Oleh: Herry M. Joesoef, Penulis Buku “Pemimpin Rahmatan Lil’Alamin.”
Kemunculan seorang tokoh di pentas nasional, umumnya, punya hubungan sejarah di masa lalunya. Baik sejarah pribadi maupun keluarga besarnya. Begitu pula yang terjadi pada sosok Yusuf Muhammad Martak, Ketua Umum GNPF-Ulama, ini.
Wartapilihan.com, Jakarta –Makin tinggi sebuah pohon, makin kencang ditiup angin, baik yang sepoi-sepoi maupun yang berupa angin ribut. Apalagi jika sang tokoh bersentuhan dengan politik. Itulah yang kini dialami oleh Ustadz Yusuf Muhammad Martak, Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) – Ulama. Sejak digelarnya Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional II pada 16 September yang menghasilkan pakta integritas dan mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Sandi, berita hoax bahwa Yusuf punya saham di PT. Lapindo Brantas dan menanggung hutang trilyunan rupiah pada pemerintah yang jatuh tempo pada 2019, beredar viral di media sosial.
Sebenarnya, berita ini mulai muncul sejak tiga bulan lalu, tapi gencar diberitakan lagi pasca Ijtima’ Ulama II tempo hari. Senin (24/9) siang kemarin, di Sofyan Hotel, Tebet, Jakarta Selatan, Yusuf mengadakan jumpa pers. Kepada insan media, Yusuf menangkis semua serangan hoax tersebut dengan menunjukkan fakta-fakta yang ada (Lihat WP {24/9}: Yusuf Muhammad Martak Menjawab Tuduhan).
Bagi republik ini, Yusuf Muhammad Martak bukanlah tokoh yang tiba-tiba muncul dari hutan antah-berantah. Tapi ia punya hubungan sejarah yang tak pernah bisa dipisahkan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, hari kelahiran Republik Indonesia.
Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Soekarno terserang beri-beri dan malaria. Bung Karno kerap menggigil, panas-dingin, dan lemas badannya. Adalah seorang pengusaha asal Yaman, Farej Said Martak, sahabat Bung Karno, memberikan madu Arab, Sidr Bahiyah, yang didatangkan dari Hadramaut, Yaman. Ini madu bukan sembarang madu. Khasiatnya sudah teruji sejak ratusan tahun lalu. Bersifat antibiotik dan sekaligus antiseptik. Setelah mengkonsumsi madu Sidr, kondisi Bung Karno berangsur pulih. Lalu, didampingi Mohammad Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi di depan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Menteng.
Rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu milik keluarga Farej yang dihibahkan kepada Bung Karno. Di rumah inilah Ibu Fatmawati menjahit Bendera Merah Putih pada malam sebelum teks proklamasi dibacakan.
Atas permintaan Bung Karno, pada 1962, rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu dirobohkan. Di atas bangunan tersebut kemudian didirikan Gedung Pola, sedangkan tempat Bung Karno dan Bung Hatta berdiri saat membacakan teks Proklamasi, didirikan monumen Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur diubah menjadi Jalan Proklamasi.
Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan ucapan terima kasih pada keluarga Martak, berupa surat secara tertulis pada 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Ir. Mananti Sitompoel sebagai Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Indonesia. Disebutkan juga dalam surat tersebut, selain rumah di jalan Pegangsaan Timur 56, keluarga Martak telah membeli beberapa gedung lain di Jakarta yang sangat berharga bagi kelahiran negara Republik Indonesia.
*
Farej bin Said bin Awadh Martak adalah putra ketiga dari empat bersaudara. Secara berurutan, kakak-kakak Farej adalah Djusman Martak dan Muhammad Martak, sedangkan adiknya bernama Ahmad Martak.
Keluarga besar Martak dan keluarga Badjened mendirikan N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Martak Badjened (Marba), dimana Farej menjadi Presiden Direkturnya. Jejak Marba masih bisa ditelusuri di Jogjakarta berupa Hotel Garuda, dan di Semarang berupa Gedung Marba.
Adapun Yusuf Muhammad Martak adalah putra dari Muhammad Martak, kakak dari Farej bin Said bin Awadh Martak. Nama besar Marba kini dilanjutkan oleh Yusuf dengan aneka bidang usaha, dari restoran sampai ke biro perjanalanan, dan berpusat di Tebet, Jakarta Selatan.
Dengan demikian, kehadiran Yusuf Muhammad Martak di pentas nasional bukanlah a-historis. Yusuf bukan tipe manusia yang memanfaatkan nama besar keluarga untuk kepentingan pribadinya, tapi ia merasa terpanggil agar terus berkontribusi kepada negara-bangsa ini dengan jargonnya, “Apa yang bisa kami berikan untuk republik ini”, bukan “Apa yang bisa kami ambil dari republik ini”. Inilah prinsip Nasionalis-Islamis yang mesti ditumbuh-suburkan.
Dan, keluarga Martak telah membuktikan hal itu, sejak dari persiapan kelahiran republik ini.