Vaksin Menjadi Komoditas

by
Komisi Fatwa MUI menerima audiensi komunitas masyarakat yang konsen dalam advokasi dan edukasi halal di Gedung MUI, Jakarta, Kamis (12/10). Foto: Zuhdi

Salah satu butir sumpah tenaga kesehatan adalah menjalankan tugasnya dengan cara yang bermartabat, terhormat dan bermoral tinggi.

Wartapilihan.com, Jakarta –Founder Myhalalkitchen Meili Amalia menilai, intimidasi dan paksaan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Nakes) terhadap ibu rumah tangga untuk melakukan vaksin kepada anaknya merupakan bentuk teror walaupun tidak dilakukan secara fisik. Pasalnya vaksin yang diberikan oleh Nakes sampai hari ini belum mendapatkan sertifikat halal dari MUI.

“Kalau kita bandingkan misalkan, vaksin meningitis melalui proses impor sudah dapat sertifikasi, tapi kenapa vaksin polio yang sudah 10 tahun lebih dan di produksi di Indonesia tidak di sertifikasi,” kata Meili kepada Wartapilihan.com di Gedung MUI, Jakarta, Kamis (12/10).

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang imunisasi, UU JPH yang keluar tahun 2014 tidak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kehalalalan sesuatu. Pemerintah di negara dengan mayoritas muslim tidak memperhatikan kehalalan seorang muslim sebagai suatu acuan.

“Kita juga menyoroti gembar-gembor Kemenkes yang menyatakan bahwa ini (vaksin MR) halal. Padahal yang berwenang untuk menyampaikan suatu produk itu halal atau tidak komisi fatwa (MUI). Presiden sekalipun tidak bisa, termasuk saya tidak punya hak,” tegasnya.

Dia melihat MUI menahan diri dalam ultimatum halal vaksin. Surat rekomendasi tentang vaksin Mr yang keluar kemarin tidak ada ketegasan dari MUI dan masyarakat dilarang untuk menggunakan vaksin tersebut.

“Jadi masyarakat sendiri harus menerjemahkan kalimat-kalimat itu dan tidak semua paham. Kita juga ada grup facebook dari universitas yang berbeda dan mereka mengatakan bahwa vaksin itu boleh dengan acuan mubah dan darurat. Walaupun mereka perjuangkan UU JPH, tetapi ini dinafikan karena dianggap darurat,” tukasnya.

Selain itu, Meili menyayangkan Kemenkes memiliki suatu sub struktural yang bertanggung jawab dalam penanggulangan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) tidak memiliki data dan tidak dihitung jumlahnya. Kenyataan di lapangan hal itu tidak diperdulikan.

“Kita tidak melihat keseriusan pemerintah untuk itu (KIPI),” tandasnya.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam menegaskan, mekanisme ketetapan kehalalan produk tetap berada di Komisi Fatwa, tidak berubah baik pra maupun pasca keluarnya UU JPH. Selain itu, lembaga pemeriksa halal (LPH) meskipun berada di LPPOM MUI, tetapi akreditasinya dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI.

“Sebab, posisi LPH dengan auditornya nanti bekerja sebagai saksi, yang secara detil melakukan pemeriksaan atas komposisi dan proses produksi bahan yang akan dilakukan, guna memperoleh penetapan kehalalan,” jelas Niam.

Lebih lanjut, Niam menambahkan, auditor yang berwenang sebagai pemeriksa harus requirement dan tersertifikasi oleh Majelis Ulama Indonesia dengan standar yang ditetapkan. Dia berharap, UU 33 Tahun 2014 tentang JPH dimaksudkan untuk memberi jaminan konsumen agar memperoleh produk secara halal.

“Makanya undang-undang mewajibkan setiap produk yang diproduksi atau diedarkan di Indonesia harus terjamin kehalalannya. Ada pergerakan voluntary sebelum undang-undang menjadi mandatory pasca undang-undang. Disitulah tugas baru lembaga yang memiliki jaminan produk halal dan tanggung jawab komunitas masyarakat untuk membangun sadar halal,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *