Terdakwa ujaran kebencian Tamim Pardede divonis dua tahun penjara. Penasehat hukum mengajukan banding.
Wartapilihan.com, Jakarta — Sidang Terdakwa Tamim Pardede, Perkara Pidana dengan tuntutan No. PDM-512/JKTSL/Euh.2/2017 pada tanggal 2 November 2017 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pembacaan putusan (vonis). Terdakwa Tamim Pardede divonis dua tahun penjara dan denda dua ratus juta bila tidak dibayar diganti dengan penjara tiga bulan.
Penasehat Hukum Dr Sulistiyowati tidak begitu kaget melihat vonis tersebut seperti pernah disampaikan dalam pledoi. “Penasehat Hukum ragu apakah proses peradilan memang mencari kebenaran materil atau sekedar melegitimasi putusan dengan “drama formal” peradilan yang harus digelar. Namun dalam pledoi Penasehat Hukum masih berusaha untuk mempercayai bahwa peradilan ini fair. Rupanya itu hanya harapan kosong,” kata Sulistyowati.
Menurut pengacara, hakim lebih memilih menjawab pledoi Penasehat Hukum untuk hal-hal yang sebenarnya lebih berupa “bunga-bunga”. Contohnya tentang alasan Hakim membiarkan Jaksa tidak menggunakan toga saat bersidang, hakim menyatakab bahwa masing-masing harus menghargai profesi penegak keadilan. “Pertanyaannya adalah siapa yang tidak menghargai peradilan? Sementara sejak awal persidangan Penasehat Hukum sangat tertib mengikuti persidangan,”terang Sulistyowati.
Menurutnya, hakim mengabaikan fakta-fakta persidangan dan juga bukti-bukti dan pernyataan saksi yang terungkap dipersidangan.
Majelis Hakim lebih suka membela diri ketika dalam pledoi Penasehat Hukum keberatan atas kata-kata yang diucapkan kepada Terdakwa. Misalnya “Apakah Terdakwa habis minum PCC?” di lain kesempatan mengatakan,“Apakah Terdakwa kemasukkan setan”.
Majelis Hakim, menurut pengacara juga enggan mengomentari pledoi Penasehat Hukum terkait dengan apa yang disampaikan Terdakwa tentang komunis. “Apakah berbicara tentang anti komunis berhubungan dengan SARA. Siapa yang dirugikan? Karena tidak ada satu pun yang melaporkan Tamim Pardede kecuali pihak kepolisian. Tidak ada complain dari masyarakat padahal youtube yang dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan oleh Hakim adalah ujaran kebencian, tidak dapat dibuktikan sebagai sebuah tindak pidana,” jelasnya.
Selain para saksi yang dihadirkan Jaksa Penutut Umum tidak bisa menjelaskan adanya tindak pidana, juga para ahli Jaksa Penuntut Umum tidak dihadirkan. “Tidak hanya itu bukti yang disita berupa laptop tidak pernah bisa dibuka sampai akhir persidangan. Belum lagi denda 200 juta yang tidak jelas pertimbangan hukumnya,” terang Sulistyowati.
Maka penasehat hukum melihat ketidakadilan itu memutuskan mengajukan banding. “Tidak menutup kemungkinan atas hasil tidak fair persidangan ini akan dilaporkan ke Komisi Yudisial sebagai Komisi Etik yang mengadili Etika Profesi para Hakim, untuk Indonesia lebih beradab dan berkeadilan,” tegas Sulistyowati. II
Izzadina