Mukmin dan Maha Bijaksana dalam setiap kehendak maupun keputusanNya.
Dari peristiwa ini ada beberapa ibrah yang bisa dipetik, bahwa, Pertama, syariat haji merupakan syariat warisan dari agama hanif Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, dengan adanya perintah Allah dan RasulNya ini, Islam telah mengikis habis praktek-praktek adat jahiliyah di sekitar Ka’bah yang mulia. Syariat haji kembali dimurnikan sesuai risalah Ilahi kembali setelah ribuan tahun tercemar oleh praktek kotor syirik dan jahiliyah.
Kedua, berakhirnya perjanjian-perjanjian dengan kaum musyrik dan dideklarasikannya peperangan, pertama, kaum musyrik yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin kurang dari empat bulan maka mereka diberi tempo sesuai dengan berakhirnya perjanjian; lalu kedua, mereka yang punya perjanjian dengan Islam namun diberi tempo tidak terbatas, maka setelah turunya surat Bara’ah (At-Taubah) hanya diberi tempo paling lama empat bulan, apakah memilih diperangi, terusir dari jazirah Arab atau memilih masuk Islam, lalu yang ketiga, kaum musyrik yang memiliki perjanjian dengan Islam namun punya tempo lebih dari empat bulan, maka kaum Muslimin memberinya waktu berpikir sampai habisnya tempo perjanjian.
Ketiga, surat Bara’ah ini termasuk bagian Al-Qur’an yang diturunkan pada periode akhir sehingga hukum-hukumnya bersifat permanen dan abadi. Surat ini adalah deklarasi perang terhadap kesyirikan dalam bentuk apa pun baik di Arab maupun di seluruh muka bumi, maka sesungguhnya menyatakan jihad dalam Islam berupa difa’i belaka (defensif, membela diri), adalah kesalahan fatal yang pernah menggerogoti sebagian umat ini, jihad dalam Islam juga memiliki sifat thalabi, atau menyerang, tentu dengan aturan-aturan peperangan yang berlaku sesuai syariat Allah. Hanya saja sifat-sifat jihad sendiri tidak terkait membela diri atau menyerang kendati bentuknya bisa dalam rangka membela diri atau pun menyerang.
“Jihad disyariatan hanyalah untuk menegakkan kalimat Allah, membangun masyarakat Islam, dan mendirikan negara Islam di muka bumi. Sarana apa pun (selama dibenarkan dan diperlukan) harus diperlukan,” demikian meminjam keterangan dari Syaikh Ramadhan Al-Buthy dalam Fiqh Sirah. Sarana yang diperlukan kadang bisa mempertahankan atau membela diri, terkadang bisa pula perang ofensif dalam arti kaum Muslimin yang menyerang terlebih dahulu, yang inilah merupakan puncak dari jihad fii sabilillah. Sekalipun orang-orang kafir dan munafik tidak menyukai hal tersebut, dan akan senantias memfitnah syariat jihad sebagai tindakan terorisme dan ekstrim. Orang yang sungguh-sungguh beriman adalah mereka yang tidak takut celaan orang-orang yang mencela Islam, terlebih dalam persoalan jihad (QS Al-Maidah: 54).
Benarlah sabda Rasulullah SAW, kelak umat Islam akan seperti “menggenggam bara” akibat lemahnya aqidah dan ghirah perjuangan umat Islam, ditambah serangan bertubi-tubi kaum kafir dalam segala aspek kehidupan, hanya mereka yang konsisten berpegang teguh pada petunjuk Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW yang akan selamat.
Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam