Wartapilihan.com, Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, DPR dapat melakukan hak angket karena KPK dibentuk oleh undang-undang dan salah satu tugas DPR adalah melakukan pengawasan. Hal itu disampaikan Yusril saat memberikan keterangan hukum kepada Pansus KPK di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/7).
“KPK ini seperti Kopkamtib. Diberi kewenangan luar biasa, tentu maksud kita karena khawatir overlap (tumpang tindih), maka dalam pembahasan RUU ini dikedepankan koordinasi dan supervisi. Jadi arah awal seperti itu, supaya kuat polisi dan jaksa. Kalau sudah kuat, lembaga ini seperti Kopkamtib, bisa dibubarkan,” kata Yusril.
Yusril mengkhawatirkan saat pembentukan KPK terjadinya overlapping antara KPK, Polisi dan Kejaksaan, karena itulah ia pada waktu itu menjawab pandangan umum fraksi-fraksi maupun pembahasan saat disahkan undang-undang KPK. Bahwa overlapping tidak akan terjadi apabila KPK melakukan tugas-tugas di bidang penyelidikan-penuntutan dengan syarat-syarat tertentu. Yaitu, yang disidik penyelenggara negara, kerugian negara di atas Rp 1 Miliyar dan perkara itu menarik perhatian masyarakat.
“Memang perkara itu sendiri sudah menjadi perhatian masyarakat, kemudian Polri Jaksa tidak melakukan langkah hukum. Jadi dengan tiga pembatasan itu, overlapping diharapkan tidak terjadi. Inilah pikiran kita waktu itu. Bagaimana pelaksanaannya? Itu tugas di angket ini untuk penyelidikan. Saya tidak bahas itu,” jelas Mantan Mensesneg tersebut.
Dalam sistem parlemen, terang Yusril, hak angket dikenal dan sudah dipraktekkan sejak awal kemerdekaan dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen. Setelah terbentuk sementara dan kembali ke NKRI, angket diberlakukan. Sampai UU MD3 lahir.
“Jadi bukan sesuatu yang asing dalam ketatanegaraan, baik presidensial awal maupun parlementer karena sistem tidak murni presidensial, maka angket dengan sendirinya melekat pada DPR. Sehingga ketika MD3 lahir, pasal-pasal tentang angket pada undang-undang angket diadopsi ke dalamnya dan di anggap sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk setelah amandemen UUD,” Yusril menerangkan.
Yusril menyatakan, bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan serius, kejahatan luar biasa extra ordinary crime, walaupun tidak mengacu pada konvensi PBB (statuta roma) apa yang dimaksud crime agains humanity ataupun extra. Konsekuensinya apabila extraordinary bisa berlaku surut ke belakang.
“Maka waktu itu F-PPP menyatakan, ketika extra ordinary bisa diberlakukan retroaktif karena waktu itu belum ada undang-undang. Walaupun kami pada waktu itu pernah pasca bom Bali harus bekerja keras siapkan Perppu pemberantasan terorisme. Perppu 1 soal terorisme. Perppu 2 soal berlaku surut 15 hari ke belakang dengan alasan bisa jadi alasan menindak mereka pelaku bom Bali,” tukas dia.
Yusril menceritakan pengalamannya susah payah mempertahankan 2 Perppu tersebut sampai dimaki oleh AM. Fatwa. Sehingga, ia tidak pernah berfikir bagaimana penteror polisi di Masjid Falatehan diakhiri dengan tembak mati bukan diselesaikan di Pengadilan. Sebab, bagaimanapun proses peradilan harus dilaksanakan karena tidak ingin extra yudicial killing.
“Perppu no 2 ini walaupun Amrozi cs sudah diadili karena Perppu, kemudian dibatalkan MK. Jadi diberlakukan surut bertentangan dengan UUD 45 dan tidak bisa berlaku. Dalam UU KPK ini disebutkan korupsi extra crime, sebenarnya persepsi kita dan tidak mengacu pada hukum internasional, statuta roma. Jadi itu sebenarnya hukum tidak bisa diberlakukan surut,” pungkasnya. II
[Ahmad Zuhdi]