Terkait dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 33 tahun 2018 tentan Penggunaan Vaksin MR (Measles Rubella) Produk dari SII (Serum Institue of India) untuk Imunisasi menuai pro dan kontra. Pasalnya, diketahui bahwa vaksin tersebut mengandung babi dan organ tubuh manusia.
Wartapilihan.com, Jakarta – Elvina A. Rahayu selaku pegiat halal sekaligus Deputi Lembaga Sertifikasi Keamanan Pangan LT IPB pun bersuara. Ia mengungkapkan, paling tidak dengan adanya keterangan dari MUI, isu kandungan babi itu benar adanya; bukan suatu berita yang dibuat-buat.
“Walaupun sebagaimana diketahui dari label vaksin yang tertera selain menggunakan unsur haram babi, maka ada unsur Human diploid cell yang digunakan pula pada vaksin MR tersebut. Hal ini tidak dijelaskan pada keputusan Fatwa MUI No.33 tahun 2018 tersebut,” kata Elvina prihatin, kepada Warta Pilihan, Kamis, (23/8/2018).
Rasa syukur tersebut, menurut dia, tidak hanya berhenti pada fatwa tersebut. Melainkan, konsumen muslim Indonesia perlu senantiasa mengawal agar kondisi darurat itu tidak terjadi sepanjang hidup.
“Saya ingat lebih dari 10 tahun lalu LP POM MUI pernah mengadakan workshop terkait vaksin, disana ada semacam komitmen bahwa biofarma, sebagai produsen lokal akan memulai untuk memproduksi vaksin lokal yang tentunya sesuai dengan kebutuhan Umat Islam. Namun itu belum terealisir hingga sekarang,” ia menceritakan pengalamannya.
Menurut Elvina, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Pasalnya, kehalalan suatu produk bukanlah pilihan tetapi kewajiban karena merupakan perintah agama.
“Tapi, apalah yang tidak mungkin ketika kekuatan konsumen Muslim sepakat berpadu meminta haknya. Karena itu menjadi bagian hak kita yang sesungguhnya dijamin UUD. Buat kita, masalah halal bukan pilihan tapi keharusan,” tegas dia.
Dia melanjutkan, di suatu negara terjadi, dimana ada warga yang kurang dari 1% mengalami allergen terhadap suatu produk pangan. Allergen ini dapat menyebabkan kematian pada tingkat terparahnya.
“Walaupun kurang dari 1%, pemerintahnya melindungi kepentingan tersebut dengan membuat aturan terkait klaim pada labelnya. Sehingga kebutuhan warga yang kurang dari 1 % tersebut terlindungi,” tukasnya.
Muslim sebagai mayoritas penduduk di NKRI, ia pun mempertanyakan, apakah muslim akan terus menyerahkan tubuh kita dimasukkan produk haram dengan alasan darurat yang tiada bertepi?
“Please, pemerintah dan para pembuat kebijakan di negeri ini, kebutuhan produk halal (apakah itu pangan dan obat-obatan) sudah menjadi kebutuhan dan keharusan bagi kami konsumen Muslim. Jangan selalu berdiri dengan Tameng DARURAT untuk menggelontorkan produk produk yang akan meracuni tubuh kami dengan bahan bahan haram,” tegas Elvina.
Di sisi lain, dr. Siti Aisyah Binti Ismail, MARS sebagai salah satu perwakilan dari para dokter muslim menjelaskan tanggapannya terkait kebingungan yang melanda masyarakat soal vaksin ini.
Menurut Siti, fatwa dan arahan MUI adalah mubah, sehingga boleh melakukan vaksin untuk anak-anak kita dan hal ini bisa menghilangkan keraguan. “Kemudian BPOM menyatakan produk akhir vaksin MR tidak mengandung babi. Fatwa MUI tertulis adalah dalam proses menggunakan BUKAN mengandung babi. Mohon tidak termakan isu dan berita dari koran dan portal berita yang mengatakan vaksin MR mengandung babi,” jelas dr. Siti.
Dalam hal ini, ia menegaskan, ada perbedaan pendapat ulama mengenai konsep istihalah dan istihlak. Pihaknya, menurut dia, sangat menghormati pendapat MUI yang tidak memasukkan konsep istihalah dan istihlak dalam vaksin ini.
“Perlu diketahi bahwa vaksin polio injeksi (IPV= Injection polio vaccine) dalam proses pembuatannya juga masih menggunakan enzim tripsin babi sbagai katalisator, namun di hasil akhir vaksin sudah tidak ada. Beberapa ulama memfatwakan membolehkan karena sudah tidak mengandung babi dengan kaidah istihalah dan istihlak,” kata dia.
Misalnya fatwa, Majma’ Fiqih Al-Islami, dengan judul (بيان للتشجيع على التطعيم ضد شلل الأطفال) yang berjudul“Penjelasan untuk MEMOTIVASI gerakan imunisasi memberantas penyakit POLIO” [Sumber: http://www.fiqhacademy.org.sa/bayanat/30.htm].
“Lembaga ini nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami atau Liga Muslim Sedunia adalah organiisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam,”
Dalam fatwa ini, Siti mengatakan, MUI mengakui bahwa vaksin adalah satu-satunyanya metode imunisasi. Adapun metode lain yang diklaim bisa menggantikan vaksin, ternyata oleh MUI tidak dianggap bisa menggantikan vaksin. Apabila bisa menggantikan, tentu tidak ada istilah darurat syariyyah.
“Hendaknya tidak ada pihak yang mengklaim bahwa: vaksin tidak dibutuhkan dan mengklaim bahwa mereka punya alternatifnya. Perlu diketahui bahwa negara-negara Islam juga memakai memakai produk vaksin polio dan mewajibkan vaksin bagi penduduknya seperti Saudi dan negara Islam lainnya,” tukasnya.
Siti menyarankan, hendaknya lebih percaya kepada ahlinya, sebagaimana arahan MUI: “Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal.”
Siti menekankan, hendaknya jauhi opini atau pendapat yang bukan ahlinya, yaitu info beberapa oknum yang menyebarkan info tidak benar mengenai vaksin. “Mereka mengatakan vaksin itu tidak penting, “buat apa vaksin”, vaksin konspirasi dan program depopulasi vaksin bahaya, dan lainnya,”
Lebih lanjut Siti menekankan, jika ulama kita di MUI percaya dengan para ahli berupa dokter dan tenaga kesehatan, semoga kaum muslimin juga percaya. “Ilmuwan muslim akan terus mengupayakan arahan MUI agar mencari dan meneliti vaksin yang tidak menggunakan babi dalam pembuatannya. Hanya saja penelitian ini butuh waktu dan cukup lama,” terang dia.
Secara umum, WHO dan ilmuwan dunia sudah berusaha meneliti vaksin tanpa ada unsur binatang. Memakai enzim dari sapi pun akan menimbulkan pertentangan, terutama dari negara india dan sekitarnya. “Kita doakan semoga ilmuwan muslim bisa segera menemukan vaksin yang tanpa menggunakan bahan hewani sama sekali,” pungkas Siti.
Eveline Ramadhini