Redaksi Warta Pilihan akan memuat bersambung Cerita Bersambung tentang 2019. Cerbung ini berkisah dialog dua wartawan seputar masalah sosial politik Islam. Akal dan Budi nama dua penyebar informasi itu.
Wartapilihan.com, Jakarta — Selepas sholat Jumat, Budi, wartawan ‘merdekasejati.com’ bersandar pada sebuah tiang masjid. Ia memutar kembali HP recordernya yang memuat pernyataan Amien Rais tentang Jokowi. Ditulisnya pelan-pelan artikel berita itu pada laptop kecilnya. “Alhamdulillah selesai,” gumamnya sambil memasukkan laptop ke tas birunya.
Tiba-tiba kawannya, Akal menghampirinya. “Bud, gak liput lagi?”
“Nggak ah, capek. Mau mendengarkan pengajian bakda ashar di Masjid Kuttabun Nabi ini. Penceramahnya kabarnya mantap. Ia bisa menjelaskan makna Politik Islam dengan gamblang. Penting untuk kita meneropong dunia Islam saat ini yang sedang carut marut.”
“Jangan gitu dong Bud, carut marutnya ini kan disebabkan rekayasa negara-negara Barat yang tidak suka negeri Islam. Mereka berperang satu dengan yang lain. Para ahli politik menyebut Timur Tengah mengalami masa gelap yang panjang. Bukan lagi musim semi demokrasi,” kata Akal.
“Nggak gitu juga Kal. Jangan nyalahkan luar mulu. Ibarat tubuh, kalau kita sistem kekebalannya bagus, maka penyakit-penyakit dari luar tidak bisa menyerang. Tapi kalau sistemnya lemah, virus dan kuman mudah untuk menyerangnya,” sahut Budi.
“Jadi gimana?”
Sambil memasukkan HP di tasnya, Budi menjawab,” Gini. Negara-negara Arab puluhan tahun dilanda sekulerisasi dan liberalisasi yang hebat. Terutama pada pemerintahannya. Kepala-kepala negara Arab saat ini hanya menjadikan Islam sebagai simbol belaka. Bahkan bisa dikatakan sebagai gincu politik belaka. Lihatlah Bashar Assad. Kamu mau menyebutnya dia penguasa yang baik? Tidak. Apapun alasannya Iran dan Rusia salah mendukung Bashar. Waktu demo-demo rakyat Suriah merebak dulu, Bashar menghadapi rakyatnya dengan senjata. Ratusan orang bergelimpangan. Para tokoh politik, wartawan-wartawan senior dan lain-lain menyerukan agar Bashar mundur, Bashar nggak mau dengar. Maka kini hancurlah negaranya. Jutaan rakyatnya jadi korban dan mengungsi di luar negeri. Maka saya menolak ini masalah Sunni Syiah. Meski aliansi Sunni dan Syiah terlibat di dalamnya. Saya katakan ini masalah karakter atau akhlak kepemimpinan. Hal ini pernah saya katakan pada seorang tokoh muda Syiah di Bandung dalam dialog via facebook.”
“Menarik analisamu Bud. Maksudnya gimana tuh karakter kepemimpinan.”
“Kita berbeda dengan Syiah, tapi apakah perbedaan harus menjadikan kita bunuh-bunuhan? Kita ada kesamaan dengan Syiah dalam hal mengakui Allah dan Nabi Muhammad saw (para RasulNya). Berbeda dalam penilaian terhadap sahabat Nabi dan seterusnya. Kita kembali lagi ke karakter kepemimpinan. Jadi karena karakter pemimpin Suriah buruk, ya jadi hancurlah negaranya. Lihatlah di Mesir sekarang. Pemimpinnya setahu saya tidak Syiah. Tapi kaum Muslimin di sana banyak yang dibantai. Maka saya katakan pada tokoh muda Syiah itu, marilah kita tengok karakter pemimpin negeri kita. Lihatlah Pak Harto. Pak Harto kalau mau meniru Bashar Assad bisa. Demi kelanggengan kekuasaan Pak Harto bisa memberondong para mahasiswa yang berdemo menuntut pengunduran dirinya tahun 1998 itu. Tapi Pak Harto nggak mau, meski kekuasaan militer saat itu full membackup dia. Pak Harto lebih baik mundur dan menyerahkan kekuasaannya pada yang lain (Habibie). Itulah karakter kepemimpinan yang penting. Mau menyerahkan kekuasaan pada yang lain, asal rakyatnya adil dan makmur. Lebih baik mengundurkan diri, daripada ribuan rakyatnya menjadi korban dan negaranya hancur.”
“Terus, gimana Bud tentang Arab Saudi,” kata Akal pingin tahu pendapat sahabatnya yang pernah belajar tentang Politik Timur Tengah.
“Gini Kal. Arab Saudi memang negeri yang mayoritasnya rakyatnya Islam. Tapi ingat pertemanannya dengan Amerika Serikat terlalu mendalam. Negara itu ‘dibentuk’ oleh perusahaan minyak dari Amerika (Aramco). Dan Amerika tidak mau melepas begitu saja pengaruhnya ke Saudi. Maka jangan heran para pemimpin elit Saudi, sekolahnya di Amerika. Begitu juga Amerika terus memperkuat militer Saudi. Karena dari situ Amerika mendapat milyaran dolar. Maka jangan heran para pangeran atau elit Saudi mempunyai gaya hidup yang hedonis. Lihatlah ketika mereka berkunjung ke sini mereka memilih Bali untuk refreshingnya. Banyak keluarga kerajaan juga yang wanitanya tidak memakai jilbab bila ke luar negeri. Jadi hukum sepertinya berlaku untuk rakyat, tapi tidak berlaku untuk keluarga kerajaan. Dan kehidupan yang hedonis di kerajaan itu tidak baik sebenarnya untuk anak-anaknya. Karena mereka yang dididik manja serba ada, maka kemalasan akan hinggap di dirinya. Mudah-mudahan suatu saat Saudi bisa berubah menjadi negara yang demokratis tapi Islami.”
“Wah-wah aku diceramahin nih. Tapi aku suka. Mungkin gini ya Bud, negeri kita yang kebetulan merdekanya dengan semangat Islam melawan penjajah, beda dengan Saudi ya. Dan yang lebih penting negeri kita, Islam itu masuk ke negeri kita tanpa peperangan. Beda dengan masuknya Kristen di negeri ini yang dibawa negara penjajah Belanda.”
Tiba-tiba handphone Budi berdering. “Bud, tolong liput malam nanti Amien Rais akan jumpa pers dengan Habib Rizieq di Gedung Dewan Dakwah, Jalan Kramat Raya 45.” Budi pun mengiyakan perintah dari redaksinya di media ‘kabarterbaik.com’.
“Bud, kita diskusi soal 2019 yuk. Pusing mikirin Timur Tengah melulu. Mungkin sekarang kebanyakan di sana Arab Abu Jahal ya, bukan Arab Abu Bakar he he”
“Jangan gitu, rakyat dan ulamanya masih banyak yang bagus di sana, pemimpin politiknya aja yang begitu,” jawab Budi.
“Tapi bukankah pemimpin politik ini pengaruhnya besar bagi rakyat dan ulamanya?”
“Ya sih, pemimpin politik –gubernur, walikota, presiden dll- berpengaruh besar terhadap kehidupan rakyatnya. Makanya lihat di negara Arab, ulama yang mengkritik pemerintah atau berbeda pendapat dengan raja atau presidennya langsung ditangkap, dipenjara. Dan kehidupan politik yang ‘sumpek’ seperti ini akan berpengaruh juga pada perkembangan ilmu pengetahuan. Suasana ketakutan akan menyebabkan ilmu tidak berkembang, karena para ulama atau ilmuwan tidak berani menyampaikan pendapatnya. Lihatlah di negara-negara Arab ilmu pengetahuan dan teknologi kurang berkembang kan? Dan ini yang dimaui negara Barat atau negara Islamofobia itu. Sebagian mereka tidak mau negara-negara Islam maju dan damai. Sebagian mereka menginginkan dunia Arab atau dunia Islam terus berperang agar Israel terus aman.”
“Waduh Timur Tengah lagi, Bud. Udah sekarang gimana nih persiapan kita menyambut 2019?”
Budi terdiam dan balik bertanya,”Menurut kamu, gimana Kal?”
“Kalau aku, yang penting bukan Jokowi lagi.”
“Kok?”
“Negeri ini makin lama makin rusak bila Jokowi berkuasa.”
“Apa buktinya?”
“Di negeri kita sekarang sudah tidak ada kebebasan. Kita nulis di facebook, twitter, facebook mengritik presiden saja takut ditangkap. Kita salah nulis ditangkap. Lihatlah kasus Jonru, Asma Dewi dan Alfian Tanjung. Juga temen-temen kita yang lain, yang katanya Saracen, MCA atau grup-grup apalah, nulis kritis, nulis salah kok ditangkap. Negeri ini sekarang pengap. Jadi kita seperti masuk dalam perangkap ikan. Media Sosial dibuka, tapi menulis kritis atau menulis salah dihukum. Kalau begini lebih baik ditutup saja teknologi medsos.”
“Ini kan gara-gara UU ITE dan UU yang berkenaan hatespeech. Harusnya DPR merevisi semua UU seperti itu. Eee, ini malah DPR mengeluarkan UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) yang menghukum juga orang yang menghinanya. Jadi sekarang ini pejabat seperti gila hormat semua. Mereka tidak sadar bahwa justru karena para pejabat tinggi untuk memperoleh gaji dan kemewahan dari rakyat, harusnya mereka siap dihina dan dicemooh rakyatnya. Kalau nggak mau dihina, jangan jadi pejabat. Jadi rakyat biasa saja,” kesal Budi.
“Ini semua kan balas dendam dari kelompok Ahok yang Ahok dihukum karena kata-katanya yang menghina Al Quran. Kalau Al Quran dihina, berarti nggak boleh dihukum dong orangnya?” tanya Akal.
“Beda dong Kal. Menghina pejabat dengan menghina Al Quran. Menghina Al Quran itu menghina wahyu Allah yang diturunkan manusia. Menghina Al Quran itu menghina pedoman hidup mayoritas bangsa ini. Kalau Ahok mempelajari Al Quran dengan benar, saya yakin dia akan masuk Islam. Sayang dia dipenjara tidak mempelajari Al Quran, tapi mempelajari kitab lain yang tidak ada bahasa aslinya, yang keotentikannya diragukan. Dan Ahok ini kan juga ringan hukumannya, cuma dua tahun dan sekarang dia lagi di Brimob atau di hotel kita tidak tahu. Ahok ini juga pernah bohong lho, Kal. Ceritanya, dia dulu mau masuk Islam kalau jadi gubernur (ini mungkin takdir atau jalan hidup saya, kata Ahok kepada seorang tokoh Betawi ketika menjadi wakil gubernur DKI Jakarta). Juga lihat korban hukumnya, satu Ahok dihukum, puluhan orang Muslim dihukum. Jadi menurut saya, UU yang berkenaan tentang hatespeech, penghinaan kepada pejabat, omongan keliru dan semacamnya itu lebih baik dihapus saja. Ini zaman keterbukaan. Ini zaman medsos, zaman internet yang orang bisa ngomong seenaknya,” sahut Budi.
“Bahaya dong, kalau orang bebas ngomong,” tanya Akal.
“Tidak Kal. Manusia semakin lama semakin terdidik dan semakin tahu mana omongan atau tulisan yang bermanfaat atau tidak. Mana yang mutu dan tidak bermutu dan seterusnya. Dan inilah tugas para dai dan guru untuk mengajar masyarakat bahwa omongan dan tulisan itu ada pertanggungjawaban di akhirat. Lihatlah bagaimana di masa pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab. Umar membebaskan rakyatnya untuk mengkritisi dirinya dan para pejabatnya. Sehingga suatu kali Umar diingatkan,”Terangkanlah tentang kain yang engkau pakai atau pedang ini akan menebas lehermu.”
Akal menyambung,” Ya saya setuju Bud. Harusnya yang dibatasi adalah pornografi, terorisme dan semacamnya. Bukan pendapat. Mungkin disitu ya, kenapa para tokoh Islam Masyumi dulu menginginkan negeri ini menjadi negeri Islam yang demokratis. Teistic democracy, demokrasi yang berketuhanan bahasanya Pak Natsir. Negeri yang memahami bagaimana Islam dapat dikembangkan dengan damai, terbuka dan penuh keteladanan. Bukan sebuah negeri yang penuh emosional dan suka berperang.”
“Betul Kal. Kalau kita jeli, membaca sejarah Nabi, maka Nabi ini adalah pembawa perdamaian. Lihatlah bagaimana Rasulullah meniadakan budaya membunuh anak perempuan di Arab. Bagaimana Rasulullah mendamaikan suku-suku Arab yang suka berperang. Bahkan di rumah tangga Rasulullah mendamaikan istri-istrinya yang kadang cemburu satu sama lain he he he… (Rasul berperang secara fisik ketika beliau diperangi dengan fisik. Dan itu terjadi setelah 13 tahun dakwah Islam berlangsung).”
“Wah kamu bicaranya ujung-ujungnya poligami Bud. Mungkin itu kebiasaan laki-laki ya. Tapi poligami itu sebaiknya gak usah dibicarakan, dilaksanakan aja, karena sesuai dengan fitrah laki-laki he he…”
“Eh, Kal kita kok ngomong poligami. Lanjut dong tentang 2019.”
Akal menyahut,”Ya deh. Jadi Jokowi ini telah membuat suasana kebebasan di negeri ini menjadi hilang. Lihatlah lagi sikap Jokowi membiarkan UU MD3 berlaku. Ia tidak berani mengeluarkan Perppu untuk meniadakan berlakunya UU MD3, aneh kan. Ia mengelak bahwa UU itu sebelum disetujui dibahas dulu oleh Menkumham dengan DPR. Masak sekarang dia menyuruh rakyat untuk mengugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi? Untuk apa kekuasaan yang dia miliki? Untuk Ormas Islam dia cepat mengeluarkan Perppu, untuk masalah yang menyangkut kemerdekaan berpendapat yang lebih mendasar, dia tidak mau. Presiden apaan ini. Bahaya kalau dia terpilih lagi. Presiden itu memahami suasana hati rakyatnya, harus cerdas dan berakhlak mulia.”
Allahu Akbar Allahu Akbar. Allahu Akbar Allahu Akbar. Suara adzan mengalun dari masjid. Akal dan Budi menuju tempat wudhu. Budi membasuh muka, telapak tangan, rambut, telinga dan kakinya. “Allahummajal minat tawwabina wajalna minal mutathahhirin.” Ya Allah jadikanlah aku bagian dari orang-orang yang bertaubat dan yang membersihkan diri. (bersambung). II
Izzadina